A.  Pendahuluan
Sumber hukum ialah sumber pengambilan di dalam menetapkan suatu hukum syara’, baik sumber yang disepakati oleh ulama mujtahid ataupun sumber yang tidak disepakati oleh mereka. Sumber hukum dalam usul fiqh ahli sunnah wal jama’ah secara umum dibagi menjadi 2 bagian yaitu sumber hukum yang disepakati dan yang tidak di sepakati. Sumber hukum yang disepakati tersebut adalah  Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan sumber hukum yang tidak disepakati diantaranya seperti Istihsan, Masalih Mursalah, Urf, Istishab dan sebagainya.
B.  Pembahasan
1.      Pengertian Istihsan
Menurut Muhammmad Al-Said Ali Abdur Rabuh[1]Istihsan secara bahasa adalah
عد الشيئ حسنا
Memperhitungkan bahwa sesuatu itu adalah baik.
Adapun Istihsan menurut pengertian istilahSeperti yang disebutkan oleh abdul wahab khalaf[2] bahwa yang dimaksud Istihsan adalah:
عدول المجتهد عن قياس جلي إلى مقتضى قياس خفي أو عن حكم كلي إلى حكم استثنائي انقدح فى عقله رجح لديه هذا العدول
Berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan Qiyas jaly kepada ketentuan Qiyas Khofy atau dari ketentuan Umum kepada ketentuan yang husus (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan yang dimaksud. 
Sementara menurut Imam Al-Bazdawi[3]yang dimaksud Istihsan adalah:
عدول عن موجب قياس إلى قياس أقوى منه أو هو تخصيص قياس بدليل أقوى منه
Berpindah dari seharusnya menggunakan suatu Qiyas kepada Qiyas yang lainnya yang lebih kuat atau penghususan ketentuan Qiyas dengan dalil yang lebih kuat.
Senada dengan pendapat diatas yaitu pendapatnya Syaikh Wahbah az- Zuhaili[4], dimanamenurut beliau definisi Istihsan terdiri dari dua yaitu :
ترجيح قياس خفي على قياس جلي بناء على دليل
1.      Mengunggulkan (memakai) qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu.
استثناء مسألة جزئية من أصل كلى أو قاعدة عامة بناء على دليل خاص يقتضي ذلك
2.      Pengecualian masalah juz’iyah dari Ashal yang bersifat Kully atau dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada dalil (petunjuk)khusus yang mengharuskan hal tersebut.
Istihsan yang disebut pertama dikenal dengan Istihsan Qiyasi, sedangkan yangkedua disebut Istihsan Istisnaiy[5].
Pendapat Abdul wahab Khalaf dan Wahbah az-Zuhaily lebih tepat dalam menggambarkan pemakaian istihsan dikalangan ulama’ hanafiyah. Sedangkan definisi imam Al-bazdawy lebih tepat dalam menggambarkan pemakaian istihsan dikalangan ulama’ malikiyah dan hanafiyah.
2.Dasar Pijakan perumusan istihsan sebagai dalil
       Bila dilacak dasar perumusan dan akar sejarah munculnya istihsan sebagai dalil hukum adalah berawal dari persoalan qiyas. Qiyas sebagai salah satu dalil hukum dalam persoalan-persoalan tertentu tidak dapat diterapkan, karena salah satu dari unsur rukunnya yaitu; illat tidak memenuhi syarat. Dengan kata lain, illat qiyas yang akan dijadikan sebagai pautan atau penyamaan hukum bagi persoalan tertentu itu tidak dapat diterapkan, karena tidak sebanding. Oleh karena itu, harus diselesaikan dengan cara lain yang lebih mendekati tujuan syara’. Dasar pemikiran dan perumusan istihsan seperti itu, yang kemudian diangkat sebagai salah satu dalil hukum (dalil istimbathoh) oleh imam Abu Hanifah dikalangan para pengikutnya[6].
Disamping itu menurut hasby ash-Shiddiqy[7] munculnya istihsan berawal dari adanya persoalan hukum yang menyalahi (berlawanan dengan) kaidah umum yang sudah biasa dipakai lantaran suatu sebab yang mengharuskan meninggalkan (mengenyampingkan) kaidah tersebut. Sebab dengan meninggalkan kaidah yang telah lazim dipakai itu, justru lebih dekat kepada maksud syara’ yaitu untuk kemaslahatan. Penggunaan istihsan ini, lanjut hasby Ash-shidqi hanya berlaku pada masalah-masalah juz’iyyah, bukan pada masalah-masalah kulliyah.
