I. Pendahuluan
Pada garis
besarnya, penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat metode, yaitu:
metode Ijmali (global), Tahlili (analitis), Muqarin
(perbandingan), dan Maudhu’i (tematik). Lahirnya metode-metode tafsir
tersebut merupakan implementasi dan respon atas tuntutan perkembangan zaman
yang selalu dinamis. Pada umumnya orang yang hidup pada masa Nabi Saw dan
sahabat, adalah ahli dalam bahasa arab dan mengetahui secara baik latar
belakang turunnya ayat (Asbab al-Nuzul), serta mengalami langsung
situasi dan kondisi umat ketika ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian, mereka
relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat.
Pada periode
berikutnya, umat Islam semakin majemuk, terutama setelah tersebarnya Islam di
luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan
ilmu tafsir. Akibatnya, para pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan
penafsiran ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan
umat yang semakin beragam, dari sinilah lahir istilah tafsir modern.[1]
Salah satu yang
mendorong lahirnya tafsir modern adalah semakin melebar, meluas, dan
mendalamnya perkembangan aneka ilmu, dan semakin kompleksnya persoalan yang
memerlukan bimbingan al-Qur’an. Disisi lain, kesibukan dan kesempatan waktu
yang tersedia bagi peminat tuntuan itu semakin menuntut gerak cepat untuk
meraih informasi dan bimbingan.
Untuk menanggulangi
permasalahan tersebut di atas, ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir
al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode Maudhu’i
(tematik).[2] Dalam makalah ini akan
mengkaji tiga metode tafsir modern yakni Tafsir al-Maraghi, al-Manar, dan
al-Misbah. Dari ketiga metode tafsir modern tersebut akan dipaparkan dari segi metodologinya.
II.
Metode Tafsir Modern; Tafsir al-Manar
a.
Sketsa Biografi
Muhammad Rasyid Ridha memiliki nama lengkap
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn
al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Bagdadi.[3]
Ia dilahirkan pada hari rabu, tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau 18 Oktober
1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di pantau Laut Tengah, sekitar
tiga mil jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon.[4]
Ayah dan ibunya berasal dari keturunan al-Husayn, putera Ali ibn Abi al-Thalib
dengan Fatimah, puteri Rasulallah Saw. Itulah sebabnya ia menyandang gelar
al-Sayyid di depan namanya.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan
ditengah-tengah masyarakat yang akrab dengan gerakan-gerakan tarekat. Kondisi
masyarakat yang semacam ini membuatnya turut menyesuaikan diri, dimana ia
sempat menjadi anggota tarikat Naqsyabandiyah meskipun ia akhirnya keluar,
karena menurutnya praktik-praktik tarekat tersebut tidak sesuai dengan ajaran
Islam yang benar. Pengalaman ini yang mengilhami gerakan reformasi yang
dilakukannya untuk memperbaiki kondisi umat Islam dari pengaruh negatif tasawuf
dan membersihkan Islam dari berbagai praktik yang menyimpang.
