Pagi ini, aroma tiwul yang saya kukus memenuhi dapur. Tiwul, makanan khas berbahan dasar singkong, selalu membawa cerita dari masa lalu yang begitu lekat di hati. Proses memasaknya sederhana, namun penuh makna. Tiwul yang sudah setengah matang saya taburi kelapa parut muda yang telah diberi sejumput garam dan gula. Setelah itu, kukusan berlanjut hingga tiwul matang sempurna. Harumnya begitu khas, mengundang nostalgia dan rasa syukur.
Bagi saya, tiwul bukan sekadar makanan. Ia adalah kisah perjuangan. Almarhum Bapak sering bercerita bagaimana di masa sulit dulu, ketika beras menjadi barang mewah, tiwul, gatot, dan pisang mentah yang direbus dengan taburan kelapa menjadi penyambung hidup. Bapak selalu mengenang bagaimana Mamak dengan penuh kasih memasak makanan-makanan sederhana itu. Dengan tangan penuh keikhlasan, Mamak menyiapkan tiwul, gatot, atau pisang mentah yang direbus untuk Bapak dan keluarga.
Bapak pernah berkata, “Rasa tiwul itu seperti rasa syukur. Meski sederhana, tiwul bisa mengenyangkan dan memberikan tenaga untuk terus bekerja.” Kata-kata Bapak selalu terngiang di benak saya. Ia tidak pernah mengeluh dengan makanan apa pun yang telah Mamak siapkan di meja makan, malah sering memuji Mamak atas masakan sederhana yang disajikan dengan penuh cinta. Makanan-makanan itu bukan hanya pemenuh kebutuhan, tetapi juga lambang perjuangan dan kekuatan keluarga dalam menghadapi keterbatasan.
Sebagai seorang Ayah, saya merasa penting untuk mengenalkan nilai-nilai ini kepada kedua pasang anak saya; Hilal, Ana, Hafiz, dan Ijah. Sejak kecil, mereka sudah akrab dengan tiwul. Bukan hanya karena rasanya yang khas dan sehat, tetapi juga karena kisah di baliknya. Di halaman (dulu) dan belakang rumah (sekarang), sengaja saya tanami singkong. Hasilnya saya jadikan tiwul, sebuah langkah kecil untuk menjaga tradisi sekaligus menyediakan camilan sehat bagi keluarga.
Tiwul adalah simbol keakraban, kebersahajaan, dan rasa syukur. Dalam setiap gigitan, ada cerita tentang almarhum Bapak yang penuh penerimaan, tentang Mamak yang selalu sabar memasak untuk keluarga, dan tentang cinta dalam kesederhanaan. Karena dari makanan seperti tiwul, kita belajar menghargai yang sederhana dan merasakan kebahagiaan dari apa yang kita miliki.