Waktu adalah saksi bisu dari segala hal yang lahir, tumbuh, dan berlalu. Di sepanjang perjalanan sejarah, manusia hadir dengan gagasan dan pemikirannya, meninggalkan jejak dalam dunia yang terus berubah. Eksistensi seseorang mungkin bersinar terang di masanya, membawa perubahan, memberikan pengaruh, bahkan menaklukkan hati banyak orang. Namun, sebagaimana fajar berganti senja, setiap nama pada akhirnya akan redup digantikan oleh generasi berikutnya.
Contohnya adalah gagasan besar tentang integrasi dan interkoneksi ilmu yang digaungkan oleh Prof. Amin Abdullah. Pada masanya, gagasan ini membumi dan menggema seantero nusantara. Nama Prof. Amin Abdullah dikenal luas, bukan hanya di kalangan akademisi, tetapi juga di berbagai ranah intelektual Islam. Gagasan integrasi dan interkoneksi yang ia usung menjadi paradigma baru dalam mengharmonisasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, memberikan angin segar bagi dunia pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Namun, sebagaimana waktu terus berlalu, nama beliau kini tidak lagi menjadi sorotan utama. Hanya gagasan yang ia tinggalkan yang tetap hidup, menjadi pedoman dan inspirasi bagi generasi selanjutnya.
Begitu pula dengan ide-ide dan pemikiran yang pernah hidup dalam benak almarhum Bapak. Banyak sekali gagasan yang beliau lontarkan—sebagian cemerlang, bahkan visioner, sementara sebagian lainnya mungkin dianggap tidak masuk akal oleh orang-orang di sekitar yang mengenalnya. Namun, semua itu adalah cerminan dari keberanian berpikir, kebesaran jiwa, dan keyakinan beliau untuk terus memberikan kontribusi bagi lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Ide-ide itu tidak hilang begitu saja; mereka hidup dalam kenangan, tertanam di hati orang-orang yang pernah berinteraksi dengan beliau, menjadi sumber inspirasi dan pelajaran di berbagai momen kehidupan.
Inilah hakikat sejarah manusia: nama boleh memudar, tetapi pemikiran yang bermakna akan terus bertahan. Dari Plato hingga Ibnu Khaldun, dari Kartini hingga Habibie, dari Prof. Amin Abdullah hingga almarhum Bapak, nama mereka mungkin tak lagi menjadi percakapan sehari-hari, tetapi ide-ide mereka tetap menjadi benang merah yang merajut perjalanan peradaban.
Karena itu, sejatinya yang abadi bukanlah kemegahan nama atau popularitas seseorang, melainkan kontribusi yang tertanam di hati manusia dan menjadi panduan dalam perjalanan hidup mereka. Waktu akan terus melanjutkan siklusnya, tetapi pemikiran yang bermakna akan selalu menemukan tempat di setiap era.
Maka, saat seseorang berpikir tentang makna keberadaan, ia perlu bertanya: “Apa yang akan kutinggalkan, bukan untuk hari ini, tetapi untuk masa depan yang takkan pernah kutemui?” Jawaban atas pertanyaan itulah yang akan menentukan, apakah jejaknya memudar bersama waktu, ataukah menjadi terang abadi di perjalanan sejarah.