Dalam aspek pendidikan, disamping belajar kepada orang tuanya, ia juga
belajar dari banyak guru. Pada masa kecilnya ia belajar di suatu taman
kanak-kanak yang bernama al-Kuttab, kemudian ia menempuh pendidikan pada
sekolah formal yang didirikan oleh Syaikh Husain al-Jisr pada tahun 1314 H /
1897 M. Selain kepada Syaikh Husain al-Jisr Ridha juga belajar kepada guru-guru
lain, seperti Syaikh ‘Abd al-Gani al-Rafi’, al-Ustadz Muhammad Husaini dan
Syaikh Muhammad Kamil al-Rafi.[5]
Disamping tafsir al-Manar
Muhammad Rasyid Ridha berhasil menulis banyak karya ilmiah. Beberapa karyanya
yang patut dicatat antara lain: Al-Hikmah
Asy-Syar’iyyah fi Muhakamati Al-Qadariyyah wa ar-Rifa’iyyah (buku ini adalah
awal kitab yang disusunnya ketika beliau masih pelajar di Tripoli negeri Syam),
Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh
(terdiri 3 jilid), Nida al-Jins al-Latif
(Huqûq an-Nisâ fi al-Islâm), Al-Wahyu al-Muhammady, Al-Manâr wa al-Azhar, Dzikrâ al-Maulid an-Nabawy, Al-Wihdatu al-Islâmiyyah, Yusru al-Islâm wa ushûl al-Tasyri’ al-Âm,
Al-Khilafatu au al-Imamah al ‘Udma, Al-Wahabiyyun wa al-Hijaz, Haqiqatu ar-Riba, Muswatu ar-Rajul bi al-Mar’ah, As-Sunnah
wa asy-Syi’ah, Manasik al-Haj, Ahkamuhu wa Hukmuhu, Risalah fi Hujjati al-Islam al-Ghazali, Al-Maqshuratu ar-Rasyidiyyah, Syubhatu an-Nashara wa Hujjaju al-Islam,
‘Aqidatu ash-Shulbi wa al-Fida, Al-Muslimun wa al-Qibti wa al-Muktamar al-
Mashry, Muhawaratu al-Mushallih wa
al-Muqallid.[6]
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengalami kecalakaan
ketika dalam perjalanan pulang setelah mengantarkan pangeran Sa’ud al-Faisal.
Ia menderita gegar otak, kemudian wafat pada tanggal 22 Agustus 1935 M.[7]
b.
Metodologi Tafsir
al-Manar
Secara global
dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru Muhammad Rasyid Ridha)[8] hidup dalam suatu
masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai perkembangan yang ada di Eropa,
dimana masyarakatnya sangat kaku, beku dan menutup pintu ijtihad, hal ini
muncul karena adanya kecenderungan umat yang merasa cukup dengan produk
ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku (jumud), sementara di Eropa
sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang mendewakan akal.[9] Sehingga muncul kelompok
yang taqlid (mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan
kondisi di atas, Muhammad Abduh bermaksud dalam setiap penuangan pikirannya
termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan untuk selalu mengingatkan sekaligus
menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Seruan ini pula yang
mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami al-Qur’an.
Dengan demikian
suatu hukum ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu dan hendaknya kondisi
tersebut dijelaskan. Bila kondisi berubah, ketetapan itu juga dapat berubah.
Melalui terobosannya itu, Abduh berusaha mencapai tujuannya, yakni menjelaskan
hakikat ajaran Islam yang murni, menurut pandangannya, serta menghubungkannya
dengan kehidupan masa kini. Beberapa prinsip penafsiran yang menjadikan
kerangka metodologi tafsir al-manarnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, penggunaan akal
secara luas dalam menafsirkan al-Qur’an. Rasionalitas yang dijunjung tinggi
oleh pengarang tafsir ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ada masalah
keagamaan yang tidak dapat diyakini, kecuali melalui pembuktian logika,
sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami
akal, tetapi tidak bertentangan dengan akal.[10]
Kedua, dikalangan ulama
tafsir, Abduh dikenal sebagai face maker (peletak dasar) penafsiran yang
bercorak Adabi-Ijtima’i (sastra dan budaya kemasyarakatan). Ayat-ayat
yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha
mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan.[11]
Secara umum
sebenarnya metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar tidak jauh berbeda dengan
kitab-kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode Tahlili[12] dengan menerapkan
sistematika tertib Mushafi. Namun
karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Qur’an dalam
kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda
dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini
selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi
dan Amin Khuli.[13]
Pada dasarnya
Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh
gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya yaitu:
1. Memandang
setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2. Ayat Al-Qur’an
bersifat umum
3. Al-Quran adalah
sumber Aqidah dan Hukum
4. Penggunaan akal
secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
5. Bersikap
hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
6. Bersikap
hati-hati terhadap pendapat sahabat
Adapun aspek yang
menarik dari tafsir al-Manar adalah bahwa tafsir tersebut berawal dari
ceramah-ceramah di depan publik dan kemudian dirumuskan dalam bentuk tulisan.
