Dalam sejarah peradaban manusia bahwa yang pertama kali menemukan ilmu falak atau astronomi adalah Nabi Idris As. Hal ini menunjukkan bahwa hisab rukyah sudah ada sejak dahulu. Karena sebuah temuan (discovery) sebagai respon terhadap sebuah realitasa soisal yang berkembang pada waktu itu. Oleh karena itu munculnya persoalan hisb rukyah sudah berkembang secara praktis sebelum ilmu falak. Bahkan sekitar abad ke-28 sebelum masehi eksentensi ilmu falak sebagai sarana untuk
menentukan waktu bagi saat-saat penyembahan berhala, seperti di Mesir untuk penyembahan dewa Orisis, Isis dan Amon, di Babilonia dan Mesopotania untuk penyembahan dewa Astoroth dan Baal. Sementara nama-nama hari dalam seminggu sudah ada sejak 5000 tahun sebelum mesehi yang masing-masing diberi nama dengan benda-benda langit, seperti Matahari untuk hari Ahad, bulan untuk hari Senin, mars untuk hari Selasa, Mercurius untuk hari Rabu, Jupiter untuk hari Kamis, Venus untuk hari Jum’at, dan Saturnus untuk hari Sabtu. Peritungan tahun hijriyah pernah digunakan oleh Nabi saw. Ketika menulis surat kepada kaum Nasrani Najran denganter tulis ke V Hijriyah, akan tetapi di dunia bangsa Arab lebih mengnal peristiwa-peristiwa yang terjadi, seperti tahun gajah, tahun izin, tahun amar, tahun zilzal, dan tahun khuzn. Hisab rukyah baru muncul secara formal sejak adanya pnetapan hijah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai standar dasar kalender hijriyah pada masa Umar Ibn al Khatthab pada tahun ketujuh belas hijriyah. Ilmu falak berkembang pada masa keemasan Islam dengan munculnya tokoh-tokoh teremuka, seperti al Khawarizmi (w.220 H/ 835 M) dengan karyanya al Jabr wa al Muqobalah, Jabir al Battani (w.319H/ 931 M) dengan karyanya Kitab Ma’rifat Matli’il Buruj bain Arba’in al falak, Abu Raihan al Biruni (363 H – 440 H/ 973 M- 1048 M) dengan karyanya Qanun al Mas’udi dan Nashiruddin al Thusi (598 H- 673 H/1201 M-1274 M) dengan karyanya al Tadzkirah fi ‘ilmi al Hai’ah. Pada abad ke-17 sampai abad ke-19 bahwa pelajar muslim dari Melayu termasuk bangsa Indonesia menjadikan Makkah-Madinah (Haramain) sebagai tumpuan rihlah ilmiyah. Bahkan pada tahun 1920-an, para pelajar bangsa Indonesia banyak bermukin di Makkah merupakan satu kelompok terbesar dari Asia Tenggara. Berangkat dari hal tersebut jelas bahwa kajian keislaman termasuk kajian ilmu hisab dan rukyah (ilmu falak) di sekitar Asia Tenggara termasuk bangsa Indonesia adalah tidak lepas dari pengaruh adanya”jaringan ulama Timur Tengah” khususnya Makkah-Madinah (Haramain). Jaringan ulama tersbuat nampak dalam napak tilas ulama Indonesia yang bermukin di Makkah bertahun-tahun lamanya. Hal ini dapat dilihat dari karya monumental KH. Mas Mansur al Batawi SullamNayyirin – Mizan al ‘Itidal, al Khulashah al Wafiyah oleh KH. Zubaer Umar al Jailani Salatiga, dan masih banyak lainnya yang mencerminkan ilmu falak tradisional. Ilmu astronomi mengalami perkembangan keemasan pada masa era Abbasiyah, seperti upaya menterjamahkan kitab “Sindihind “ dari India dengan serius. Kemudian pada masa al Makmun menerjamahkan “Tabril al Magesthy” pada bahasa Arab. Dengan demikian lahirlah istilah ilmu hisab sebagai salah satu cabang ilmu keislaman (Islamic Studies). Ilmu Falak pada garis besarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu Falak Ilmiy, dan ilmu Falak Amaliy. Ilmu Falak Ilmiy disebut juga Theoritical Astronomy. Ilmu