Momentum hari
lahir STAIN Jurai Siwo Metro ke-19 sudah sepatutnya dijadikan refleksi untuk
merenungkan kembali kiprah STAIN untuk negeri. Dalam ukuran umur manusia, usia 19
tahun masih terbilang muda, pertumbuhan fisik dan obsesi hidup masih terbentang
luas. Tapi untuk ukuran sebuah institusi usia 19 tahun adalah permulaan, umur 19
tahun tak ubahnya bayi yang baru belajar merangkak. Sejak awal 2010 seiring
dengan pesatnya akses peningkatan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri
(PTKIN) baik secara kwantitas maupun kapabilitas, PTKIN berevolusi menjadi
institut dan universitas. Bahkan beberapa diantaranya mampu melakukan lompatan
kuantum yang cukup signifikan.
Transformasi
STAIN Jurai Siwo Metro ke IAIN merupakan suatu keniscayaan. Secara kapasitas
STAIN Jurai Siwo Metro telah mengembangkan program yang berorientasi pada
perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu dan daya saing, serta pengelolaan
tatakelola yang baik telah dirancang agar mampu bersaing di tingkat nasional
dan internasional. Orientasi dalam memajukan PTKIN, STAIN Jurai Siwo Metro
memiliki visi yaitu menjadikan STAIN Jurai Siwo sebagai lembaga Pendidikan
Tinggi Agama Islam yang inovatif dalam sinergi socio-ecotechno-preneurship
berlandaskan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan.
Demi mewujudkan
visi tersebut, langkah konkret yang dituangkan dalam misi STAIN Jurai Siwo
sejalan dengan tugas Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam
rangka turut membangun budaya akademik yang produktif dan inovatif serta
mengelola sumber daya melalui kajian keilmuan, model pembelajaran, dan
penelitian, menumbuhkan socio-ecotechno-preneurship civitas akademika
dalam pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi, dan melaksanakan sistem
tatakelola manajemen kelembagaan yang profesional dan berkeadaban yang berbasis
teknologi informasi.
Berdasarkan
visi dan misi tersebut, STAIN Jurai Siwo Metro terus berevolusi dalam spirit
yang konstan untuk melaksanakan tugas pasca kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yakni mencerdaskan anak bangsa yang berwawaskan keislaman
dan keindonesiaan. Kemudian secara simultan bekerja keras, cerdas, dan ikhlas
bagi terwujudnya cita-cita luhur dan mulia.
Potret Kiyai dan Mahasiswa
Istilah Kiyai
mempunyai makna yang bias dan terus bergeser, hampir tidak memiliki standar
yang pasti dan disepakati, namun tetap mempunyai makna dasar yang dihormati. Kiyai
dapat digambarkan dengan sosok seorang muslim dengan keilmuan agama yang tinggi
dan luas, kharismatik, sangat peduli dengan lingkungan, berjuang membangun, dan
memajukan masyarakat yang diayominya. Dalam kadar lebih, Kiyai adalah
sosok Malik Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad pada zamannya, al-Bukhari, Muslim,
al-Ghazali, al-Nawawi dan Ibn Hajar dalam kepakarannya. Kiyai dalam
hayal lain adalah sosok Syeikh Nawai Bantani, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan dan
Buya Hamka dalam keilmuan, pengabdian dan perjuangan mereka.
Kiyai
berbeda dengan cendekiawan atau ulama. Akhir-akhir ini terlihat keseombongan
dan keangkuhan keilmuan dalam penggunaan istilah intelektual dibalik kata
cendekiawan dan ulama. Seseorang dengan identifikasi intelek, sering enggan
menggunakan sarung dan peci, mereka lebih asyik berjas dan berdasi. Seorang
dengan gelar ulama, kadang menolak untuk memimpin tahlil dan yasinan,
karena kata mereka itu tugas ustadz dan Kiyai. Tugas mereka adalah yang
bernilai keilmuan, bukan spiritual.
Kiyai
adalah tokoh intelek dan ulama yang berjas dan berdasi, sama seperti
kebiasaannya bersarung dan berpeci, menghadiri syukuran di kampungnya,
sama seperti munculnya Kiyai di layar-layar televisi, duduk bersila
sambil berdzikir, bershalawat, sama seperti kebiasaannya menghadiri seminar dan
rapat. Kiyai juga sosok yang tidak hanya intelek dan ‘alim, namun
juga sufi. Mereka yang melihat, menilai, dan menempatkan ilmu, agama, dunia,
dan akhirat dengan seimbang. Mereka memiliki kearifan dalam menimbang, kejelian
dalam melihat dan kebijaksanaan dalam memutus.
Laiknya Kiyai,
sulit untuk menggambarkan secara detail dan sempurna konsep mahasiswa ideal.
Mahasiswa ideal adalah mereka yang cenderung untuk menjadi ilmuwan,
cendekiawan, dan pakar, bukan politisi atau organisatoris. Dalam gambaran awal
mahasiswa adalah seorang dengan beberapa buku di tangan, pulpen di saku, rambut
tersisir rapi, berkaca mata minus, berjaket warna khas dan ada raut intelektual
di wajahnya. Ketika ditanya sesuatu, mereka akan menjawab dengan santun dan
akan memberi informasi lebih dari apa yang ditanyakan. Karena mahasiswa
mempunyai informasi luas dan memiliki tanggungjawab moril untuk memberitahukan
informasi yang dimiliki. Mereka terpanggil untuk melayani masyarakat dengan
kemampuan maksimal.
Menjadi
mahasiswa jurusan ilmu-ilmu agama secara sengaja sudah mengantarkan dirinya
untuk menjadi Kiyai dan pakar dalam kajian yang digelutinya. Tidak
sekedar tahu, akan tetapi sudah harus memasuki pintu penguasaan. Sekecil
jurusan apapun yang diminati oleh mahasiswa, maka jurusan itulah yang harus
ditekuni dan didalami. Sehingga pada akhirnya, segala hal yang berkaitan dengan
disiplin ilmu, sudah dikuasainya dengan baik. Perjalanan dan usaha gigih
seperti itulah yang disebut potret mahasiswa ideal.
Kiblat Studi Islam
Predikat
Indonesia tidak sekedar negara kuliner, passion, dan pusat destinasi,
melainkan sebagai pusat studi Islam. Dalam sudut pandang yang lebih sempit, transformasi
STAIN ke IAIN dan IAIN ke UIN akan mengkerdilkan distingsi ilmu agama sebagai ciri
khas PTKIN. Lebih dari itu, transformasi PTKIN sebagai center of excellent
dan kiblat studi Islam dunia. Mengingat, Indonesia adalah negara Islam terbesar
yang memiliki kekhasan dan tidak ditemukan di negara lain. Jika point strategis
ini terwujud, Indonesia menjadi rujukan pembelajaran Islam di dunia. Karena hanya di
Indonesia Islam terkenal moderat, damai, toleran, dan responsif terhadap
perubahan sosial serta modernitas, sehingga publik sadar bahwa Indonesia adalah
pelabuhan strategis dalam mencetak kaum intelektual. Kebangkitan PTKIN akan
menandai bangkitnya Indonesia. Maka, jangan sampai tertinggal satu orangpun di
bumi ini dalam mengorbankan semangat perjuangan mengembalikan wajah Islam
Indonesia yang menjelma dalam dimensi kehidupan. Tabik !