Dengan model semacam ini tentunya tidak mengherankan apabila muatan yang ada
pada tafsir tersebut bersifat komunikatif dan memiliki kaitan yang sangat dekat
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
c. Ide Pembaharuan dalam Tafsir al-Manar
Salah satu ide
pembaruan Rasyid Ridha dalam tafsirnya disebabkan adanya kemunduran umat Islam
dalam berbagai aspek dan kehidupan lantaran mereka tidak lagi menganut ajaran
Islam yang sebenarnya. Perilaku umat Islam juga sudah banyak yang menyimpang
dari ajaran Islam yang benar. Bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan
kemajuan umat sudah banyak masuk ke dalam Islam. Misalnya, anggapan yang
menyatakan bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan rohani yang membuat
pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran
agama, kebahagiaan dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal usaha
yang sesuai dengan sunatullah.[14]
Sebagai tafsir
yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunatullah
dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas
ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan
hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan
kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa,
berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah
menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh
Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana
adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.[15]
III. Metode Tafsir Modern; Tafsir al-Maraghi
a. Sketsa Biografi
Nama
lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi.
Lahir pada tahun 1300 H/1883 M di Kota Maraghah, sebuah kota kabupaten di tepi
barat sungai Nil sekitar 70 kilometer di sebelah selatan kota Kairo.
Pendidikan
dasarnya ia tempuh pada sebuah madrasah di desanya, tempat ia mempelajari
al-Qur’an, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya sehingga sebelum
menginjak usia 13 tahun, ia sudah menghafal seluruh ayat al-Qur’an. Di samping
itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama yang lain.
Setelah
menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H/1897 M, al-Maraghi melanjutkan
pendidikannya ke Universitas al-Azhar di Kairo. Ia juga mengikuti kuliah di
Universitas Darul ‘Ulum, Kairo dan berhasil menamatkan studinya di kedua
Universitas pada tahun yang sama 1909 M.
Di
kedua universitas tersebut, al-Maraghi mendapatkan bimbingan langsung dari
tokoh-tokoh ternama seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Bukhait
al-Muthi’, dan Ahmad Rifa’i al-Fayumi. Para tokoh inilah yang menjadi
narasumber bagi al-Maraghi sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual Muslim,
yang menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama.
Setelah
menamatkan pendidikannya di Universitas al-Azhar dan Darul ‘Ulum, ia terjun ke
masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran. Ia mengabdi sebagai
guru di sejumlah madrasah dengan mengajarkan beberapa cabang ilmu yang telah
dipelajari dan dikuasainya. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat sebagai
direktur Madrasah Mu’allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten yang
terletak 300 kilometer sebelah barat daya Kota Kairo. Pada tahun 1916, ia
diminta menjadi dosen tamu untuk mengajar di Fakultas Filial Universitas
al-Azhar di Qurthum, Sudan, selama empat tahun.
Pada
tahun 1920, setelah tugasnya di Sudan berakhir, ia kembali ke Mesir dan
langsung diangkat sebagai dosen Bahasa Arab, Ilmu Balaghah di Universitas Darul
‘Ulum dan Kebudayaan pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar. Pada
rentang waktu yang sama, al-Maraghi juga menjadi guru di beberapa madrasah, di
antaranya Ma’had Tarbiyah Mu’allimah dan dipercaya memimpin Madrasah Utsman
Basya di Kairo. Karena jasanya di salah satu madrasah tersebut, al-Maraghi
dianugerahi penghargaan oleh raja Mesir, Faruq, pada tahun 1361 H.
Dalam
menjalankan tugas-tugasnya di Mesir, al-Maraghi tinggal di daerah Hilwan,
sebuah kota yang terletak sekitar 25 kilometer sebelah selatan Kota Kairo. Ia
menetap di sana sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H/1952
M).