Falak Amaliy disebut juga Practical Astronomy. Ilmu Falak Amaliy inilah yang oleh masyarakat disebut sebagai ilmu Falak atau Ilmu Hisab. Fokus pembahasan Ilmu Falak yang dipelajari dalam Islam adalah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah, sehingga pada umumnya ilmu Falak ini mempelajari 4 bidang, yaitu: Arah kiblat dan bayangan arah kiblat, Waktu-waktu Sholat, Awal bulan, dan Gerhana bulan dan matahari. Tokoh yang hidup di era ini, yaitu Sultan Ulugh Beik, Abu Raihan, Ibnu Syatir dan Abu Manshur al Balkhy. Observation didirikan oleh al Makmun di Sinyar dan Junde Shahfur Baghdad, dengan meninggalkan teori kuno dan membuat teori sendiri dalam menghitung kulminasi matahari. Juga menghasilkan data-data yang berpedoman pada kitab Shindihind yang populer “Tables of Makmun”. Dalam hasil seminar Hisab Rukyah pada tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor dihasilkan kesepakatan tiga klasifikasi pemikiran Hisab Rukyah di Indonesia, pertama hisab hakiki taqribi adalah pemikiran hisab rukyahnya sangat rendah keakurasiannya, seperti kitab Sullam Nayyirin oleh Muhammad Manshur, Tadzkirah al Ikhwan oleh Dahlan Semarang, al Qawaid al Falakiyah oleh KH. Abdul Fattah, al Syams wa al Qamar oleh KH. Anwar Katsir, Risalah Qamaraian oleh KH. Nawawi Muhammad, Syams al Hialal oleh KH. Noer Ahmad dan sebagainya. kedua, hisab hakiki tahkiki adalah pemikiran hisab rukyah yang keakurasiannya tinggi tapi bersifat klasik, seperti al Khulashah al Wafiyah oleh KH. Zubaer Umar al Jailany, al Mathla’ al Said oleh Husian Zaid, nur al Anwar oleh KH. Noer Ahmad, Almanak Menara Kudus oleh KH. Turaihan Ajhuri, Badi’atul Mitsal oleh KH. Ma’sum Jombang dan sebagainya. Perbedaan keduanya adalah kalau taqribi berpedoman pada geosentris, sementara tahkiki berdasarkan pada heleosentris. Ketiga, hisab hakiki kontemporer adalah pemikiran hisab rukyah yang keakuransiannya tinggi dan kontemporer, seperti Almanak Nautika (TNI AL Dinas Hindro Oseanografi), Ephemeris (Depag RI), Islamic Calender (Muhammad Ilyas) dan sebagainya. Dari deskripsi di atas, ilmu falak memiliki dua aspek sejarah (historical aspect) dan aspek fungsi keagamaan (function of religious aspect).Dalam aspek sejarah adalah bahwa ilmu falak memiliki mata rantai sejarah yang berkesinambungan yang dinamis.Munculnya Ilmu falak sebagai respon terhadap problem sosial pada waktu itu. Jika ulama dahulu mampu menciptakan ilmu falak secara sistematis dan ilmiah, maka kita sekarang ini juga harus mampu mengembangkan bukan sebagai pemakai (user) teori mereka. Sedangkan aspek fungsi keagamaan adalah bahwa ilmu falak sebagai sarana untuk melakukan ibadah kepada Alllah swt dengan benar. Sarana sama kedudukannya dengan suatu tujuan dalam kaidah fiqh “li al wasail hukm al maqashid”. Survey membuktikan bahwa hasil penelitian di Semarang terdapat 70 persen mesjid dan mushalla yang tidak menghadap ke arah kiblat dengan benar. Padahal di kota ini masih banyak pakar yang ahli dalam ilmu falak. Oleh karena itu, ilmu falak merupakan bagian dari fiqh yang berkaitan dengan waktu ibadah, arah kiblat, awal bulan, dan gerhana. Ilmu falak tidak jauh berbeda dengan fiqh mawarits yang ada hitungannya juga, maka ilmu falak lebih tepat dengan istilah fiqh falak. Sehingga dengan istilah ini, fiqh falak dalam kajian keislaman mendapatkan perhatian yang serius.
Sumber diambil dari link berikut. klik.