Indonesia
tengah dibanjiri arus globalisasi Islam yang memiliki pengaruh besar terhadap
penentu ‘kebenaran’ teologis. Sikap dan pandangan tersebut dimunculkan dengan
maraknya gerakan Islam impor di negeri ini. Dalam kadar lebih, gerakan
dan ideologi yang dianut oleh gerakan Islam impor memiliki keterkaitan
dengan ideologi dan gerakan Islam di belahan dunia. Sebagai sebuah
istilah, Islam impor memiliki makna sama dengan istilah transnasionalisme yang pertama kali
muncul sekitar awal abad ke-20 sebagai terma untuk menggambarkan cara pemahaman
baru tentang hubungan antar sosial keagamaan. Gerakan ini tumbuh karena
meningkatnya interkonektifitas antarmanusia di seluruh permukaan bumi.
Sangat tepat jika Thomas L Friedman (2004) menyebut arus globalisasi sebagai faktor
utama pendukung gerakan transnasionalisme, dimana sistem dunia pada abad
ini menitikberatkan pada integrasi dunia yang tidak mengenal sekat sama sekali.
Islam impor merupakan
sebuah gerakan Islam yang bergerak di lintas dunia, prinsip pemahaman terhadap
ajaran Islam tidak terbatas pada lokalitas negara, etnis, maupun suku bangsa
tertentu. Jauh dari itu, dalam bentuk gerakan, Islam impor menegasikan
batas-batas ruang dan negara dengan mengakomodir seluruh umat muslim dunia di
bawah satu komando Islam berlabel ideologi dan teologis. Dengan lain kata,
gerakan Islam impor merupakan pola Islam yang mondial yang hendak
membenamkan cita-cita Islam di pelbagai dunia.
Disebut satu
komando yang berlabel ideologi dan teologis karena gerakan Islam impor
dari waktu ke waktu melakukan mobilisasi global lintas negara muslim dan
melegitimasi diri menjadi sebuah gerakan Islam yang sebenarnya, serupa dengan
gerakan ideologi politik. Gerakan Islam impor berkeyakinan bahwa Islam
merupakan satu-satunya ajaran yang komprehensif, multiaspek yang mempertautkan
secara integratif antara agama dan dunia termasuk dengan kehidupan politik.
Oleh karena
itu, merupakan sebuah keniscayaan bagi gerakan Islam impor untuk
menerapkan Islam secara menyeluruh; menghendaki agama Islam yang ditebarkan
menjadi bagian sistem, hukum, dan ideologi yang harus dipakai oleh masyarakat;
seperti demokrasi, kapitalisme, sosialisme, dan sebagainya sehingga cenderung
berperilaku fanatis, anarkis, dan bahkan teroris.
Wajah baru gerakan Islam impor mampu membentuk opini
publik di pelbagai penjuru yang ditampilkan dalam sebuah gerakan laiknya
seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Langkah yang ditempuh
oleh gerakan ISIS semakin agresif pada level aksi kekerasan atas nama agama
kepada kelompok lain. Tidak sedikit fatwa yang keluar bahwa ISIS adalah musuh
bersama (common enemy) negara-negara muslim di dunia.
Gerakan Islam
impor mencerminkan sebuah gerakan atau organisasi laiknya ‘jaring
laba-laba’ yang diikat dan dikaitkan dengan ideologi dan teologi. Banyak
pengamat melihat tiga gerakan Islam berskala luas-reviavlisme, reformisme, dan
fundamentalisme muncul di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas
muslim. Gerakan-gerakan tersebut sejatinya telah terasa mulai abad ke-18 dan 19
sebagai bentuk reaksi balik atas kolonialisme Eropa.
Salah satu
prinsip yang berkembang di Timur Tengah yang berkaitan kuat dengan ideologi Islam
impor adalah jihda sebagai pilar dalam mewujudkan tatanan Islami. Oleh
gerakan ini jihad dilakukan secara komprehensif bahkan totalitas, termasuk menggunakan
cara-cara yang keras. Gerakan Islam impor berjuang menegakkan Islam bagi
seluruh umat muslim di dunia. Cara-cara yang ditempuh untuk menegakkan itu
kemudian ditafsirkan sebagai jihad dengan berbagai saluran yang ada seperti
politik, pendidikan, ekonomi, dan diantaranya dengan kekerasan.
Pesan Gus Dur
Perkembangan
globalisasi jauh lebih kompleks dari apa yang nampak. Kita perlu memilah
kembali secara jeli mana agama dan mana pemikiran keagamaan, mana yang
universal-netral dan mana yang muslim serta mana yang Islam. Karena jika kita
sampai salah mengenali, kita akan terjebak pada sikap apologetik, fanatik,
eksklusif, yang pada akhirnya dapat menyingkirkan kita dalam percaturan global
dan kehidupan masyarakat yang plural.
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) meskipun memakai nama Islam,
tetapi sangat jauh dari sifat Islam yang rahmatan lilalamin, toleran, lembut,
dan penuh kasih sayang. Dalam perang melawan orang kafir sekalipun, Islam
mengajarkan ahlak berperang, yaitu tidak boleh membunuh wanita, anak kecil,
orang tua, musuh yang menyerah, dan musuh yang tidak bersenjata. Islam juga
melarang menghancurkan fasilitas umum, tempat ibadah, dan tempat yang dianggap
suci oleh musuh sekalipun. Islam juga mengajarkan tidak ada paksaan dalam
beragama, tidak boleh memaksa orang lain masuk agama Islam dengan ancaman
senjata.
Maka tantangan
gerakan Islam saat ini dan kedepan adalah bagaimana menciptakan ruang plural
yang mendapat dukungan dari berbagai komponen baik agama, etnis, komunitas, dan
seterusnya untuk menciptakan stabilitas masyarakat, kemakmuran dan
kesejahteraan manusia. Dalam konteks ini kita perlu ingat pesan Gus Dur bahwa
kita adalah bangsa Indonesia yang kebetulan muslim, bukan muslim yang tinggal
di Indonesia. Oleh karena itu, sudah selayakna Islam menjadi inspirasi dalam
membangun kehidupan yang lebih humanis, sejuk, damai, demokratis, elegan,
santun, dan penuh kasih. Semoga!