Pemandangan paling nyata dan terasa dengan kehadiran Ramadan adalah perubahan ritme kegiatan sehari-hari. Orang harus melek hingga larut malam karena melaksanakan salat tarawih, tadarus, atau ibadah lainnya, lalu nanti bangun dinihari untuk sahur. Orientasi kegiatan keagamaan lebih banyak dan kegiatan sekuler lebih sedikit, meski membedakan kedua kegiatan ini kadang tak segampang memisahkan minyak dengan air. Yang jelas, dengan itu semua, jadwal kehidupan mengalami pergeseran dan penyesuaian. Mereka yang tidak ikut beribadah pun larut dengan jadwal baru kehidupan ini.
Pergeseran ini berlangsung lebih kuat dengan adanya "kebijakan" memotong jumlah jam kerja. Selama Ramadan, rata-rata waktu masuk kantor dilambatkan satu jam dan pulang dipercepat satu jam. Kebijakan ini terutama berlaku di kantor-kantor pemerintahan.

Pemotongan jam kerja selama Ramadan ini diterapkan demi menghormati dan memuliakan Ramadan. Demi memberi waktu lebih longgar dan lapang kepada umat Islam untuk menjalankan ibadah Ramadan. Dalam kosakata sosial-politik sekarang, perlakuan negara seperti ini bisa disebut sebagai "favoritisme". Favoritisme adalah praktek pemberian perlakuan istimewa kepada satu orang atau suatu kelompok, yang tak jarang mengorbankan kelompok atau hal lain. Meski dengan favoritisme ini bisa berarti berkurang juga produktivitas kerja, namun demi pemenuhan aspirasi umat Islam sekaligus penguatan aspek rohani, favoritisme dianggap jauh lebih penting. Pemerintah, dalam hal ini, dipandang benar-benar mengerti kebutuhan dan aspirasi keagamaan umat Islam.

Favoritisme pada Ramadan ini tidak hanya menyangkut pemotongan jam kerja, tapi juga merembet ke hal-hal lain, misalnya pengadaan buka puasa bersama atau tarawih bersama di perkantoran. Favoritisme terlihat ketika acara-acara ini tak jarang memanfaatkan fasilitas negara, dan bukan tidak mungkin juga menggunakan uang negara.

Terus terang, saya tidak bermaksud mengusulkan penghapusan favoritisme yang sudah dipandang lazim ini. Favoritisme seperti ini bisa menjadi sehat dan perlu bagi Islam formal, yang secara historis memiliki tradisi penentangan pada negara. Favoritisme adalah "politik akomodasi" yang bisa diterima dan masuk akal untuk kepentingan stabilitas.

Kendati demikian, favoritisme ini perlu dilihat dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih luas. Jika favoritisme terhadap umat Islam seperti itu bisa diterima dan tak dipersoalkan, sejenis perlakuan yang adil-jika perlu setingkat favoritisme juga-juga perlu diberikan negara kepada umat di luar Islam. Dalam konteks perbandingan inilah kita menyaksikan suatu kontradiksi yang mencolok: sementara umat Islam beroleh cukup banyak favoritisme, sebagian umat agama lain justru mengalami diskriminasi.

Favoritisme selalu menimbulkan kecemburuan. Nyata maupun diam-diam, terutama dari kelompok masyarakat yang merasa diabaikan, bahkan dikorbankan. Tapi suatu perlakuan yang juga adil, yang jika perlu setara favoritisme, mungkin bisa menciptakan "keseimbangan politik".

Harus diakui bahwa di bawah favoritisme negara inilah di antaranya ibadah Ramadan berlangsung lancar, meriah, dan ramai. Namun umat Islam tidak bisa hanya memikirkan dirinya. Mereka harus memikirkan juga unsur bangsa lain. Kedewasaan beragama terletak pada kemampuan untuk juga memikirkan orang lain. Ibadah puasa mendorong transformasi bukan hanya di tingkat individual, tapi juga sosial. Bukan hanya internal umat Islam, tapi juga umat manusia lebih luas.

Oleh :

Hairus Salim HS
Direktur Eksekutif Yayasan LKiS