Gambar ilustrasi

Ada sebuah waktu yang selalu terasa hangat, yaitu pagi hari setelah sholat Subuh. Saat itu, mamak selalu memulai rutinitasnya dengan sederhana namun penuh kasih. Beliau membuatkan secangkir kopi hangat untuk bapak, yang akan dinikmati perlahan sembari bapak meracik rokok lintingannya.


Aroma kopi bercampur bau tembakau yang khas mengisi ruang, menyatu dengan suara pelan percakapan mereka di meja makan.

Momen itu adalah waktu istimewa bagi keduanya. Bapak dan mamak bercerita, berdiskusi, dan bercengkrama tentang apa saja—entah soal rencana hari itu, kenangan masa lalu, atau bahkan hanya cerita ringan tentang anak dan cucu cicitnya, dan juga cerita tentang tanaman yang mereka tanam di kebun. Kadang, mamak akan meninggalkan meja sejenak, berjalan ke dapur untuk membolak-balik sayur atau gorengan yang sedang dimasaknya. Tapi pembicaraan tidak pernah benar-benar berhenti; suara mereka tetap terdengar hingga ke tempat tidurku yang berada tepat di samping meja makan.

Setelah secangkir kopi habis dan obrolan pagi perlahan mereda, mamak tetap setia melanjutkan rutinitasnya. Tiap pagi, tanpa pernah absen, mamak menyiapkan makanan untuk bapak. Beliau memastikan semuanya siap sebelum matahari beranjak naik, dengan hidangan sederhana namun penuh cinta—bau nasi hangat, sayur, atau gorengan khas masakan mamak yang selalu memenuhi meja makan. Itu adalah bentuk pengabdiannya yang tulus kepada bapak, sebuah kesetiaan yang tak pernah pudar.

Mamak selalu menemani bapak, mulai dari menyajikan sarapan hingga melihatnya pergi ke kebun. Ada kekuatan luar biasa dalam dedikasi mamak, dalam caranya menjaga dan melayani bapak dengan sepenuh hati. Kini, setelah bapak tiada, kenangan itu tetap hidup. Suara bapak yang tegas dan lantang, tawa mamak yang renyah, dan aroma pagi yang khas masih terasa, meski hanya di dalam hati.

Semoga mamak, dengan segala cinta dan keikhlasannya, selalu diberikan kesehatan oleh Allah. Pagi-pagi setelah Subuh tak lagi sama, tapi kenangan itu menjadi pengingat tentang kehangatan keluarga yang tak tergantikan. 

Di sanalah, dalam momen sederhana itu, aku belajar bahwa cinta sejati tidak selalu diucapkan, tapi terlihat dan dirasakan. Mamak adalah contoh nyata bahwa cintanya kepada bapak adalah tentang memberi, menemani, dan mengabdi, tanpa pernah mengharapkan balasan apa pun.