Musim panen padi selalu membawa suasana yang tak terlupakan. Di tengah sawah yang menguning, mamak, almarhum bapak, kang Kus, kang Em, mbak Mus, dan mbak Atun sibuk dengan tawa dan semangat. Namun, ada satu momen yang selalu membekas di hati—ketika lembing hijau, serangga kecil dengan aroma khas seperti walang sangit, mulai bermunculan.

Dengan cekatan, mamak menangkap beberapa ekor lembing untuk dijadikan sambal. Di gubuk sederhana, mamak menumbuk lembing yang sudah dibersihkan bersama cabe hijau dan sedikit garam. Prosesnya begitu sederhana, tetapi aromanya langsung menusuk hidung membawa rasa lapar yang sulit ditahan.

Sambal lembing, dengan keunikannya yang khas, selalu menjadi teman setia makan siang kami di sawah. Bersama nasi putih yang sudah dibawa dari rumah, ditambah dengan sayur dan lauk gesek/ikan asin. Kami makan dan duduk bersama di atas tumpukkan karung yang tersusun di gubuk atau duduk di bawah rindang pohon karet samping sawah, sambil melepas lelah dan menikmati hasil kerja keras siang itu. Rasanya tidak hanya menggugah selera, tetapi juga mengingatkan akan kebersamaan, cinta, dan perjuangan keluarga di setiap butir nasi yang kami makan.

Hingga kini, aroma sambal lembing dan kenangan bersama mamak serta almarhum Bapak selalu membangkitkan rasa rindu yang mendalam. Itulah momen sederhana namun bermakna yang menjadi bagian dari cerita hidup sebagai sebuah pengingat akan indahnya kebersamaan dan syukur di tengah kesederhanaan.

Dalam kesederhanaan, ada keberkahan. Sambal lembing yang sederhana, dengan aromanya yang khas, tidak hanya menggugah selera tetapi juga menghadirkan rasa syukur dan kebahagiaan yang sulit tergantikan.