Gema
kontroversi kembali terjadi jelang penetapan 1 Syawal 1432 H antara kubu
pemerintah dengan versi berbagai ormas Islam. Perbedaan ini timbul karena
masing-masing pihak menggunakan metode yang berbeda dalam menetapkan awal bulan
khususnya penetapan 1 Syawal 1432 H. Terdapat beberapa metode penetapan awal
bulan dalam kalender Hijriyah, diantaranya ada yang menggunakan metode hisab
(perhitungan), rukyat (observasi), ada pula yang berusaha mengintegrasikan antara
hisab dan rukyat.
Prediksi
pemerintah dalam menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada Rabu (31/8). Sedangkan
Muhammadiyah sejak awal menetapkan 1 Syawal jatuh pada Selasa (30/8). Hal ini
terlihat dari kalender mereka yang mencantumkan tanggal 1 Syawal berbeda dengan
kalender
resmi pemerintah. Sementara, NU, Persis dipastikan akan mengikuti
keputusan pemerintah yaitu berlebaran pada Rabu (31/8) karena secara kebetulan
berdasarkan kriteria yang mereka gunakan menghasilkan kesimpulan yang sama.
Perbedaan
ini merupakan kemajuan ilmiah bagi umat Islam. Kemampuan menentukan penanggalan
(kalender) termasuk satu di antara sekian banyak tanda-tanda kemajuan peradaban.
Kita patut berbangga, tapi kita juga harus mengelus dada. Kenapa perbedaan ini
terus terjadi sehingga ada semacam “pergerakan” saling mendahului dalam
perayaan lebaran di kalangan umat Islam.
Berkaca dari
kalender Masehi yang menuai pro-kontra untuk eksis sebagai kalender universal.
Seiringan perjalanan waktu hingga kurun dekade milenium ke-2, kalender Masehi
dapat eksis sebagai kalender universal. Hal ini mengindikasikan bahwa mudah
memberikan pemahaman kepada masyarakat, bahwa kalender Hijriyah pun dapat
setara dengan kalender Masehi.
Kalender
Masehi mulai digunakan oleh umat Kristen. Mereka berusaha menetapkan tahun
kelahiran Yesus
atau Isa
sebagai tahun permulaan. Namun untuk penghitungan tahun dan bulan mereka
mengambil kalender orang Romawi
yang disebut kalender Julian. Kalender Julian kemudian
disempurnakan menjadi kalender Gregorian.
Thomas
Djamaluddin dalam tulisannya “Milenium dalam Perspektif Matematis Astronomis”
menjelaskan, bahwa dalam perjalanan sejarahnya, kalender Masehi telah mengalami
dua kali reformasi. Pertama, tahun 325 M ketika vernal equinox ternyata telah
bergeser dari 25 Maret menjadi 21 Maret. Tetapi, tidak terjadi pergeseran hari,
hanya ditetapkan tanggal baru untuk vernal equinox, yaitu 21 Maret. Ketentuan
tersebut dapat mempengaruhi penetapan hari besar Kristiani. Paskah ditentukan
setiap hari Minggu pertama setelah purnama pada atau sesudah vernal equinox.
Hal tersebut berpengaruh juga pada penetapan hari Wafat dan Kenaikan Isa
Almasih.
Reformasi ke
dua terjadi pada 1582 disebut reformasi Gregorian. Karena satu tahun syamsiah
rata-rata 365,2422 hari, sedangkan kalender Julian menetapkan rata-rata 365,25
hari, awal musim semi saat itu diketahui telah bergeser jauh menjadi tanggal 11
Maret. Maka dilakukan reformasi dalam dua hal agar awal musim semi kembali
menjadi tanggal 21 Maret.
Reformasi
Gregorian pertama menghapuskan 10 hari dari tahun 1582 dengan menetapkan hari
Kamis 4 Oktober langsung menjadi hari Jummat 15 Oktober. Ke dua,
rata-rata satu tahun ditetapkan 365,2425 hari. Dengan cara, tahun kabisat
didefinisikan sebagai tahun yang bilangannya habis dibagi empat, kecuali untuk
tahun yang angkanya kelipatan 100 harus habis dibagi 400. Dengan aturan
tersebut tahun 1700, 1800, dan 1900 bukan lagi dianggap sebagai tahun kabisat.
Tahun 2000 adalah tahun kabisat.
Ummat Islam
perlu mengkaji ulang metode dasar yang digunakan sebagai metode penentuan awal
bulan kalender Hijriyah. Dikotomi klasik yang hingga kini masih menuai
kontroversi yaitu klaim hisab maupun rukyat. Klaim ijtihadiyah pertama bahwa
Rukyat bersifat qath'i sehingga menentukan, sedangkan hisab bersifat dzhanniy
sehingga hanya pendukung atau diabaikan. Klaim ijtihadiyah kedua hisab bersifat
qath'i sehingga menentukan, sedangkan rukyat bersifat dzhanniy
sehingga hanya pendukung atau diabaikan.
Merubah
paradigma hisab-rukyat dari perdebatan dalil metode yang sahih dan paling baik
sangat diperlukan dengan cara saling menghargai satu sama lain. Dengan cara
mencari kriteria yang disepakati bersama dengan metode yang berbeda dengan
upaya saling mengisi. Peluang titik temu sudah lama direncanakan. Dari Penganut
rukyat telah membuat pedoman: “Kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak
bila tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat.” Dan Penganut
hisab telah membuat pedoman: “Kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak bila
tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat.” Maka landasan ilmu
pengetahuan masing-masing kriteria terbuka untuk didiskusikan ulang.
Kalender
Hijriyah adalah kalender
yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan
dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya. Kalender ini dinamakan kalender
Hijriyah, karena pada tahun pertama terjadi peristiwa Hijrah-nya Nabi
Muhammad
SAW dari Makkah
ke Madinah
tahun 622
M. Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam, kalender Hijriyah
digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari.
Mari kita
bangun visi bersama untuk menjadikan kalender Hijriyah sebagai kalender publik
yang mempersatukan ummat setara dengan kalender Masehi, bukan terbatas menjadi
kalender privat kebanggaan masing-masing ormas Islam. Kalender yang
mempersatukan ummat adalah kalender yang bukan hanya untuk ibadah, tetapi bisa
untuk kegiatan bisnis dan administrasi negara. Manfaat pragmatis jika kalender
Hijriyah benar-benar bisa menjadi kalender resmi pemerintah, kita akan
memperoleh penghematan anggaran 10-11 hari dalam setahun.
Kalender
Hijriyah bukan lagi ranah agama, tetapi kita angkat sebagai ranah sosial.
Masyarakat kita memerlukannya, setara dengan kalender Masehi. Perbankan Syariah
kini setara dengan perbankan Konvensional, bukan di negara-negara Islam, di
Eropa pun bisa berkembang "Bulan Sabit Merah" yang setara dengan "Palang
Merah" kini saatnya kalender Hijriyah setara dengan kalender Masehi.
Akhirnya, melalui otoritas tunggal yaitu pemerintah yang diwakili kementerian
Agama dan adanya batas wilayah keberlakuan hukum Indonesia, maka sudah saatnya
menyetarakan kalender Hijriyah sebagai kalender universal.