Membaca dengan skimming method, opini Lampung Post “Korupsi dan Keterwakilan Politik Perempuan” (Sabtu, 25/01/2013) mengingatkan pada fakta sejarah tentang kedudukan dan peran perempuan dalam ruang publik. Gelar sumur, kasur dan dapur yang disandang perempuan hingga kini masih melekat dalam tradisi masyarat. Sehingga, posisi perempuan dalam ruang publik hanya dilibatkan dalam sektor yang lebih sempit.
Sejarah mencatat, posisi perempuan acapkali disubordinatkan dengan kaum laki-laki, baik dalam ruang teologis, sosiologis hingga politik. Jika ditelusur secara mendalam istilah perempuan berbeda
dengan wanita. Perempuan lebih menyimbolkan adanya kesetaraan dibandingkan dengan wanita. Menurut Anton E. lucas dalam bukunya Pendidikan Perempuan (2003) istilah wanita berasal dari bahasa jawa, yaitu wanito yang bermakna wani ditoto (berani diatur). Hal ini berarti kaum wanita harus berani diatur oleh kaum laki-laki. Sedangkan istilah perempuan memiliki kata dasar empu yang bermakna kemandirian dan juga menjadi sebutan bagi orang-orang yang memiliki kelebihan, seperti empu tantular, empu gandring, dan empu prapanca. Oleh karena itu, perempuan sebagai sosok yang mempunyai kelebihan dan kemandirian.
Realita sejarah perempuan tiada lain merupakan sejarah penindasan atas nama jenis kelamin oleh laki-laki. Perempuan selalu menjadi korban, dan sasaran empuk laki-laki. Mereka tidak dihormati, dilecehkan, dipinggirkan, dimarjinalkan, serta beribu batasan lain yang mengerangkeng perjalanan kehidupannya. Dalam hal ini, agama seringkali dijadikan justifikasi tindak kekerasan terhadap perempuan. Hampir dalam setiap agama, kekerasan pada perempuan pasti ada. Pada abad ke-7 masehi agama Hindu menjadikan perempuan sesajen bagi para dewa. Agama Yahudi meyakini perempuan sebagai sumber malapetaka yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Sedangkan agama Nasrani mengemukakan bahwa perempuan tidak memiliki ruh suci, hanya diciptakan sekedar melayani laki-laki. Dalam agama Islam pun, dapat ditemui ajaran yang bila dipahami secara verbal, dapat mendiskreditkan kaum perempuan. Sehingga, perempuan dianggap tidak memiliki legitimasi secara teologis soal kepemimpinan. Maka wajar ketika kepemimpinan perempuan selalu mengundang polemik.
Secara teologis, agama memang tidak secara langsung mendiskriminasi perempuan. Penindasan, diskriminasi, marginalisasi, dan sejenisnya terhadap perempuan, sejatinya dibentuk oleh ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender dalam masyarakat. Namun harus diakui, perilaku bias gender yang mengakar dalam masyarakat, sehingga membentuk masyarakat patriarkhi, tiada lain disebabkan oleh penafsiran atas ajaran agama. Sebab, agama dalam masyarakat relegius, merupakan kekuatan besar dalam proses pembentukan sejarah kebudayaan manusia.
Budaya patriarkhi dalam masyarakat yang sudah menjadi adat dan tradisi, berasal dari doktrin-doktrin agama yang diinternalisasi secara masif dalam masyarakat. Hal itulah yang menyebabkan perempuan selalu berada di garis belakang. Adanya penafsiran ajaran agama yang tidak ramah perempuan, menyebabkan mereka tidak leluasa mengukir hidupnya, hingga harus puas menjadi pelayan laki-laki. Mereka tertinggal dalam banyak hal, mulai dari aspek pendidikan, ekonomi, dan sosial hingga politik.
Tradisi masyarakat meyakini bahwa anak laki-laki harus diutamakan dalam segala hal. Cita-cita, keinginan, mimpi, bahkan obsesinya harus diperjuangkan dan didahulukan daripada keinginan anak perempuan. Karenanya, anak laki-laki bisa mengenyam pendidikan setingi-tingginya, leluasa mengukir impian, dan mendesain perjalanan hidupnya. Sementara bagi perempuan, mereka sama sekali tidak leluasa mengatur jalan hidupnya sendiri, senantiasa dibayang-bayangi larangan orang tua, cibiran tetangga, juga fatwa melalui dalil-dalil agama yang membatasi ruang aktualisasi perempuan. Seorang perempuan dilarang memiliki impian tentang apa pun. Mereka terbatasi dalam banyak hal, ribuan fatwa telah siap mengerangking perjalanan hidup perempuan.
Tidak hanya itu, seringkali mereka tidak menyadari (mengetahui) hak hidupnya dalam kehidupan berumah tangga; walau sebenarnya pada sisi lain, harus diakui bahwa perempuan memang diciptakan atau direkayasa melalui berbagai macam doktrin agar tunduk dan patuh pada keinginan laki-laki. Kehidupan mereka selalu dituntut pasrah dan menerima segala aturan yang dibebankan bagi dirinya. Akibat dari adanya kerangking menyebabkan perempuan belum bisa mengaktualisasikan dirinya dengan baik terutama dalam politik praktis. Setiap kali perempuan berkeinginan tampil dalam wilyah politik praktis, pasti akan memunculkan reaksi negatif dari berbagai kalangan. Karena itu, selama ini peran perempuan di ranah politik masih terbatas.
Dalam pergumulan politik yang sebenarnya, perempuan belum bisa leluasa memainkan pernanan politiknya dengan segenap potensi yang dimilikinya. Setiap kali perempuan menunjukkan keinginannya untuk terlibat dalam percaturan politik praktis, banyak kalangan yang menolak bahkan termasuk kaum perempuan itu sendiri. Ketiadaan dukungan tentu disebabkan oleh stigma di masyarakat yang masih menilai bahwa perempuan tidak berkualitas dan tidak pantas tearjun dalam dunia politik praktis. Hal itu pulalah yang menyebabkan sulit menemukan sosok perempuan yang bisa menjadi figur politisi ulung. Keberadaan perempuan bila memang mampu terjun di ranah politik praktis tidak lebih sebagai pelengkap atau sekedar memenuhi tuntutan kouta dari keterwakilan kaum perempuan.
Terbukti sejak demokrasi dikumandangkan di negeri ini, hanya tercatat satu orang perempuan saja yang mampu menduduki posisi sentral sebagai pemimpin negara. Namun demikian, reaksi negatif dari kalangan masyarakat sudah tidak terbendung. Tidak mudah bagi perempuan untuk memperjuangkan kaum perempuan untuk memperoleh kesempatan dalam mengaktualisaikan potensi dirinya di dunia politik tanpa harus dibayang-bayangi oleh fatwa diskriminatif.
Sudah saatnya tabir diskriminatif dibuka. Karena hakikatnya, perempuan juga memiliki potensi yang tidak kalah dengan laki-laki. Keberadaan perempuan dalam ruang-ruang politik harus diberi porsi yang semestinya. Perpaduan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah politik harus seimbang dan sinergi untuk membangun negeri !