Al-Maraghi mewariskan
kepada umat Islam berbagai karya ilmiah. Salah satunya adalah Tafsir al-Maraghi. Adapun karya-karyanya yang lain adalah: Al-Hisbat fi al-Islam, Al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh, ‘Ulum al-Balaghah, Muqaddimat at-Tafsir, Buhuts wa A-ra’ fi Funun
al-Balaghah, dan Ad-Diyanat
wa al-Akhlaq.
b.
Metodologi Tafsir al-Maraghi[16]
Dari
segi metodologi, al-Maraghi telah mengembangkan metode baru dalam
menafsirkan al-Qur’an, Menurut sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah
mufasir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara
‘uraian global’ dan ‘uraian perincian’. Sehingga, penjelasan ayat-ayat di
dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu Ma’na
Ijma-li[17]
dan Ma’na Tahlili.[18]
Kemudian,
dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari
riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah (dhaif) dan susah diterima akal, atau tidak didukung oleh
bukti-bukti secara ilmiah.
Al-Maraghi
sangat menyadari kebutuhan kontemporer. Dalam konteks kekinian, merupakan
keniscayaan bagi mufasir untuk melibatkan dua sumber penafsiran, aql (akal) dan naql (nas al-Qur’an dan
hadis). Karena memang hampir tidak mungkin menyusun tafsir kontemporer dengan
mengandalkan riwayat semata. Sebab, selain jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas
juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin
komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu
pengetahuan, dan teknologi yang berkembang pesat. Sebaliknya, melakukan
penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan
rentan terhadap penyimpangan-penyimpangan.
Tidak
dapat dimungkiri, Tafsir al-Maraghi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir
yang ada sebelumnya, terutama Tafsir al-Manar. Hal
ini wajar, mengingat dua penulis tafsir tersebut, Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha, adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada al-Maraghi di
bidang tafsir. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir al-Maraghi adalah
penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang
digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Adapun
sistematika dan langkah-langkah yang digunakan dalam Tafsir al-Maraghi
adalah sebagai berikut:[19]
Pertama,
Menghadirkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan.
Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan.
Ayat-ayat ini diurut sesuai tertib ayat mulai dari surah al-Fatihah sampai
surah an-Nas.
Kedua,
Penjelasan kosa kata (Syarh
al-Mufradat). Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat,
al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar
menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat
dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit
bagi pembaca.
Ketiga, Makna
ayat sacara umum (Ma’na
al-Ijmali). Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud
ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada
penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang
dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih
lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi
ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada
mufassir yang melakukan hal serupa.
Keempat,
Penjabaran (al-Idhah).
Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk
menyebutkan Asbab an-Nuzul
jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat
para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya al-Maraghi berusaha
menghindari uraian yang bertele-tele (al-Ithnab),
serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami.
Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta
mudah dipahami dan dicerna oleh akal.
c.
Ide Pembaharuan dalam Tafsir al-Maraghi
Penulisan
tafsir al-maraghi tidak terlepas dari rasa tanggung jawab dan tuntutan ilmiah
seorang penulis sebagai salah seorang ulama tafsir, dalam mengatasi problema
masyarakat kontemporer yang membutuhkan pemecahan secara cepat dan tepat. Ia
merasa terpanggil untuk menawarkan solusi berdasarkan makna yang terkandung
dalam nas al-Qur’an. Karena alasan itulah tafsir al-Maraghi tampil dengan gaya
modern, yakni tafsir yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah
maju.
Al-Maraghi berhasil menggabungkan dari beberapa metode
tafsir yang ada, melalui kitab tafsirnya, al-Maraghi juga mengembangkan salah
satu unsur penafsiran baru, yakni memisahkan antara penjelasan global (ijmali)
dan penjelasan rincian (tahlili).
IV.
Metode Tafsir Modern; Tafsir al-Misbah
a. Sketsa
Biografi
Muhammad Quraish
lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia merupakan
putra dari salah seorang wirausahawan dan juga seorang guru besar dalam bidang
tafsir yaitu Prof. KH. Abdurrahma Shihab.