3.    Pembagian Istihasan
Seperti yang telah disebut diatas bahwa secara global istihsan dibagi menjadi 2 macam yaitu istihsan Qiyasi dan istihsan Istisna’y.
Istihsan Qiyasi terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas,  yaitu qiyas jali atau qiyas khafi. Pada dasarnya bila dilihat dari segi kejelasan ‘illat-nya maka qiyas jali lebih pantas didahulukan atas qiyas khafi. Namun, menurut mazhab Hanafi, bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar kemaslahatan yang dikandungnya dibandingkan dengan qiyas jali, maka qiyas jali itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil qiyas khafi. Praktik seperti itulah yang dikenal dengan Istihsan qiyasi.Contohnya[8]: tentang sisa air minuman burung buas seperti elang dan burung pemangsa lainnya, menurut al-Qiyas terang ( jaliy ), sisa minuman burung elang adalah najis, kerana ia diqiyaskan dengan sisa minuman binatang buas yang lain, seperti harimau dan serigala. Berdasarkan dagingnya tidak boleh dimakan karena najis (illatnya). Tapi kalau menurut qiyas khofy (burung elang diqiyaskan dengan manusia yang sama-sama tidak boleh dimakan dagingnya tapi tidak najis.Detailnya paruh burung elang di qiyaskan dengan tulang manusia yang mana hukumnya suci) maka sisa minuman burung elang dan burung pemangsa yang lain tidak najis. Menghukumi sucinya sisa minuman burung buas berdasarkan qiyas khofy (bukan dengan qiyas jaly) inilah yang dinamakan istihsan qiyasi.
            Sedangkan Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam[9], yaitu :
1). Istihsan bin-nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas (Al-Qur’an atau Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.Contoh istihsan dengan Al-Qur’an adalah ucapan seseorang : “ hartaku akan ku shodaqohkan”, berdasarkan qiyas seseorang tersebut harus menshodaqohkan semua hartanya, namun hukum ini dikecualikan; yang di sodaqohkan hanya harta zakatnya saja berdasarkan firman alloh SWT:
خذ من أموالهم صدقة
Contohnya istihsan dengan hadits adalah Puasa tidak batal apabila makan secara tidak sengaja disebabkan lupa. Menurut kaedah umum (Qiyas), puasa seseorang batal karena ia tidak menahan diri daripada memasukkan sesuatu ke dalam rongga badan. Namun hukum itu di kecualikan daripada kaedah umum berdasarkan hadis Nabi SAW :

من اكل او شرب ناسيا فلا يفطر فانما هو رزق رزقه الله

Barang siapa yang terlupa sedangkan ia berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempunakan puasanya. Sesungguhnya Allah memberi makan  dan minum kepadanya.
( Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan At-Tarmizi dan Abu Daud dan Ibnu Majah)

2). Istihsan berlandaskan ijma’. Misalnya Transaksi Ishtisna’ (pesanan untuk membuat sesuatu). Menurut kaidah umum (qiyas) praktik seperti itu tidak dibolehkan, karena pada waktu mengadakan akad pesanan, barang yang akan dijualbelikan tersebut belum ada. Memperjualbelikan benda yang belum ada waktu melakukan akad dilarang dalam hadis Rasulullah (HR. Abu Daud). Namun hal itu dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorang pun ulama yang membantah keberlakuannya dalam masyarakat sehingga di anggap sudah disepakati (ijma’)[10].
3). Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat kebiasaan). Misalnya, boleh mewakafkan benda bergerak seperti buku-buku dan perkakas alat memasak. Menurut ketentuan umum (qiyas) perwakafan, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, wakaf hanya dibolehkan pada harta benda yang bersifat kekal dan berupa benda tidak bergerak seperti tanah. Dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya adat kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkkan praktik wakaf tersebut.
4). Istihsan yang berlandaskan Darurat dan Hajat. Misalnya: Air sumur atau kolam yang terkena najis. Berdasarkan kaidah umum air tersebut tidak boleh di gunakan, akan tetapi dalam kondisi darurat, air tersebut dibutuhkan, maka pada saat kondisi begini diperbolehkan. Menurut kalangan madhab hanafi[11] untuk menghilangkan najis tersebut cukup memasukkan beberapa galon air kedalam sumur atau kolam tersebut karena kondisi darurat yang dihadapinya.
5). Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah. Misalnya mengharuskan ganti rugi atas diri seorang penyewa rumah jika peralatan rumah itu ada yang rusak di tangannya kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang di luar kemampuan manusia untuk menghindarinya. Menurut kaidah umum, seorang penyewa rumah tidak dikenakan ganti  rugi jika ada yang rusak selama ia menghuni rumah itu kecuali jika kerusakan itu disebabkan kelalaiannya. Tetapi, demi menjaga keselamatan harta tuan rumah dan menipisnya rasa tanggung jawab kebanyakan para penyewa, maka kebanyakan ahli Fiqh berfatwa untuk membebankan ganti rugi atas pihak tersebut.
Menurut imam Al-Ghozali dengan melihat pembagian istihsan dari imam al-Karkhi (tokoh usul fiqh hanafiyah), beliau menolak istihsan yang tidak didasarkan pada syara’ saja seperti istihsan yang berlandaskan uruf (kebiasaan)[12].
4.    Kehujjahan Istihsan
Seperti yang telah kita ketahui bersama, penggunaan istihsan dalam mengistimbatkan hukum masih diperselisihkan oleh ulama’ madzhab menjadi dua kelompok
1)      Kelompok pertama yaitu terdiri Mazhab Hanafi, Maliki, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain[13] :
a)      Firman Allah : (QS. Az-Zumar/39:18)
Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Ayat tersebut, menurut mereka, memuji orang-orang yang menngikuti perkataan (pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu yang dianggap baik, dan boleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
b)      Sabda Rasulullah :
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, adalah juga baik disisi Allah (HR Ahmad dalam kitab Sunnah, bukan dalam musnadnya. Ada yang mengatakan hadits ini mauquf pada ibnu Mas’ud)).
Hadis ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam karena merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Dapat dijadikan landasan menetapkan hukum.
2)      Kelompok kedua yaitu Imam Muhammad ibn Idris al –Syafi’I (w.204 H), pendiri Mazhab Syafi’I, madzhab zahiriyah dan madzhab syi’ah tidak menerima istihsansebagai landasan hukum[14]. Alasannya sebagaimana dijelaskan oleh imam Syafi’I yaitu: barangsiapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat syariat baru dengan hawa nafsu. Alasannya antara lain :
a)      Firman Allah SWT pada Ayat 38 Surat al-an’am :
Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
Ayat di atas, menurut Imam Syafi’i menegaskan kesempurnaan Al-Qur’an untuk menjawab segala sesuatu.
b)       Firman Allah SWT padaAyat 44 Surat al-Nahl :
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Ayat ini menjelaskan bahwa di samping Al-Qur’an ada Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan dan merinci hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an sehingga menjadi lebih lengkap untuk menjadi rujukan menetapkan hukum sehingga tidak lagi memerlukan istihsan yang merupakan kesimpulan pribadi.
c)      Firman Allah SWT padaAyat 49 Surat al-maidah :
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Ayat diatas, menurut Imam Syafi’i, memerintahkan manusia untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan larangan mengikuti kesimpulan hawa nafsu. Hukum yang di bentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, oleh karena itu tidak sah dijadikan landasan hukum. Dan menurut imam Gozali 2 dalilyang dikemukakan oleh ulama’ yang berhujjah dengan istihsan diatas yaitu firman Alloh SWT pada surat Az-Zumar ayat 18, itu ya harus dengan alqur’an seperti firman Alloh di ayat yang lainnya, sedangkan hadis nabi yang diriwayatkan ahmad tersebut hanyalah khobar ahad yang tidak bisa di pakai hujjah menurut ulama’ Ushul.
Menurut Wahbah aZ-Zuhaily[15], adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’i membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Sedangkan istihsan yang di pakai oleh para penganutnya bukan didasarkan atas hawa nafsu, tetapi men-tarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumannya.
Dalam gambaran tersebut, sasaran dari kritikan Imam Syafi’I di atas, bukanlah istihsan yang telah dirumuskan secara definitif di kalangan penganutnya, tetapi sasarannya adalah praktik-praktik istihsan yang terdapat di Irak di mana secara ilmiah belum dirumuskan secara definitif[16].
