Oleh: Fajar Abdul Bashir
http://gusfajar-al-mujahadah.blogspot.com/2010/03/akad-syirkah.html
A. Pendahuluan
Al-Syirkah -dapat juga dibaca al-syarikah- dalam bahasa indonesia disebut perkongsian untuk bagi hasil atau kerjasama untuk berbagi hasil. Al-Syirkah secara bahasa menurut Syekh Umairah adalah "percampuran", baik percampuran yang tidak dapat dibedakan (syuyu') atau percampuran yang dapat dibedakan (mujawir). Sedangkan secara syari'at Al-Syirkah mempunyai
pengertian; "tetapnya hak (kepemilikan) pada satu barang yang tidak
bisa dibedakan untuk dua orang atau lebih". Menurut Abdurrahman
Al-Juzairi, al-syirkah adalah; "campurnya satu harta dengan harta
lain sekira tidak bisa dibeda-bedakan bagian-bagianya". Namun
macam-macam pengertian al-syirkah tersebut bukan pokok permasalahan yang akan kita bahas, sebab yang akan kita bahas adalah al-syirkah
secara fiqh yaitu percampuran dua atau lebih harta kekayaan dengan
tujuan perkongsian/kerjasama untuk mencari laba atau keuntungan.
Untuk mengawali pembahasan ini, akan kita kutib sebuah teks pengantar yang ditulis oleh Ibnu al-Rusydi dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid sebagai bahan acuan dari pada materi yang akan kita bahas. Teks tersebut adalah demikian;
كِتاَبُ الشِرْكَةِ
وَالنظْرُ
فِى الشِرْكَةِ فِى اَنْوَاعِهَا, وَفِى أَرْكَانِهَا الْمُوْجِبَةِ
لِلصِحَةِ فِى اْلأَحْكَامِ, وَنَحْنُ نَذْكُرُ مِنْ هَذِهِ اْلأَبْوَابِ
مَا اتفَقُوْا عَلَيْهِ, وَماَ اشْتَهَرَ الْخِلاَفُ فِيْهِ بَيْنَهُمْ
عَلَى مَا قَصَدْناَهُ فِى هَذَا الْكِتاَبِ.
وَالشِرْكَةُ
بِالْجُمْلَةِ عِنْدَ فُقَهَاءِ اْلأَمْصَارِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْوَاعٍ:
شِرْكَةُ اْلعَنَانِ, وَشِرْكَةُ اْلأَبْدَانِ, وَشِرْكَةُ
الْمُفاَوَضَاةِ, وَشِرْكَةُ الْوُجُوْهِ. وَاحِدَةٌ مِنْهَا مُتَفَقٌ
عَلَيْهِ وَهِىَ شِرْكَةُ الْعَنَانِ, وَاِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ لَمْ
يَعْرِفْ هَذاَ اللفْظَ, وَاِنْ كَانُوْا اخْتَلَفُوْا فِى بَعْضِ
شُرُوْطِهَا عَلَى مَا سَيَأْتِى بَعْدُ. وَالثلاَثَةُ مُخْتَلاَفٌ
فِيْهَا, وَمُخْتَلاَفٌ فِى بَعْضِ شُرُوْطِهَا عِنْدَ مَنْ اتفَقَ
مِنْهُمْ عَلَيْهَا.
Kitab Al-Syirkah
"Dalam
buku ini akan membahas al-syirkah (perkongsian), yaitu tentang
macam-macam perkongsian dan ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan
agar perkongsian sah secara hukum. Dan dalam bab ini, kami akan
membicarakan tentang hal yang telah disepakati oleh para Ulama dan hal
yang umum diperselisihkan, tentunya disesuaikan dengan setiap
permasalahn-permasalahn yang akan kami bahas dalam buku ini. Secara
umum, para ulama membagi akad kerjasama (syirkah) menjadi empat macam,
(1) kerjasama dalam harta benda, (2) kerjasama dalam tenaga (abdan), (3)
kerjasama dalam laba (mufawadlah), dan (4) kerjasama dalam kekuasaan
(wujuh). Macam kerjasama yang pertama (kerjasama dalam harta benda) para
ulama sepakat mempebolehkan, meskipun masih terdapat perbedaan dalam
hal syarat-syaratnya. Sedangkan macam kerjasama yang lain, terjadi
perbedaan pendapat para ulama tentang boleh dan tidaknya, juga terjadi
perbedaan dalam syarat-syaratnya bagi ulama yang sepakat
memperbolehkan".
