Ahmad tampak gembira. Tangan kanannya mengelus-elus kepala seekor kambing. ''Ini rezeki dari Allah,'' katanya sambil memandangi sepasang kambing yang kini menjadi miliknya. Lelaki 30-an tahun ini pada 19 Desember 2004 lalu, mendapat sepasang kambing. Ia tak sendirian. Ada sembilan warga desa Giri Mulya, kecamatan Cibungbulan, Kabupaten Bogor lainnya yang juga mendapat bantuan dua ekor kambing. Kambing tadi berasal dari karyawan dan karyawati Direktorat Jenderal Pemerintah Umum (Ditjen PUM), Departemen Dalam Negeri yang tengah menggelar Bhakti Sosial di desanya.

Tak hanya menyerahkan bantuan berupa kambing, ada sejumlah bantuan lain yang diberikan kepada masyarakat setempat. Para pengusaha kecil, misalnya, mendapat bantuan modal. Panitia juga menggelar layanan kesehatan, keluarga berencana dan khitanan massal. Selain itu, dilakukan renovasi dan finishing sebanyak delapan unit masjid/musala dan renovasi pondok pesantren. Bantuan juga diberikan untuk pengembangan kesenian Islam, sarana pendidikan agama dan majelis taklim. Panitia juga melakukan rehabilitasi balai desa, membangun empat unit fasilitas mandi cuci kakus (MCK), membangun rumah layak huni, dan sejumlah kegiatan lain.

Dana yang diperlukan untuk mendukung seluruh kegiatan bakti sosial tadi, berasal dari zakat profesi yang dihimpun karyawan-karyawati Ditjen PUM. Selain zakat, ada infaq sebesar Rp 21,750 juta, bantuan dari PT Taman Safari Indonesia untuk pembangunan dua unit MCK, serta bantuan obat-obatan dari PT Indofarma. ''Kami juga mendapat bantuan dari Departemen Agama berupa Mushaf Alquran sebanyak 500 unit,'' kata Sekretaris Ditjen PUM, Suhatmansjah.

Untuk biaya operasional kegiatan itu sendiri, panitia merogoh dari kocek sendiri-sendiri. ''Zakat untuk mustahik utuh, tidak satu senpun dikurangi,'' kata Awalludin Lubis, salah seorang panitia. Panitia juga terlibat langsung dalam kegiatan itu. Lubis mengaku ikut kerja bhakti membangun rumah dan menginap di rumah penduduk selama berlangsungnya bhakti sosial. Hal serupa dilakukan anggota panitia yang lain. Penyaluran zakat seperti yang dilakukan di desa Giri Mulya, baru pertama kali dilakukan. Kegiatan seperti ini, kelak, bakal menjadi kegiatan rutin. ''Kami ingin menjadikan desa Giri Mulya semacam laboratorium,'' Suhatmansjah.

Menurut Suhatmansyah, pihaknya akan melalukan pemantauan dan evaluasi terhadap bantuan yang telah diberikan kepada masyarakat setempat. Dalam hal ini, apakah bantuan yang diberikan telah dimanfaatkan sesuai peruntukannya dan memberikan dampak positif bagi pengembangan ekonomi masyarakat setempat. Monitoring dan evaluasi, sekaligus sebagai masukan untuk kegiatan berikutnya.

Sukarela
Zakat profesi telah diterapkan sejak dua tahun yang lalu. ''Pada mulanya bersifat sukarela,'' kata Susilo, salah seorang penggagas zakat profesi. Menurut mantan Sekretaris Ditjen PUM ini, muzzaki mengisi formulir yang telah disediakan dan menandatangani formulir itu. ''Saat ide ini ditawarkan, karyawan dan karyawati memberikan tanggapan positif. Banyak karyawan yang bersedia dipotong 2,5 persen untuk zakat profesi,'' kata Susilo. Kini, program zakat profesi diikuti seluruh karyawan muslim di kantor itu.