                        Senada dengan pendapatnya Wahbah Az-Zuhaily yaitu pendapatnya Abdul wahhab Khalaf[17]mengatakan bahwa apabila di teliti persoalan yang menjadikan perbedaan pendapat dikalangan ulama’ usul Fiqh dalam menerima atau menolak Istihsan sebagai salah satu dalil Syara’, maka akan ditemui bahwa perbedaan tersebut hanyalah merupakan perbedaan istilah. Para ulama’ yang menolak keberadaan istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum, ternyata dalam praktiknya berpendapat sama dengan ulama’ yang menerima kehujjahan Istihsan. Seperti dalam masalah Mudhorobah, berbuka puasa bagi para musafir yang sedang berpuasa, dan hukum-hukum lain yang dikemukakan ulama’ yang menerima kehujjahan Istihsan juga diterima oleh para penolak kehujjahan istihsan. Oleh sebab itu, ibnu qudamah mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk menolak Istihsan apabila dilakukan berdasarkan dalil yang didukung oleh Syara’, sekalipun berdasarkan induksi dari berbagai ayat dan hadist. Adapun istihsan yang dilakukan semata-mata berdasarkan pendapat akal, maka seluruh ulama’ Usul fiqh menolaknya, karena dalam masalah hukum syara’ pendapat akal harus mendapat legalisasi dari nash, walaupun secara umum[18].
                        Kalau kita melihat produk ijtihad (hukum) dengan menggunakan dalil istihsan yang banyak yang sama dengan produk ijtihad dari kelompok Syafi’iyyah yang menolak istihsan semakin menguatkan kepada kita bahwa perbedaan itu hanyalah perbedaan dalam definisi lafadz saja, bukan haqiqatnya[19].
C.  Kesimpulan
Apabila dikaji dan diteliti pengertian yang diberikan oleh ulamak Hanafi dan Maliki, penggunaan Istihsan menurut pendapat mereka bukanlah berdasarkan akal dan nafsu semata akan tetapi masih berdasarkan dalil-dalil syara’ juga.
Apabila diteliti pengertian istihsan menurut Imam Syafie ternyata berlainan dengan pengertian yang diberikan oleh ulamak Hanafi dan Maliki. Dimana Imam Syafie menggambarkan penggunaan istihsan dengan berpandukan akal semata, tanpa dalil syara’, oleh sebab itulah beliau menolak berhujah dengannya (tapi saya menduga praktik penggunaan istihsan berpandukan akal semata pernah terjadi ketika belum dituliskan metode penggunaan istihsan secara benar oleh ulama’ hanafiyah, yaitu pada zaman imam Syafi’i).
Disini dapat dirumuskan bahwa perselisihan di antara ulamak mujtahid dan imam mazhab tersebut mengenai kehujahan istihsan merupakan perselisihan dari segi lafaz saja. Hal ini terjadi disebabkan tidak sama pengertian yang diberikan. Sebenarnya antara mereka tiada perselisihan, kerana tujuan mereka adalah satu yaitu membawa kebaikan untuk masyarakat, agama dan membawa kebenaran serta berhati-hati dan teliti dalam mengeluarkan hukum. Hal ini bisa kita lihat diantaranya pendapat dari hanafiyah maupun malikiyah yang tidak mau memakai hisab dalam penentuan awal bulan hiriyah berdasarkan istihsan atau maslahah mursalah,padahal logikanya ilmu hisab mudah dilakukan dan bisa mengganti rukyah, tetapi mereka tidak menelurkan hukum tersebut karena sudah ada dalil yang jelas bahwa masuknya awal bulan sesuai perintah Nabi Muhammad hanya berdasarkan rukyatul hilal dan istikmal
Demikian makalah ini, mudah-mudahan bermanfaat dan kami tunggu saran teman-teman yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul wahab Khalaf. Ilmu Ushul Feqih. Kairo. Maktabah Ad-Dakwah Al-Islamiyah. Cet VIII, 1990.
Al-Bukhori, imam. Kasyful Asror Alal Ushul Feqh lil Bazdawi. Maktabah Shonayi’, 1307 H.
Abu Zahroh. Ushul Fiqh. Mesir. Darul fikr Al-Aroby, 1958.
An-Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Mohammad., Al-Jami’ Li-Masaili Ushulil Fiqhi, Maktabatul Rusydi, Riyadh, 2002.
