Saat itu, kapal tongkang menjadi satu-satunya cara untuk menyeberangi Selat Sunda. Kapal itu sederhana, jauh dari kenyamanan. Hanya ada geladak kayu yang basah dan angin laut yang dingin menusuk tulang. Perjalanan pun bukan hitungan jam, melainkan berhari-hari. Dalam kondisi demikian, Bapak harus bertahan tanpa makanan yang layak. Kelaparan melanda, tetapi tidak ada yang bisa dimakan. Air laut menjadi satu-satunya pelepas dahaga, meski rasa asin dan pahitnya menyiksa tenggorokan.
Di tengah lautan luas, gelombang besar sering kali membuat kapal oleng. Di saat seperti itu, Bapak menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan alam. "Hidup dan mati rasanya sudah kutitipkan di kapal ini," begitu beliau pernah bercerita. Namun, meskipun tubuh lemah dan perut kosong, semangatnya untuk mengubah nasib tetap menyala. Dalam hatinya, ia terus berdoa, berharap Tuhan memberikan keselamatan hingga tiba di tujuan.
Sesampainya di Lampung, perjuangan belum usai. Bapak datang seorang diri, tanpa keluarga, tanpa teman, tanpa pegangan. Ia harus memulai segalanya dari nol, membabad alas, membuka jalan baru di tengah keterasingan. Hutan lebat menjadi tempat tinggalnya, dan suara binatang buas menjadi teman pertamanya. Dalam sunyi, Bapak bekerja keras, membangun mimpi sedikit demi sedikit.
Perjuangan itu tidak sia-sia. Berkat kegigihan dan ketabahannya, Bapak berhasil mengubah nasibnya. Dari seorang perantau yang penuh kesulitan, ia menjadi seorang yang sukses, berwibawa dan dihormati, membawa perubahan bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga untuk keluarga yang ia cintai.
Kisah ini adalah warisan terbesar yang Bapak tinggalkan. Sebuah pelajaran tentang keberanian, keteguhan hati, dan keyakinan bahwa setiap ujian adalah pintu menuju kehidupan yang lebih baik. Meski Bapak kini telah tiada, semangat dan perjuangannya akan selalu hidup dalam hati kita.