Erie Sudewo
Social Entrepreneur

Dari sekian pesona Ramadhan 1428 H ini, ada empat hal yang perlu disingkap terkait zakat. Pertama, sampai sekarang tak satu jua lembaga zakat berani mengoreksi tradisi membayar zakat (harta, profesi, tabungan) di bulan Ramadhan. Bukannya disadarkan, kebiasaan masyarakat memburu pahala malah
menjadi-jadi didorong beragam yel dan slogan lembaga zakat. Perang mengikis kemiskinan yang mestinya dengan kerja keras dan profesional, mohon maaf, digeser tausyiah normatif. Bukannya tak perlu, menolak kehinaan dan bahaya kemiskinan, tak cukup diredam anjuran kebaikan saja. Namun lembaga zakat tutup mata. Semua sepakat, Ramadhan saatnya mendulang zakat harta. Inilah ‘kekeliruan yang dibungkus kebajikan’.


Kedua, tak banyak yang tahu, kepengurusan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) periode kedua berakhir di Oktober 2007 ini. Anehnya, dalam utak-atik penggantian pengurus, praktisi zakat yang terlebur di Forum Zakat (Foz) tak digubris. Kekhawatiran pun merebak. Jangan-jangan latar penggantian lebih didasarkan pada hubungan antarpihak.

Ketiga, sinergi Baznas – Dompet Dhuafa (DD) Republika yang dimulai di Ramadhan 1427 H, kandas di Ramadhan 1428 H. Bagi praktisi manajemen, sinergi itu merupakan aliansi strategis. Yang dalam bahasa ukhuwah, itu bukti kerja sama di gersangnya umat yang sulit menyatu. Bagi sebagian lembaga amil zakat (LAZ), sinergi itu ‘kecelakaan sejarah’. Sebagian pejabat memandang, mustahil lembaga pemerintah bisa digabung dengan partikelir.

Keempat, pada Kamis 4 Oktober 2007 hari ini, digelar seminar bertajuk, 'Bisakah Pengelolaan Zakat Menuju Satu Pintu?’ Seminar ini tentu punya korelasi dengan beberapa masalah tersebut. Ada keresahan luar biasa di tingkat praktisi zakat. Resah bukan karena zakat memang harus dikelola sama seriusnya seperti pajak oleh negara. Gelisah karena delapan tahun sejak diketok palunya UU 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, arah penataan zakat masih tetap di ranah gulita.

Benah lembaga
Melalui harian Republika ini, sudah berkali-kali kelembagaan zakat diadvokasi untuk dibenahi. Ada tiga alternatif yang digagas. Pertama, jika pemerintah sungguh-sungguh, bentuk segera kementerian zakat dan wakaf. Agar efisien dan efektif, pilih kementerian non-departemen. Mintalah bantuan Ditjen Pajak sebagai gerai penghimpunan zakat di seluruh Indonesia. Syaratnya, dengan terpaksa Baznas ditutup, agar tak terjadi dualisme manajemen dan komando.

Alternatif kedua, bentuk Ditjen Zakat sederajat dengan Ditjen Pajak. Agar zakat bisa mengurangi pajak, Ditjen Zakat ditempatkan di Depkeu. Karena tugasnya hanya menghimpun dana, maka pendayagunaan zakat mesti melibatkan BAZ kabupaten/kota dan LAZ. Alternatif ketiga, jika ditjen sulit dibentuk, saatnya Baznas diprofesionalkan. Ihlaskan Baznas independen di bawah presiden atau wapres. Bicara zakat di Indonesia, agaknya tertakdir kisruh. Guratan sejarah tak bisa ditepis, profesionalitas pengelolaan zakat dimulai dari masyarakat. LAZ bangkit karena negara tak mau tahu soal zakat. Diakui atau tidak, UU 38 tahun 1999 diilhami maraknya LAZ. Namun hadirnya UU itu, agaknya disemangati memangkas LAZ. Saat Jusuf Kalla menjabat Menko Kesra di era Gus Dur, ia tak sepakat zakat dikelola negara. Hal senada diulang ketika Munas FOZ di Balikpapan tahun 2003. Alasannya sederhana, dia tak percaya.

Sepekan menjelang tutup Ramadhan 1427 H, Presiden SBY tunaikan zakat via Baznas. Esoknya Wapres RI juga bayar zakat. Namun JK tetap konsisten dengan opininya. Zakatnya tak ditunaikan di lembaga bentukan pemerintah. JK punya postulat sendiri, yang pilihannya jatuh pada LAZ NU (Nahdatul UIama).