As-Suyuti, Jalaluddin Abdur-Rohman Bin Abi Bakar., Asy-Asybah wa An-Nazhoir, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
As-Syafi’i, Abdulloh Bin Mohammad Bin Idris Bin Abbas Bin Ustman., Al-Um, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.
Az-Zuhaily, Wahbah.,  Ushul Fiqh Al- Islamy, Darul Fikri,Dimasq Syria. Darul Fikri. Cet-2 tahun 2001.
Hasbi ash-Siddiqy. Pokok-pokok pegangan imam-imam madzhab dalam membina hukum islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Jakarta. Logos Wacana Ilmu. Cet ke-1 tahun 1977.
Muhammad Al-said Ali abdur Rabuh. Buhus Al-ikhtilaf Fil Adillah Al-muhtalaf Fiha Indal Ushuliyyin. Mesir.
Muhammad bin Ali bin Muhammmad As-Syaukani. Irsyadul Fuhul. Darul Fikri. Beirut Lebanon. Tt.
Romli SA. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta. Gaya Media Pratama. Cet ke-1, 1999.
Satria Effendi. Ushul fiqh. Jakarta. Kencana cet-1 2005.


[1] Muhammad Al-said Ali abdur Rabuh. Buhus Al-ikhtilaf Fil Adillah Al-muhtalaf Fiha Indal Ushuliyyin. Mesir.
[2]Abdul wahab Khalaf. Ilmu Ushul Feqih. Kairo. Maktabah Ad-Dakwah Al-Islamiyah. Cet VIII, 1990. Hal 79.
[3]Al-bazdawi. Kasyful Asror Alal Ushul. Maktabah Shonayi’, 1307 H.
[4]Wahbah Az-Zuhaily. Usulul Fiqh Al-Islamy. Dimasq Syria. Darul Fikri. Cet-2 tahun 2001. Juz II Hal 739
[5]Lihat Abdul wahab Khalaf. Op. Cit. hal 79. Lihat juga Satria Effendi. Ushul fiqh. Jakarta. Kencana cet-1 2005. Hal 143. Lihat juga Abu Zahroh. Ushul Fiqh. Mesir. Darul fikr Al-Aroby, 1958. Hal 263-264
[6] Romli SA. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta. Gaya Media Pratama. Cet ke-1 1999. Hal 142
[7]Hasbi ash-Sdiqy. Pokok-pokok pegangan imam-imam madzhab dalam membina hukum islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hal 163.
[8]Wahbah Az-zuhaily. Op Cit. juz II hal 741
[9] Satria effendi. Op. Cit. hal 144-145.
[10] Dalam mazhab syafi’I aqad Istishna’ juga diperbolehkan karena di qiyaskan dengan aqad salam yang mana jelas ada hadis Nabi yang memperbolehkan hal tersebut.
[11] Lihat dalam Muhammad Al-Said Ali Abdul Rabuh. Op Cit hal 72.
[12] Nasrun Haroen. Ushul  Fiqh. Jakarta. Logos Wacana Ilmu. 1977. Hal 105.
[13]Lihat Satria Efendi.Op Cit.hal 145-147
[14] Muhammad bin Ali bin Muhammmad As-Syaukani. Irsyadul Fuhul. Darul Fikri. Beirut Lebanon. Tt.
[15]Wahbah Az-Zuhaily. Ushul fiqh Al- Islamy. Op Cit. Juz II Hal 750.
[16]Satria Effendi. Op Cit hal 148.
[17] Abdul Wahab Khalaf. Op. Cit., hal 83. Lihat juga Abu Zahroh. Op. Cit. hal 166
[18] Nasrun Haroen. Op. Cit. Hal 113.
[19]Menurut hemat penulis salah satu faktornya adalah hanya istihsan bil urf yang dibatalkan oleh Syafi’iyyah sedangkan istihsan yang lainnya diakui keberadaannya secara konsep dan namanya bukan istihsan tetapi pengecualian. Faktor lainnya karena keketatan hanafiyah dalam mengamalkan hadis ahad, hal ini berbeda dengan kalangan syafi’iyah yang mengamalkan hadis ahad asalkan soheh, sehingga ada masalah yang ditetapkan hukumnya atau dikecualikan dengan hadis ahad sedangkan hanafiyyah pada saat bersamaan menggunakan dalil istihsan bil atsar, dimana produk hukumnya sama.