Menjelang akhir Ramadan ibadah zakat menjadi aktivitas yang sangat menggairahkan di seluruh pelosok negeri. Berbagai inovasi program dilakukan oleh amil zakat (panitia zakat) untuk memotivasi para muzakki (wajib zakat) agar mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki untuk disalurkan kepada mustahik (penerima zakat). Inovasi yang dilakukan dianggap mampu meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendongkrak perolehan zakat setiap tahun.
Zakat merupakan salah satu ibadah yang memiliki implikasi terhadap kesejahteraan sosial. Selain memiliki implikasi kesalehan individual, zakat mengajarkan manusia untuk turut memperhatikan kehidupan bersama. Zakat memiliki implikasi sosial yang cukup tinggi, manakala manusia yang memiliki status sosial dengan kondisi ekonomi yang tidak sama, pada waktu bersamaan, zakat memiliki nilai untuk memperhatikan golongan lemah, melalui pesan agama.
Fungsi agama Islam yang hadir sebagai pembebas, salah satunya diwujudkan dengan tuntutan dari pemeluknya untuk melakukan asistensi terhadap golongan lemah dengan upaya pemberdayaan aspek ekonomi. Oleh karena itu, sudah seharusnya manusia menjalin hubungan baik terhadapsesama.Pertolongan yang diupayakan seseorang untuk kaum lemah, sudah seharusnya tidak dimaknai sebagai kepentingan posisi individual-kemanusiaan, tapi dipahami sebagai tugas mulia yang harus dijalankan sebagai pesan suci dari Tuhan.
Sebagai makhluk yang percaya bahwa perintah zakat berasal dari Tuhan, segala implikasi positif bagi kesejahteraan sosial akan dapat ditimbulkan jika perintah tersebut dilakuakan. Secara faktual, tidak dapat disangkal bahwa keberadaan dana zakat sangat bermanfaat terhadap pemberdayaan masyarakat. ‘The ultimate goal’ yang dapat dirasakan dari kewajiban ini adalah tidak terjadinya penumpukkan harta hanya pada segelintir orang yangmenyebabkan ketimpangan sosial. Oleh karena itu, zakat muncul sebagai instrumen pemerataan yang akan menjamin keharmonisan manusia.
Ibadah zakat tidak hanya membawa pesan ritual namun juga memiliki pesan sosial dan pemerataan pembangunan sektor ekonomi umat Islam sebagaimana yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad saw dan khalifah Umar bin Khatab dalam melaksanakan pembangunanekonomi dengan sistem pemerataan. Hasilnya dapat dinikmati baik oleh golongan kayamaupun masyarakat miskin. Paradigma yang digunakan people centered, yaitu pengumpulan dilakukan secara nasional atau regional, namun penyalurandilaksanakan secara lokal.
Zakat pada masa keemasannya merupakan instrumen fiskal negara yang berfungsi tidak hanyauntuk mendistribusikan kesejahteraan umat Islam secara lebih adil dan merata, tetapi jugamerupakan bagian integral akuntabilitas manusia kepada Tuhan. Namun saat ini, karena sistem pajaktelah menjadi instrumen fiskal negara, zakat hanya menjadirepresentasi tanggung jawab umat Islamkepada Tuhan dan hanya menjadi bagian ritual budaya peridoik umat Islam semata.
ErieSudewo (2008) memandang bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang tidakmeyakini zakat sebagai kewajiban. Bagi mereka zakatharus didasarkan pada keikhlasan. Tidakikhlas, sia-sia ibadahnya. Inilah paradoks diIndonesia. Fakir miskinnya banyak. Sementarasebagian muzakki tidak yakin bahwa zakat ituwajib. Padahal zakat bukan hanya wajib,namun telah ditetapkan sebagai salah saturukun Islam. Zakat tidak bisa dikembalikankepada pribadi masing-masing. Fikih zakat tidak boleh dibiarkan mengambang. Tidak bisa zakattergantung pada kebaikan hati dan moralmuzakki. Sudah saatnya fiqih zakat, berubah statusnyadari fikih individu diangkat menjadi fikihsosial.
Permasalahan zakat yang perludiperbaiki adalah dari sisi kelembagaan. Saat ini belum ada kejelasanfungsi siapa sebagai regulator, siapa sebagaipengawas dan siapa sebagai operator.Forum Zakat mencatat saat ini ada 421 organisasi pengelola zakat di Indonesia. Jumlah itu terdiri dari; 1 BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), 18 LAZ (Lembaga Amil Zakat) Nasional, 32 BAZ(Badan Amil Zakat) Provinsi, lebih dari 300 BAZkabupaten/kota dan lebih dari 70 LAZ baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.Masing-masing lembagamelegitimasi sebagai lembaga sentral.
Selain itu, belum adanya strategic planningsecara nasional, baik penghimpunan maupunpendayagunaan. Akibatnya masih terjadi irisanwilayah penghimpunan. Satu wilayah bisamenjadi sasaran penghimpunan bagi beberapalembaga zakat. Hal ini menyebabkanpendistribusian zakat tidak merata.Dari sisi mekanisme pelaporan. Sampaisekarang belum ada mekanisme pelaporanyang jelas bagi lembaga/ badan amil zakat.Dari sisi sanksi, regulasi pengelolaanzakat yang ada baru mengatur sanksi bagi pengelola zakat. Padahal harusnya sanksi diberikan juga kepada muzakki. Tujuannya untuk mengingatkan terhadap kewajiban muzakki yang tertunda.
Banyaknya organisasi pengelola zakat ternyata belum diantisipasi oleh Regulasi yang ada. Akibatnya, meski banyak lembaga zakat namun penghimpunan dan penyaluran zakat masih belum efektif. Begitu juga dalam hal kordinasi dan pembagian tugas serta fungsi, antara satu dengan lainnya belum ada garis koordinasi yang jelas. Antara Pemerintah dengan lembaga zakat berjalan masing-masing. Semua lembaga zakat ingin menjadi pengelola, sementara yang berperan sebagai pengawas dan pembuat aturan kebijakan tidak ada. Pemerintah sendiri tidak mampu memerankan dirinya sebagai pengawas dan pembuat kebijakan.
Wacana mengelola zakat secara sentralisasi oleh pemerintah sudah sejak lama diusulkan. Bahkan keinginan itu bukan hanya datang dari pemerintah namun juga datang dari praktisi lembaga zakat yang dikelola masyarakat. Antara pemerintah dan swasta sama-sama berpendapat bahwa dengan dikelola secara sentral oleh negara maka pengelolaan zakat di Indonesia bisa terpadu dan berjalan dengan baik. Pemerintah akan dengan mudahmengusulkan dan mengeluarkan kebijakan yang pro perkembangan zakat. Baik dari segi penghimpunan maupun segi penyalurannya.Termasuk membuat kebijakan yang mengikat bagi muzakki agar mengeluarkan zakatnya secara teratur, penyediaan data penghimpunan dan penyaluran secara komprehenship serta penyediaan data mustahiksecara lengkap, akurat, dan berkala.
Ibdah zakat memiliki fungsi yang sangat vital dan signifikan bagi pemberdayaan ekonomi umat Islam. Zakat sebagai fungsi ibadah (religion-normative) dan fungsi sosial (ukhuwah Islamiyah) bertujuan untuk menyeimbangkan antara golongan kelas atas dengan golongan kelas rendah agar tidak terjadi kesenjangan sosial. Akhirnya, esensi yang jauh lebih penting bahwa zakat tidak mutlak terhadap persoalan religi, tapi juga terhadap pemerataan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Lampung Post, 23 Juli 2014