Pendidikan diyakini mampu mengangkat suatu bangsa pada tingkat kemajuan dan
kejayaan. Namun pada praktiknya masih terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
akan menghancurkan harkat dan martabat bangsa. Pendidikan dianggap masih gagal
dalam menghadapi derasnya kejahatan sosial dan anomali kemanusian seperti
kemerosotan moral, korupsi, manipulasi, tirani, penyalahgunaan obat-obatan
(narkoba), pergaulan bebas, penyelewengan seksual, pornografi, pornoaksi,
kriminalitas, kekerasan, sikap intoleran, vandalisme, balapan liar (geng
motor), minuman keras, tawuran. Kegagalan itu diperparah oleh kurangnya
perhatian para penyelenggara negara dalam memajukan dunia pendidikan secara
menyeluruh.
Gagalnya pendidikan itu karena pemahaman yang keliru tentang pendidikan.
Pendidikan hanya pada batas sukses pencapaian secara intelektual, lunturnya
nilai-nilai agama, longgarnya nilai-nilai moral, lemahnya kontrol sosial,
runtuhnya institusi keluarga, masyarakat dan negara. Lunturnya nilai-nilai
agama membuat mereka tidak mempunyai pegangan hidup yang melindungi mereka dari
kegamangan dan ketidakpastian; longgarnya nilai-nilai moral membuat mereka
terjerumus dalam dekadensi moral; lemahnya kontrol sosial merupakan faktor yang
kondusif terjadinya perilaku menyimpang; runtuhnya institusi keluarga
menyebabkan mereka mengalami gangguan kepribadian dan bahkan bersikap
antisosial; dan segala bentuk penyimpangan itu menjadi lengkap ketika institusi
pendidikan gagal menjalankan misinya.
Tiga Landasan Sumber Nilai
Penanaman nilai diyakini membawa sukses dalam menanggulangi problem sosial.
Penanaman nilai-nilai luhur kepada generasi muda menjadi sangat penting guna
membawa kejayaan bangsa. Nilai-nilai luhur itu bersumber pada ajaran
agama, kemanusiaan, dan nilai-nilai
kebangsaan. Landasan keagamaan dimaksudkan bahwa ajaran agama dengan
seperangkat keyakinan-keyakinan metafisis dan amalan-amalan praktis harus
menjadi landasan utama dalam pendidikan. Agama harus menjadi katalisator yang
membentuk kepribadian peserta didik. Kesadaran keagamaan yang baik akan
memberikan kehidupan yang lebih bermakna kepada mereka. Keyakinan mengenai
Tuhan, Kitab Suci, Hari Pembalasan serta ajaran-ajaran moral agama berdampak
positif pada terwujudnya nilai-nilai luhur semisal keikhlasan, kejujuran,
keadilan, amanah, tanggungjawab. Landasan kemanusiaan dimaksudkan bahwa
pendidikan harus berpihak pada nilai kemanusiaan. Pendidikan yang berlandaskan
pada nilai kemanusiaan akan menghasilkan anak didik mempunyai sikap kasih
sayang, tolong menolong, toleransi dan tenggang rasa, sikap santun, dan peduli.
Sementara itu, landasan kebangsaan, dimaksudkan agar anak didik mempunyai
semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta terhadap lingkungan, menghargai
nilai-nilai budayanya, menjaga keutuhannya, memajukan dan mengembangkannya.
Tiga landasan sumber nilai itu terpadu, tidak
boleh dipisahkan. Ketiganya menjadi satu kesatuan yang saling menunjang. Agar
sumber nilai tersebut dapat dicapai dengan baik, maka pihak-pihak yang
bertanggungjawab terhadap pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) harus
bersinergi dan berintegrasi untuk mewujudkannya, serta ditopang dengan
kurikulum yang terintegrasi antara intrakurikuler, kokurikuler, dan
ekstrakurikuler. Nilai-nilai itu ditransformasikan kepada peserta didik dalam
sebuah sistem yang integrated, komprehensif, dan mandiri, yang mempunyai jiwa
dan filsafat hidup.
Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Nilai-nilai pendidikan Islam seluruhnya dijiwai, didasari, diwarnai, dan
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang Islami. Nilai-nilai itu terangkum dalam
ajaran-ajaran dasar yang disebut panca jiwa. Panca jiwa ini terdiri dari
keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah Islamiyah, dan jiwa bebas.
Keikhlasan merupakan inti dari semua jiwa dalam pendidikan. Semua gerak hidup
bermuara dari jiwa keikhlasan, termasuk hubungan murid dan guru juga didasarkan
pada jiwa keikhlasan; guru ikhlas mendidik, murid ikhlas dididik, guru ikhlas
membina, murid ikhlas dibina, guru ikhlas mengarahkan, murid ikhlas diarahkan
dan begitu seterusnya. Kesederhanaan menjadi jiwa penting dalam sistem
pendidikan. Sederhana tidak berarti miskin atau nerima. Sederhan itu berarti
wajar dan sesuai kebutuhan. Sederhana dalam berpikir, bertindak, dan bertingkah
laku; sederhana dalam melakukan kegiatan dan ibadah. Pendidikan kesederhanaan
ini akan melahirkan pribadi yang apa adanya dan terbuka, tetapi tangguh dan
ulet. Kemandirian merupakan kekhasan lain dari pendidikan. Untuk dapat
mengemban misinya dengan baik, institusi pendidikan haruslah tetap mandiri,
baik secara kelembagaan, sistem, pendananaan dan lain-lain. Jiwa kemandirian
ini juga ditanamkan kepada para murid agar menjadi pribadi yang mandiri.
Ukhuwah Islamiyah yang ditanamkan bukan sekadar berbasis suku, bahasa, status
sosial. Persaudaraan yang dibangun tidak hanya bersifat lokal maupun nasional
tetapi universal karena didasarkan pada Islam yang ajarannya bersifat
universal. Kebebasan yang menjadi nilai dasar pendidikan Islam ialah kebebasan
yang positif dan konstruktif sesuai dengan syariat Islam. Kebebasan itu juga
berarti bahwa peserta didik bebas dalam menentukan lapangan perjuangan dan
kehidupannya di masyarakat.
Belajar dari Kurikulum Pesantren
Kelemahan kurikulum pendidikan non pesantren yang selama ini menumpukan
pendidikannya lebih atau bahkan hanya pada aktivitas transfer ilmu (transfer
of knowledge). Hal demikian tidak terjadi dalam kurikulum pesantren.
Dimensi keagamaan dan akhlak serta kehidupan sosial merupakan paket pendidikan
yang diberi perhatian tinggi dalam kurikulum pesantren. Kurikulum di pesantren bersifat lebih komprehensif. Kurikulum
pesantren mengembangkan semua ranah didik siswa secara menyeluruh baik
kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Ini terjadi karena di dalam pesantren
santri itu memperoleh pendidikan yang juga bersifat menyeluruh yang meliputi
aspek intelektual (al-tarbiyah al-‘aqliyyah), spiritual (al-tarbiyah
al- ruhiyyah), moral (al-tarbiyah al-khuliqiyyah), fisik (al-arbiyah
al-jismiyyah), dan sosial (al-tarbiyah al-ijtima’iyyah). Sehingga
pembentukan karakter yang bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya luhur
masyarakat lebih mungkin diwujudkan. Hasil yang diharapkan adalah anak didik
yang menjadi warga bangsa sejati; memiliki iman yang teguh kepada Tuhannya,
memperjuangkan kemajuan bangsa dan negaranya, dan menebarkan kemakmuran bagi
sesama.
Semangat menuntut ilmu itu wujud dari tertanamnya iman yang mengharuskan
seseorang untuk mengetahui (dengan ilmu) tentang apa dan mengapa beriman serta
bagaimana mengejawantahkan iman itu dalam amal. Jadi ilmu itu dituntut bukan
sekadar karena dan untuk ilmu itu sendiri. Tetapi ilmu karena iman dan untuk
amal/ibadah. Integrasi iman-ilmu-amal ini dapat membentuk pribadi yang
mempunyai kesadaran Ilahi dalam wujud iman dan takwa serta mendorongnya secara
tulus dan ikhlas menjalankan amal dan ibadah yang didasarkan pada ilmunya. Ilmu
bukan untuk ilmu, tetapi ilmu untuk amal dan ibadah.