Pendidikan
formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang, kemudian dilanjutkan
dengan sekolah menengah, sambil belajar agama di Pondok Pesantren Dar Hadis
al-Fiqhiyah di kota Malang, Jawa Timur. Pada tahun 1958, ketika ia berusia 14
tahun ia dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar Kairo Mesir untuk mendalami studi
keIslaman, dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Setelah selesai,
Quraish Shihab berminat melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar pada
Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, tetapi ia tidak diterima karena belum
memenuhi syarat yang telah ditetapkan karena itu ia bersedia untuk mengulang
setahun guna mendapatkan kesempatan studi di Jurusan Tafsir Hadis walaupun
jurusan-jurusan lain terbuka lebar untuknya. Pada tahun 1967 ia dapat
menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar Lc. Karena “kehausannya” dalam
ilmu al-Qur’an ia melanjutkan kembali pendidikannya dan berhasil meraih gelar
MA pada tahun 1968 untuk spesalisasi di bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis
berjudul “al-I’jaz at-Tasyri’i al-Qur’an
al-Karim.[20]
Pada tahun 1980
Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia
mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an, dalam kurun waktu dua
tahun ia berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi yang berjudul “Nazhm al-Durar li al-Biqa’I Tahqiq wa
Dirasah” (suatu kajian terhadap kitab Nazhm
ad-Durar Karya al-Biqa’i) dengan predikat Summa Cum Laude dengan
penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah al-Syarafal Ula.[21]
Quraish Shihab
merupakan salah seorang penulis yang produktif yang menulis berbagai karya
ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang berbentuk buku yang
diterbitkan. ia juga menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh
permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia
kontemporer. Adapun karya-karya beliau yang lain adalah: Tafsir al-Amanah, Membumikan al-Qur’an, Wawasan al-Qur’an
Tafsir al-Qur’an Al-Karim. al-Asma Al-Husna. Mukjizat al-Qur’an.
b. Metodologi Tafsir al-Misbah
Secara metodologis tafsir al-Misbah ditafsirkan dengan
menggunakan metode Tahlîlî, yaitu ayat per ayat disusun berdasarkan tata
urutan al-Qur’an. Menurut Quraish Shihab al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang
tak terpisahkan. Dalam tafsir al-Mishbâh, beliau tidak luput dari pembahasan
ilmu al-Munâsabât yang tercermin dalam enam hal:
1.
Keserasian kata demi kata dalam satu surah;
2.
Keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat (Fawâshil);
3.
Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya;
4.
Keserasian uraian awal satu surah dengan penutupnya;
5.
Keserasian penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya;
6.
Keserasian tema surah dengan nama surah.
Metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari
penafsirannya adalah metode Tahlili. Hal ini dapat dilihat dari
penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai
dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf. Namun disisi lain Quraish Shihab
mengemukakan bahwa metode Tahlili
memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu Quraish Shihab juga menggunakan
metode Maudhu’i atau tematik, yang menurutnya metode ini memiliki
beberapa keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan
pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut
tema-tema yang dibicarakannya.
Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat metode Tahlili,
Quraish Shihab memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara
yang paling tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah metode Maudhu’i.
Dengan demikian, metode penulisan tafsir al-Misbah mengkombinasikan dua metode
yaitu metode Tahlili dengan metode Maudhu’i.
Adapun corak yang dipergunakan dalam tafsir al-Misbah
adalah corak Ijtima’i atau kemasyarakatan, sebab uraian-uraiannya
mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di masyarakat. Dalam
menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah
dalam menafsirkannya, diantaranya:
1. Pada
setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat
yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang
menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
2. Penulisan
ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan
urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
3. Menjelaskan
kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang
ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
4. Kemudian
menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat
para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan dengana ayat yang
sedang dibahas.
Adapun sumber penafsiran yang dipergunakan tafsir al-Misbah ada dua: Pertama,
bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka
menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal
dari pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun
mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir al-Misbah bukan semata-mata hasil ijtihad, hal ini diakui sendiri
oleh penulisnya dalam kata pengantarnya mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad
Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang
dihidangkan disini bukan sepenuhnya hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil
karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka
sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu
Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk
manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhar Kairo, dua
puluh tahun yang lalu. Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar
dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan
tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad
Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain.[22]
c.