Dalam pengantar tersebut dapat diindentifikasi, bahwa Ibnu al-Rusydi
mencoba memetak-metakan pembahasan al-syirkah menjadi beberapa bagian,
(1) macam-macam al-syirkah dan ketentuanya, (2) macam al-syirkah yang
disepakati oleh ulama), dan (3) macam al-syirkah yang tidak disepakati.
B. Landasan Hukum
Sebelum membahas panjang lebar tentang apa itu akad al-syirkah,
alangkah lebih baik apa bila kita ketahui terlebih dahulu landasan atau
dasar pijakan hukumnya, baik landasan dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits.
Dari Al-Qur'an, Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisa' ayat 12;
فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ. (النساء: 12)
”Maka mereka berserikat dalam sepertiga”. (Q.S. An-Nisa’ : 12)
Ayat ini sebenarnya tidak memberikan landasan syariah bagi semua jenis syirkah, ia hanya memberikan landasan kepada al-syirkah al-jabariyyah,
yaitu perkongsian beberapa orang atas harta benda yang terjadi di luar
kehendak mereka karena mereka sama-sama mewarisi harta pusaka. Dalam
Q.S. Shad:24, Allah juga berfirman;
قَالَ
لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا
مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إَِلاَ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ. (ص:24)
"Dan
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu benar-benar
berbuat zalim kepada sebagian lainnya kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal sholeh". (Q.S. Shad: 24)
Ayat
ini mencela perilaku orang-orang yang berkongsi atau berserikat dalam
berdagang dengan menzalimi sebagian dari mitra mereka. Dari dua ayat
al-Qur’an di atas, jelas menunjukkan bahwa al-syirkah pada hakekatnya diperbolehkan oleh risalah-risalah yang terdahulu dan telah dipraktekkan.
Sedangkan dalil/dasar dari Al-Hadits adalah, hadits qudsi dari Abu hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda;
يقو ل الله تعالى: أنا شريك الشريكين مالم يخن احدهما صاحبه. (رواه أبو داود والحاكم)
"Allah
SWT telah berfirman: Aku adalah mitra ketiga dari dua orang yang
bermitra selama salah satu dari kedunya tidak mengkhianati yang lainnya.
Jika salah satu dari keduanya telah mengkhianatinya, maka Aku keluar
dari perkongsian itu". (H. R. Abu Dawud dan al-Hakim)
Selain hadits kudsi di atas, juga terdapat hadits yang sangat masyhur dalam bab al-syirkah yaitu hadits Saib bin Abu Saib, yang merupakan teman perkongsian Rasulullah sebelum kenabian, ia berkata;
مَرْحَباً بِأَخِى وَشَرِيْكِىْ
"Selamat bertemu kembali wahai saudaraku dan teman perkongsianku".
Dari hadits kudsi dan hadist Saib tersebut telah menunjukkan bahwa perkongsian (al-syirkah) memang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan diperbolehkan dalam Islam. Menanggapi masalah ini (al-syirkah)
berdasarkan dalil-dalil di atas, maka para ulama telah sepakat (ijma')
bahwa akad/perjanjian perkongsian hukumnya diperbolehkan, hanya saja
mereka berbeda pandangan dalam hukum jenis-jenis al-syirkah yang banyak
macam dan coraknya.