Sebagian pejabat yang berwenang di zakat, meyakini bahwa soal zakat di Indonesia bersumber pada UU 38 tahun 1999. Namun bagi arsitek UU, pengelolaan zakat belum menjalankan petuah UU. Jika ditilik dari isi UU itu, ada dugaan terjadi pemaksaan multiperan di satu tubuh. Baznas dipaksa punya tiga peran: regulator operasional, pengawas, dan sekaligus berfungsi sebagai operator. Mustahil bisa diraih kinerja terbaik, jika pengatur laku berperan juga sebagai pengawas dan bahkan jadi pemain.

Siapa diuntungkan?
Perjalanan pengelolaan zakat di Indonesia memang meliuk-liuk. Awalnya menggairahkan, namun akhirnya selalu kikuk di persimpangan. UU yang mestinya menjadi biduk, malah memasung cita-cita. Seolah dalam zakat, hari esok tak bakal tiba. Di tubuh pemerintah, zakat masih dilongok ‘setengah hati’. Pejabat tertinggi pun masih menganggap zakat cuma noktah kecil yang tak punya peran apa-apa dalam pembangunan.

Lembaga zakat pun gentar membenahi paradigma masyarakat. Untuk kebaikan, saatnya tanggalkan kompromi dengan diri sendiri. Tak usah khawatir tak kebagian zakat di bulan Ramadhan. Masyarakat yang sadar akan nishab dan haul, pasti membayar zakat tiap bulan. Lembaga zakat juga yang paling paham bahwa menunaikan zakat harta di bulan Ramadhan artinya sama dengan menyengsarakan mustahik di 11 bulan lainnya. Dalam kemelut perzakatan, siapa yang paling diuntungkan? Ternyata LAZ juga. Tanpa penataan, Baznas dan BAZ tetap dibelit problem birokrasi. Jangankan masyarakat, JK yang sudah jadi orang nomor dua di negeri ini pun tetap tak percaya. Sedang LAZ yang tak punya tradisi birokrat, lebih luwes berkiprah.

Dalam kekisruhan itu, hanya LAZ yang bakal menemukan performance-nya. LAZ akan menjelma bagai perusahaan. Semakin profesional dan SDM-nya makin tertata apik. Tapi kecanggihan itu hanya baik untuk diri LAZ sendiri. LAZ tidak akan pernah dapat mengatasi kemiskinan. Mengapa? Sebab LAZ adalah pegiat sosial, bergerak di pematang-pematang grass-root. Mendung terus memekat. Dunia zakat makin tersedak, yang aroma suramnya lebih menyengat. Jika ingin tetap meraih masa depan, beningkan hati. Lantas percik kesadaran di sanubari. Waspadai kepentingan yang dikemas dalam tutur masa depan. Sekali lagi mohon cermati. Kepentingan telah melumat masa depan bangsa ini. Kepentingan sesaat, seperti politik dagang sapi, pertikaian legislatif dan eksekutif, kebijakan eksplorasi sumber daya ke asing serta menjual BUMN, telah menjerumuskan negara dalam kesulitan permanen. Itu semua selalu didengungkan sebagai paket strategi menyongsong masa depan.

Hasilnya? World Bank mendata jumlah fakir miskin di Indonesia120 juta orang. Zakat tinggal satu-satunya harapan. Ada delapan langkah untuk menanggalkan kompromi pribadi. Pertama, ubah paradigma berpikir. Kedua, tak ada manfaatnya bersikukuh dengan egoisme. Maka ketiga, amandemen UU 38 tahun 1999. Keempat, percayalah kelembagaan zakat mesti dipermak. Kelima, jangan setengah hati berjuang agar zakat bisa kurangi pajak. Keenam, jangan anggap kerdil kiprah LAZ, akarnya kuat di masyarakat. Ketujuh, ikhlaskan pengelolaan zakat jadi independen. Kedelapan, pusatkan perhatian pada zakat dan fakir miskin. Jangan korbankan kehebatan zakat hanya karena sungkan hubungan dengan rekan sejawat terusik.

Ikhtisar
- Delapan tahun setelah UU Zakat disahkan, penataan dunia zakat di Tanah Air belum menemukan titik terang.
- Kinerja Baznas masih tersandung dengan adanya tiga peran yang sulit dijalankan secara seiring oleh satu lembaga.
- Kinerja yang membaik dalam LAZ hanya bermanfaat untuk lembaga itu sendiri, karena daya tawar lembaga tersebut masih rendah.

sumber : Republika Online : http://www.republika.co.id