Ide
Pembaharuan dalam Tafsir al-Misbah
Salah satu karya yang menjadi magnumopus dari Quraish Shihab adalah tafsir
al-Misbah. Tafsir yang terdiri dari 15
volume ini mulai ditulis pada tahun 2000 sampai 2004. Pengambilan nama
al-Misbah pada kitab tafsirnya dengan alasan bahwa, bila dilihat dari kata
pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Misbah berarti lampu, pelita,
lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu agar karyanya itu dapat
dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan
dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup. Al-Qur’an itu
adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga
banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat tafsir Al-Misbah,
yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu Ilahi tersebut.
Latar belakang penulisan tafsir al-Misbah ini diawali oleh penafsiran
sebelumnya yang berjudul “tafsir al-Qur’an al-Karim” pada tahun 1997
yang dianggap kurang menarik minat orang banyak, bahkan sebagian mereka
menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata atau
kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya ia tidak melanjutkan upaya itu. Di sisi
lain banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari al-Qur’an, seperti
surah Yasin, al-Waqi’ah, al-Rahman dan lain-lain merujuk kepada hadis dhoif,
misalnya bahwa membaca surah al-Waqi’ah mengandung kehadiran rizki. Dalam
tafsir al-Misbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan
utama yang berkisar di sekililing ayat-ayat dari surah itu agar membantu
meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.
V. Penutup
Demikianlah
gambaran umum tentang ketiga metode tafsir modern yakni tafsir al-Manar,
al-Maraghi dan al-Misbah yang secara singkat dan sederhana
dapat disimpulkan bahwa: ketiga tafsir tersebut pada dasarnya ingin
memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk
serta pemberi jalan keluar bagi berbagai problema umat manusia. Oleh karena
itu, diskursus tafsir modern diwarnai oleh usaha-usaha untuk membumikan
al-Qur’an ditengah-tengah kehidupan umat Islam. Para mufassir ingin membuktikan
bahwa al-Qur’an benar-benar bersifat universal yang dapat menjawab problematika
umat.
Apa yang dilakukan
oleh mufassir modern sebenarnya merupakan usaha ijtihad yang barangkali hanya
cocok dengan sosio-kultural setempat, dan tidak cocok dengan sosio-kultural
yang lain. Oleh karena itu, dalam khazanah penafsiran modern tidak menutup
kemungkinan munculnya mufassir-mufassir modern di tempat lain bahkan diantara
kita. Amin!
VI. DAFTAR PUSTAKA
A.
Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi
Rasional alam Tafsir al-Manar, Jakarta: Erlangga, 2006.
Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz
1.
Anwar Rosihan, Samudera Al-Qur’an, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2001
Baidan
Nashruddin, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2000.
Faiz
Fachruddin, Hermeneutika Qur’an,
Yogyakarta: Qalam, cet. Ke-II, 2002.
Hasan
Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir
Hadis; Dari Iman Ibn Jarir al-Thobari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi,
Semarang: Walisongo Press.
Khalil
al-Qattan Manna, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera
Antarnusa, 2009
Mohammad
Nur Ichwan, Belajar Al-Qur’an; Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al-Qur’an Melalui
Pendekatan Historis-Metodologis, Semarang: Rasail.
Shihab M.
Quraish, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
----------------------,
Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
----------------------,
Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
Bandung: Penerbit Mizan, 1998.
----------------------,
Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta:
Penerbit Lentera Hati, 2006.
[1]
Piranti tafsir sebenarnya merupakan kacamata refleksi Qur’ani seorang mufassir
dalam merespon persoalan-persoalan aktual. Oleh karena itu, tafsir al-Qur’an
semestinya selalu aktual dan membumi (on ground). Hal ini sesuai dengan
misi al-Qur’an sendiri sebagai huddan li an-nas (petunjuk umat) di mana
dan kapan pun berada. Tafsir yang kita perlukan sekarang ini adalah tafsir yang
benar-benar menawarkan solusi terhadap semua persoalan yang dihadapi manusia.