C. Macam-macam Al-Syirkah
Pada prinsipnya syirkah itu ada dua macam yaitu syirkah kepemilikan (amlak) dan syirkah perjanjian/akad (uqud). Syirkah kepemilikan sendiri ada dua macam yaitu jabariyyah (secara otomatis) seperti harta warisan, dan ikhtiariyah (kesengajaan) seperti hasil membeli barang secara bersama. Sedangkan
syirkah uqud/perjanjian adalah perkongsian yang terjadi karena
kesepakatan dua orang atau lebih untuk berkongsi modal.
Syirkah perjanjian atau perkongsian memiliki banyak macam dan fariasi yaitu syirkah ‘Inan, Mufawadhoh, Abdan, dan Wujuh.
1. Al-Syirkah Al-‘Inan
Syirkah
'Inan atau perkongsian harta benda adalah kerjasama dua orang atau
lebih dalam harta benda untuk diperdagangkan dan mencari keuntungan
bersama. Syirkah "inan merupakan macam syirkah yang disepakati oleh para
ulama (ijma') atas kebolehannya. Adapun syrata-syarat syirkah 'Inan
adalah sebagai berikut;
1.1. Adanya akad (kesepakatan) dalam izin berniaga (tasharruf)
dari kedua belah pihak yang bersekutu/berkerjasama. Menurut pendapat
yang lebih shahih dari madzhab Syafi'i, jika hanya kesepakatan mencampur
harta benda tanpa adanya kesepakan berniaga, maka akad tidak sah.
1.2. Kedua belah pihak harus mempunyai kecakapan hukum (ahl al-tasharruf).
Sebab pada hakekatnya mereka berdua adalah muwakil (orang yang
mewakilkan) dalam hartanya masing-masing dan wakil dalam memperdagangkan
harta orang lain.
1.3. Harta benda yang dicampur merupakan harta benda yang sama jenisnya (mitsliy) seperti mata uang atau bahan mentah lainya seperti beras atau gandum. Namun menurut pendapat lain, akad al-syirkah hanya khusus pada mata uang.
1.4. Bercampurnya
harta benda sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan antara harta
satu dengan yang lain. Untuk itu, harta benda yang dijadikan
perkongsian diwajibkan harus yang sama jenisnya (mitsliy).
Percampuran harta benda harus dilakukan sebelum dilaksanakanya
perjanjian (akad). Percampuran harta benda setelah dilakukannya
perjanjian, menurut pendapat yang lebih shahih (al-ashah) dalam
madzhab Syafi'iyyah tidak dapat dibenarkan (tidak sah). Namun menurut
Abu Hanifah, percampuran harta secara fisik tidak disyaratkan. Bagi yang
berserikat cukup menyatakan dalam perjanjian (akad) bahwa mereka telah
sepakat berkongsi bersama meskipun harta mereka masih dalam pegangan
masing-masing.
1.5. Kedua belah pihak mempunyai hak yang sama dalam pengalokasian harta benda, dengan syarat tidak ada unsur merugikan.
1.6. Keuntungan
dan kerugian ditanggung bersama-sama sesuai dengan kadar modal
masing-masing. Dalam akad syirkah 'inan, harta benda yang dibuat modal
tidak disyaratkan sama jumlah dan kadarnya, seperti contoh si A
berinfestasi 100 juta, dan si B berinfestasi 50 juta. Hanya saja tentang
masalah keuntungan atau kerugian ditanggung sesuai dengan prosentase
modal masing-masing.
2. Al-Syirkah Al-Mufawadhah
Pengertian
Syirkah Mufawadhah adalah kedua belah pihak yang berkongsi menyerahkan
kekuasaan pada masing-masing pada harta mereka untuk mengalokasikannya
tanpa adanya percampuran harta, dan dengan konsekuensi/resiko yang
ditanggung bersama. Syirkah Mufawadlah sebenarnya hampir sama dengan
syirkah 'inan, hanya satu perbedaanya yaitu tidak adanya unsur
percampuran harta.
Syirkah
Mufawadlah menurut Abu Hanifah dan Imam Malik hukumnya diperbolehkan.