Dalam sebulan dihimpun tak kurang Rp 4 juta. Dana yang dihimpun kemudian disalurkan kepada mustahik berupa bantuan modal kerja, program anak asuh, khitanan massal. ''Kami punya anak asuh sebanyak 30 orang,'' kata Susilo. Untuk anak asuh, sebagian memang berasal dari dalam. Yakni keluarga pensiunan Depdagri yang membutuhkan bantuan. Jumlah anak asuh, diperkirakan akan terus bertambah, seiring dengan bertambahnya dana yang berhasil dihimpun.

Kemudian muncul ide membuat semacam desa binaan. Desa inilah yang akan menjadi sasaran penyaluran zakat, infaq dan sodakoh yang dihimpun. Program ini kemudian berkembang, karena banyak instansi yang memberikan dukungan. Suhatmansjah berharap pola ini dikembangkan komponen lain di Depdagri, serta instansi pemerintah yang lain. ''Semakin banyak instansi melakukan hal serupa, akan semakin banyak masyarakat kita yang kurang mampu yang dibantu,'' paparnya.

Keteladanan
Tak banyak institusi yang berhasil mengelola zakat profesi seperti Ditjen PUM. Susilo, mengaku bangga karena ide yang dikembangkan bisa berkembang. ''Kami akan mendorong komponen lain melakukan hal serupa,'' kata Susilo yang kini menjabat sebagai Direktur Pejabat Negara di Ditjen Otonomi Daerah. Pengelolaan zakat profesi sebenarnya bukan hal yang sulit dilakukan. Menunjuk pengalaman mengelola zakat di Ditjen PUM, Susilo mengemukakan bahwa suatu ide membutuhkan dukungan pimpinan.

Saat ia mengusulkan konsep ini ke Dirjen PUM yang saat itu dijabat Progo Nurjaman, Progo mendukungnya. Selain menandatangani formulir pemotongan gaji sebesar 2,5 persen untuk zakat profesi, Dirjen juga mengeluarkan surat edaran dan pedoman mengenai pengelolaan zakat. Selain dukungan pimpinan, silaturahmi yang terjalin baik diantara para karyawan, juga menjadi faktor yang mendukung keberhasilan pengelolaan zakat profesi.

Tak kalah pentingnya adalah keterbukaan. Yudia Ramli, wakil sekretaris panitia zakat mengemukakan setiap pengeluaran dan pemasukan tidak saja diadministrasikan dengan baik, tetapi juga dikomunikasikan. ''Kami selalu menempel laporan pengeluaran dan penerimaan,'' katanya. Yudia juga membuka diri kepada setiap muzakki yang menemuinya di kantornya. Termasuk mendiskusikan program atau kegiatan apa yang akan dilakukan.

Pemotongan gaji sebanyak 2,5 persen, menurut Yudia, berdasarkan SK Panitia Zakat Ditjen PUM dengan merujuk UU No 38 Tahun 1999 tentang Zakat. ''Kami menggunakan nizab emas murni 91,92 gram,'' katanya. Dengan rujukan itu, pegawai dengan penghasilan setahun setara 91,92 gram emas diwajibkan membayar zakat profesi. ''Berdasar perhitungan kami, pegawai dengan gaji dan tunjangan Rp 766 ribu per bulan diwajibkan membayar zakat profesi,'' ujar Yudia yang mengaku membayar zakat profesi Rp 36 ribu per bulan.

Keteladanan, keterbukaan dan komitmen para pengelolanya, menjadi kata kunci keberhasilan pengelolaan zakat profesi. Dengan metode ini, kata Yudia, muzaki tahu persis, berapa dana yang berhasil dihimpun, berapa dimanfaatkan dan untuk apa dan siapa penerimanya. Ini, barangkali, menjadi faktor kunci keberhasilan pengelolaan zakat profesi di lingkungan instansi pelat merah ini. Siapa mau menyusul?