Lihat Rosihan Anwar, Samudera al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2001,
hlm. 259.
[2] Menurut Dr. Al-Farmawy,
pencetus dari metode tafsir ini adalah Syeh Muhammad Abduh, kemudian ide-ide pokoknya diberikan oleh Syeh
Muhammad Syaltut, lalu diintroduksikan secara kongkrit oleh Prof. Dr. Sayyid
Ahmad Kamal al-Kaumi. Lihat Mohammad Nur Ichwan, Belajar Al-Qur’an; Menyingkap
Khazanah Ilmu-ilmu al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis,
Semarang: Rasail, hlm. 269.
[3] Fachruddin Faiz, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta: Qalam, Cet. Ke-II, 2002, hlm. 61.
[4] A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar,
Jakarta: Erlangga, 2006, hlm. 26.
[5] Ibid., Fachruddin Faiz..., hlm. 62
[6] Ibid, hlm. 64.
[7] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir
Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, hlm. 66.
[8] Menurut catatan sejarah Muhammad Rasyid Ridha
adalah murid paling tekun, teliti dan semangat
dalam mengikuti kuliah yang disampaikan oleh Muhammad Abduh. Maka
dapatlah dikatakan bahwa ia adalah pewaris tunggal bagi ilmu-ilmu Muhammad
Abduh yang menghasilkan karya yang menjadi magnum opusnya yakni Tafsir al-Qur’an
al-Hakim yang populer disebut dengan Tafsir al-Manar. Lihat Manna
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera
Antarnusa, 2009, hlm. 512.
[9] Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir Hadis; Dari Iman Ibn
Jarir al-Thobari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, Semarang: Walisongo
Press, hlm. 62.
[10]
Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, hlm.
260.
[11] Ibid.,
hlm. 260.
[12]Dalam metode ini
biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’an ayat demi ayat
dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut
menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti
pengertian, kosa kata, konotasi, kalimatnya, latar belakang turun ayat,
kaitannya dengan ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat),
dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan
tafsiran ayat-ayat tersebut; baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat maupun
para tabi’in dan ahli tafsir lainnya. Lihat Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Rekonstruksi
Ilmu Tafsir, Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2000, hlm. 69.
[13] Ibid.,
Fachruddin Faiz..., hlm. 71.
[14] A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep..., hlm. 34.
[15]
Sunnatullah berarti ketentuan-ketentuan (hukum) Allah yang berlaku pada segenap
alam semesta dan berjalan secara teratur, tetap, dan otomatis. Sunatullah ini
dalam filsafat dan sains modern bisa disebut sebagai hukum kausalitas (hukum
sebab-akibat) atau hukum alam, Lihat Athaillah., hlm. vii.
[16] Tafsir al-Maraghi merupakan salah satu tafsir al-Quran kontemporer. Nama
al-Maraghi diambil dari nama belakang penulisnya, Ahmad Musthafa al-Maraghi.
Tafsir ini merupakan hasil dari jerih payah dan keuletannya selama kurang lebih
10 tahun, dari tahun 1940-1950 M. Tafsir al-Maraghi pertama kali
diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo. Pada terbitan yang pertama ini, Tafsir
al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan
pembagian juz al-Quran. Kemudian, pada penerbitan yang kedua terdiri dari 10
jilid, di mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah diterbitkan ke dalam
15 Jilid, di mana setiap jilid berisi 2 juz. Kebanyakan yang beredar di
Indonesia adalah Tafsir al-Maraghi yang diterbitkan dalam 10 jilid.
[17]
Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang
popular, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut
susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu
jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih
tetap mendengar al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya. Lihat Prof.
Dr. Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu
Tafsir, hlm. 67.
[18]
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut. Lihat Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, hlm. 68.
[19]
Lihat Tafsir al-Maraghi, Juz 1.
[20] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
[21] Ibid.
[22] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. I, Jakarta: Lentera Hati, 2002.