Abu Hanifah beralasan bahwa percampuran dua harta secara fisik tidak
merupakan syarat dalam akad syirkah, asalakan secara mereka telah
sepakat dengan perjanjian (akad) akan melakukan perkongsian, maka akad
syirkah tetap sah dan diperbolehkan, meskipun tidak ada percampuran
harta benda secara fisik. Lain halnya dengan Imam Malik, beliau memberi
alasan bahwa syirkah mufawadlah secara hukum (hukmi) dengan terjadinya
akad perjanjian telah terjadi percampuran harta, meskipun secara fisik
harta masih ditangan masing-masing yang berkongsi. Dengan demikian maka
pada saat salah satu dari mereka mengalokasikan harta, sesungguhnya ia
telah menjadi wakil dari bagian harta syirkah bukan atas nama pribadi.
Sehingga dalam syirkah mafawadlah tetap disyaratkan adanya izin berniaga
dari masing-masing pihak yang berkongsi. Hanya saja Abu Hanifah dan
Imam Malik tidak selaras dalam maslah syarat kadar harta. Menurut Abu
Hanifah, harta masing-masing yang berkongsi dalam syirkah mufawadlah
harus sama, sedangkan menurut Imam Malik, harta modal masing-masing
tidak harus sama.
Sedangkan
menurut Imam Syafi'i, syirkah mufawadlah tidak diperbolehkan (tidak
sah) karena tidak adanya unsur percampuran harta secara fisik.
Percampuran harta secara fisik bagi Syafi'iyyah sangat diperlukan,
meskipun keuntunganya dalam syirkah mufawadlah akan dikumpulkan
(dicampur), akan tetapi keuntungan bukan merupakan pokok, karena
keberadaan keuntungan hanyalah cabang hukum.
3. Al-Syirkah Al-Abdan
Syirkah
Abdan adalah perkongsian/kerjasama di dalam pekerjaan bukan dalam harta
benda, seperti kerjasama dalam membangun rumah, berjualan, atau
menjahit. Dalam perkongsian macam ini tidak disyaratkan adanya kesamaan
kadar pekerjaan, baik dalam profesi yang sama seperti sama-sama tukang
kayu atau berlainan profesi seperti tukang cukur dengan tukang jahit
yang menyewa satu ruko kemudian dimanfaatkan bersama, kemudian
keuntungan dari masing-masing pekerjaan dibagi rata.
Syirkah
Abdan atau perkongsian pekerjaan/profesi menurut Abu Hanifah dan Imam
Malik diperbolehkan. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, syirkah profesi
seperti ini tidak diperbolehkan, dengan alasan bahwa akad syirkah
menurut beliau hanya pada harta benda bukan pekerjaan. Sebab syirkah
dalam pekerjaan amat sulit dibatasi dan disamakan kadarnya sehingga
dapat memicu terjadi perselisihan (ghurur). Hal ini beda dengan
alasan yang dilontarkan oleh Imam Malik, beliau memandang bahwa jika
akad mudlarabah yang nota bene transakasi pada sebuah pekerjaan
diperbolehkan oleh syari'at, maka tidak ada alasan untuk melarang akad
syirkah profesi atau pekerjaan. Selain itu Imam Malik juga menggunakan
dasar hadits Ibnu Mas'ud dan Said yang melakukan perkongsian dalam
pekerjaan berperang untuk kemudian hasil jarahan dibagi berdua, dan hal
tersebut telah diketahui oleh Rasulullah SAW. Menanggapi alasan Imam
Malik, Imam Syafi'i berpendapat bahwa akad syirkah sangat beda dengan
akad mudlarabah sehingga tidak bisa disamakan hukumnya (qiyas), begitu
juga masalah pada harta jarahan (ghanimah) tidak bisa disamkan dengan
akad syirkah. Sedangkan Abu Hanifah tidak benyak komentar dalam
mendasari pendapatnya, beliau hanya mengatakan bahwa syirkah dalam
pekerjaan diperbolehkan.
