Tepat pukul
20:00 hand phone bergetar tanda sms masuk. Berikut petikan sms tersebut
: “Assalamu’alaikum, maaf bapak mengganggu. Saya dari UKPM Kronika minta
tolong agar bapak nulis opini tentang politik kampus, apakah bapak bersedia”?
“Ya, Insya Allah”, berbalas singkat. Namun dalam tulisan ini tidak
mengulas tentang politik kampusan sichlayaknya percaturan politik yang semrawutdi
negeri ini. Tapi melihat politik kampus dari sudut pandang dan frame
yang berbeda.
Jika mencermati
perguruan tinggi di Indonesia, akan terlihat bangunan megah, bertingkat,
peralatan canggih, sorot lampu yang cerah, dan ihwal hiruk-piuk kemoderenan
lainnya. Gedung-gedung megah itu dipajang dengan sekian
atribut, tampilan yang memikat, dan sekian latar asesoris yang penuh warna-warni. Civitas akademika kampus bersorak ramai, seolah bangunan megah itu akan menghasilkan sebuah generasi masa depan yang megah dan mumpuni. Sekian pajangan asesoris diharapkan mampu mencipta sebuah kreasi kehidupan yang menancapkan spirit intelektual seluruh insan dunia kampus. Tetapi apa yang terjadi?
atribut, tampilan yang memikat, dan sekian latar asesoris yang penuh warna-warni. Civitas akademika kampus bersorak ramai, seolah bangunan megah itu akan menghasilkan sebuah generasi masa depan yang megah dan mumpuni. Sekian pajangan asesoris diharapkan mampu mencipta sebuah kreasi kehidupan yang menancapkan spirit intelektual seluruh insan dunia kampus. Tetapi apa yang terjadi?
Bangunan megah
ternyata semakin menyulitkan mahasiswa melakukan gerakan ekspresif dan pembebasan.
Sekian peraturan dipajang ternyata menghasilkan mahluk akademik yang lalai dan
lungai di tengah realitas sosial yang terus berkecamuk. Tidak sedikit nilai A
bahkan A+ diobral. Birokratisasi kampus ditata sedemikian rupa ternyata hanya
menghasilkan mahluk yang sibuk dengan ritual kampus yang teraliensi dari
realitas sosial. Mengadopsi bahasa Ali Syariati, bahwa saat ini mahluk kampus
gagal menjadi ‘nabi sosial’ yang mampu melakukan gerakan perubahan sosial demi
terwujudnya keadilan bagi kaum marginal.
Lunturnya peran
mahasiswa sebagai ‘nabi sosial’ karena semakin lumpuhnya forum diskusi kampus.
Bagunan yang megah dan mengkilap ternyata tidak dibarengi dengan penataan
spirit berdiskusi yang berdampak pada kelumpuhan akademik sehingga proses
akumulasi ilmu pengetahuan dikalangan dunia kampus berakhir. Mahasiswa sekarang
tenggelam dalam budaya hedonisme, materialisme, dan individualisme sehingga
berbagai kegiatan seperti diskusi pada akhirnya ditinggalkan.
Ditengah
gemuruhnya dunia modern, Ricard Falk dalam “On Good Governance”
(2007:24) memetakan pergeseran dunia terpusar pada pergaulan pasar (market),
negara (state), masyarakat (civil society), dan media. Dari
pergeseran dan pergaulan itu, pasar menjadi pemenang (the winner) “mutlak”.
Segala tingkah laku kemanusiaan ditentukan oleh pasar. Cengkraman pasar merasuk
dalam sendi kemanusian paling dalam, sehingga membentuk paradigma, pola pikir,
dan pola gerakan.
Demikian juga
dalam kehidupan kampus. Jejak-jejak pemikiran kritis dan gerakan pembebasan
mulai pudar. Kampus diseret menjadi agen pasar dalam bentuk kapitalisasi
pendidikan. Yang tampak di kampus bukan lagi semangat berfikir dan melakukan
revolusi sosial, tetapi mendapat IPK tinggi, cepat lulus, cepat mendapat
pekerjaan yang layak, dan kemudian menanpati status sosial dengan posisi yang
strategis di masyarakat. Pola pikir demikian telah merasuk ruang kesadaran
kampus. Berbagi forum diskusi mahasiswa akhirnya sepi, ngantuk, dan tidak
bergairah. Didukung dengan kebijakan kampus yang cenderung academic centris
sehingga menggiring mahasiswa untuk cepat lulus dan tidak tertarik dengan forum-forum
diskusi.