Meskipun Abu Hanifah dan Imam Malik setuju akan diperbolehkanya akad syirkah perkerjaan (abdan)
meskipun dengan alasan yang berbeda, namun terjadi perbedaan tentang
syarat-syaratnya terutama masalah jenis pekerjaan. Menurut Abu Hanifah
pekerjaan yang dikongsikan tidak harus sama, sehingga tukang jahit bisa
berkongsi dengan tukang cukur. Sedangkan menurut Imam Malik mensyaratkan
pekerjaan harus sejenis yaitu tukang jahit dengan tukang jahit, sebab
jika pekerjaannya berbeda ditakurkan akan terjadi banyak penipuan (ghurur) yang akan mengakibatkan konflik.
4. Al-Syirkah Al-Wujuh
Syirkah
wujuh adalah perkongsian tanpa harta benda dan pekerjaan fisik. Mereka
yang berkongsi hanya bermodalkan nama baik (reputasi) yang diraihnya
karena kepribadiannya dan kejujurannya dalam berniaga. Syirkah ini
terbentuk manakala ada dua orang atau lebih yang memiliki reputasi yang
baik dalam bisnis memesan suatu barang untuk dibeli dengan sistem kredit
(muajal) dan kemudian menjualnya dengan kontan. Keuntungan yang
dihasilkan dari usaha ini kemudian dibagi menurut persyaratan yang telah
disepakati antara mereka.
Menurut
Abu Hanifah syirkah wujuh diperbolehkan, dengan alasan bahwa suatu
amal/pekerjaan tidak harus secara fisik. Artinya, memesan barang dan
menjualnya dengan bermodal reputasi menurut Abu Hanifah termasuk
pekerjaan. Sedangkan menurut Imam Malik dan Syafi'i, syirkah tersebut
tidak diperbolehkan. Beliau berdua mendasari dengan alasan bahwa al-syirkah al-wujuh
sudah keluar dari rel perkongsian dimana harta benda dan pekerjaan
fisik tidak dalam perkongsian tersebut. Modal berupa reputasi sangat
sulit diperkirakan kadar dan ketentuanya, sehingga berpotensi terjadi
penipuan dan perselisihan.
D. Kesimpulan
Al-Syirkah
adalah perkongsian dua orang atau lebih baik berupa harta benda,
pekerjaan, profesi, atau reputasi. Untuk syirkah harta benda atau
disebut syirkah 'inan para ulama sepakat (ijma') memperbolehkan. Untuk
syirkah pekerjaan dan profesi menurut Abu Hanifah dan Malik hukumnya
boleh dan menurut Imam Syafi'i tidak boleh. Sedangkan syirkah reputasi
(syirkah wujuh) hanya Abu Hanifah yang memperbolehkan, sedangkan menurut
Imam Malik dan Imam Syafi'i syirkah wujuh tidak diperbolehkan.
Kemudian
yang perlu juga digarisbawahi adalah, bahwa akad syirkah merupakan
transaksi perjanjian yang bersifat inisiatif dan suka rela (jaiz) bukan bersifat mengikat (lazim),
sehingga apabila dalam perjalanan terjadi masalah dan salah satu dari
anggota perkongsian itu hendak keluar dari keanggotaan perkongsian, maka
diperbolehkan.
Referensi:
1. Abdurrahman al-Juzairi, Madzahib al-Aba'ah. Maktabah Al-Ashriyyah. Bairut. Libanon. 2003.
2. Ibnu ar-Rusydi, Bidayah al-mujtahid wa nihayah al-muqtashid. Maktabah al-Syuruq. Bairut. 2004.
3. Jalaludien Al-Mahaly, Qulyubi wa Umairah. TP. Semarang
4. Abu Zakariyya An-Nawawi, Tuhfatul Muhtaj fi al-syarh al-manhaj.. Maktabah Syamilah.
5. Sayyid Abu Bakar Syatha, I'anatutthalibin. TP. Semarang