Mengembalikan Tradisi
Jika
ditelusur lebih dalam, forum-forum diskusi kampus banyak menggunakan gaya
melingkar yang tersebar di ruang dan sudut kampus. Diskusi dengan gaya
melingkar merupakan tradisi yang telah
mengakar dalam peradaban keilmuan. Tidak ada asbabun nuzul dan unsur magis
tentang ihwal diskusi melingkar, namun dunia eksak sampai saat ini masih terus
menelitinya. Rasionalisasinya, jika lingkaran sudah utuh, berarti 360 derajat, maka
lingkaran akan menggapai kesempurnaan. Jika belum 360 derajat, berarti masih
banyak yang bolong, maka perlu ditambal. Dalam sebuah diskusi, berapapun
orangnya, maka akan dibuat lingkaran, agar menjadi utuh dan sempurna.
Tradisi diskusi
melingkar pernah dilakukan Nabi Muhammad dengan para sahabatnya di Masjid
Nabawai. Komunitas ini disebut ahlu al-Suffah (penghuni suffah).
Melingkar dalam satu kajian Nabi mengajarkan ihwal ketuhanan, kemanusiaan, dan
kemasyarakatan kepada sahabatnya. Tradisi melingkar menurut Annemarie Schimmel
dalam “The Mistery of Number” (2006:89), juga dilakukan oleh kelompok ikhwan
as-Shofa (persaudaraan suci) di Bashrah. Ikhwan as-Shofa merupakan
kelompok kajian sangat fenomenal yang menghasilkan karya-karya ensiklopedia
pada abad ke-10 M. Ikhwan as-Shofamengembangkan ide Neoplatonik dan
Pythagorean dalam Islam, sehingga Islam mampu menggenggam peradaban dunia.
Tradisi menlingkar
juga dilakukan oleh kelompok kecil bangsa Aida di Irlandia yang tekun menyalin
ilmu pengetahuan lintas peradaban selama tujuh keturunan sejak abad ke-8 sampai
abad ke-14 M. Dari bangsa Aida lahirlah ensiklopedi besar-besaran yang
mencerahkan Eropa menggapai kemajuan dan kegemilangan hingga sekarang. Dari
bangsa Aida juga, Rene Descrates terilhami pemikirannya, sehingga menggelarkan
jaron “cogito ergo sum”, aku berfikir maka aku ada.
Diskusi melingkar
juga dipraktekan oleh para pujangga nusantara tatkala mengajarkan kearifan
kepada warga. Mereka melingkar dalam sebuah padepokan, berguru kepada sang
empu, untuk menggapai kesaktian dan kearifan memaknai kehidupan. Jejak-jejak
mereka bisa dilihat dalam berbagai artefak sejarah yang telah dimusiumkan.
Jejak lingkaran diskusi juga pernah dilakukan para penyebar Islam, walisongo di
pulau Jawa. Satu dua murid diajari tentang keyakinan, ketuhanan, dan berbagai
ajaran kearifan. Akhirnya, terbentuklah pesantren-pesantren besar yang tersebar
diberbagai peloksok pulau Jawa dan belahan nusantara, sampai sekarang saat
mengkaji keilmuan masih menerapkan tradisi melingkar.
Berharap dengan
mahluk kampus, bagaimanapun kampus adalah ruang pertarungan intelektual yang
sangat strategis. Jadikan kampus sebagai rumah mahasiswa. Kampus jangan
dibatasi dengan berbagai aturan yang menjemukan. Jika itu terjadi, kampus hanya
menjadi tempat reaksi, selesai kuliah, mahasiswa pulang. Kampus menjadi sepi,
senyap, angker, bahkan mengerikan. Dengan tidak dibatasi, maka kampus akan
menjadi rumah bagi mahasiswa dalam menggali sensitiftas intelektual dan
menggerakan spirit perubahan sosial.
Bangsa yang
besar tidak akan tercapai tanpa adanya kemampuan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan, dari kegiatan forum-forum diskusi kampus akan tercapai kecerdasan
kolektif (collectife intellectuality) khususnya di kalangan mahasiswa
sebagai agen perubahan sosial. Akhirnya, mari kita ramaikan setiap sudut kampus
dengan forum-forum diskusi. Jadikan kampus sebagai mimbar ilmiah-akademik dalam
garda terdepan untuk mengawal Indonesia menuju peradaban dunia.