Dalam penetapan Ramadhan,
umat Islam menggunakan dua metode yang berbeda. Pertama, dengan metode wujud
al-hilal, berapapun ketinggian hilal ketika bulan sudah dinyatakan wujud di
atas ufuk maka sudah masuk bulan baru. Berdasarkan prediksi hisab kontemporer,
konjungsi akhir Sya’ban 1433 hijriyah terjadi pada hari Kamis 19 Juli 2012
pukul 11:25 WIB. Hilal pada hari tersebut sudah dinyatakan positif di seluruh
wilayah Indonesia. Sehingga, ormas yang menggunakan kriteria hisab akan menetapkan
1 Ramadhan 1433 hijriyah pada hari Jum’at 20 Juli 2012.
Kedua, dengan metode rukyat al-hilal, umat
Islam yang menetapkan Ramadhan dengan metode ini mensyaratkan hilal harus
terlihat oleh mata minimal 2 derajat. Dalam prediksi rukyat, hilal pada hari Kamis
19 Juli 2012 berada pada ketinggian 1,5 derajat. Meski elongasi di atas 4
derajat, namun umur hilal baru 6,5 jam, sehingga secara Imkan al-Rukyah
mustahil hilal dapat terlihat. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pada esok
harinya Jum’at 20 Juli 2012 masih masuk bulan Sya’ban 1433 hijriyah atau Istikmal
yakni menggenapkan 30 hari bulan Sya’ban 1433 hijriyah. Pemerintah yang
menggunakan kriteria Imkan al-Rukyah dan ormas yang menggunakan kriteria
rukyat al-hilal akan menetapkan 1
Ramadhan 1433 hijriyah pada hari Sabtu 21 Juli 2012.
Potensi perbedaan penetapan awal Ramadhan hingga
beberapa tahun kedepan rentan terjadi, tetapi masih terbuka dialog agar bisa
bersatu. Egosentrisme kelompok harus dihindari demi
persatuan umat Islam, tidak ada yang kalah dan menang demi kebersamaan ibadah umat
Islam. Ijtihad penentuan awal bulan hijriyah secara teologis adalah hal yang
logis. Keyakinan penentuan awal bulan secara pribadi, baik dengan hisab maupun
rukyat bisa dibenarkan secara syar'i. Tetapi saat ini yang menjadi masalah
adalah mengajak umat secara umum menyelesihi
pemerintah secara terang-terangan yang mana pemerintah juga sudah
mempertimbangkan dua pemikiran baik hisab dan rukyat yang menjadi acuan dalam sidang
itsbat. Keluarnya salah satu ormas dari sidang
isbat tidak dibenarkan di negara yang mengedepankan asas demokratis. Karena sidang
itsbat adalah upaya pemerintah untuk mengakomodir semua pendapat. Meniadakan
sidang itsbat, berarti mengabaikan pendapat yang menyatakan penetapan awal dan
akhir Ramadhan harus diistsbatkan oleh pemerintah, bukan ditetapkan secara
individu atau kelompok.
Perbedaan penetapan awal
Ramadhan dalam kalender Islam banyak
menimbulkan persoalan yang berdampak pada pecahnya rasa kebersamaan hingga
mengganggu kekhusyuan umat Islam beribadah. Hal ini tentu akan berdampak pada
wilayah lain seperti aspek politis, ekonomis dan sosiologis. Jika dicermati, selama ini perhatian umat Islam saat menjelang
Ramadan lebih terfokus pada persoalan hisab dan rukyat dan mengabaikan aspek toleransi-sains.
Padahal Islam sangat mengedepankan aspek toleransi dan ilmu, bukan arogansi
yang berkepanjangan. Perbedaan penetapan ini muncul sebetulnya bukan karena
persoalan hisab dan rukyat semata. Tetapi ada persoalan fundamental yang tidak
disadari oleh umat Islam, yaitu belum terbentuknya “Kalender Islam Universal”
yang dapat digunakan secara seragam dalam skala nasional. Selama Kalender Islam
Universal belum terwujud maka perbedaan Ramadhan dari tahun ke tahun akan
senantiasa dialami oleh umat Islam.
Kalender Islam yang bersifat universal
semkain menjadi kebutuhan umat Islam yang mendesak. Berbagai usaha telah
dilakukan agar kalender Islam bisa berlaku
secara seragam dalam skala nasional. Kebutuhan akan hal ini dapat dimengerti
karena dapat menjadi pemersatu umat Islam dan dapat menjembatani perbedaan
waktu pelaksanaan ibadah, sebagaimana yang relatif sudah berhasil diterapkan
pada penentuan waktu-waktu shalat. Hingga kini usaha penyatuan kalender Islam belum menemukan titik temu. Kendalanya
adalah, bahwa tiap ormas cenderung menggunakan metode dan kriterianya
masing-masing dan belum sepakat dengan kriteria yang dirumuskan oleh pemerintah
sebagai acuan bersama.
Membangun visi
untuk menjadikan kalender Islam sebagai
kalender universal yang dapat mempersatukan umat menjadi tugas bersama.
Kalender Islam bukan kalender yang terbatas
dan terkotak-kotak menjadi kalender privat kebanggaan masing-masing ormas.
Kalender Islam yang mempersatukan umat
adalah kalender yang bukan hanya untuk kepentingan ibadah, melainkan untuk kegiatan
bisnis dan administrasi negara. Kalender Islam
bukan lagi ranah agama, tetapi kalender sosial. Masyarakat Indonesia
memerlukannya, setara dengan kalender Masehi. Perbankan Syariah kini setara
dengan perbankan Konvensional, bukan di negara-negara Islam, di Eropa pun
berkembang "Bulan Sabit Merah" yang setara dengan "Palang
Merah" kini saatnya kalender Islam setara dengan kalender Masehi.
Penetapan awal Ramadhan merupakan satu dari sekian banyak hal yang
terkait dengan aspek ibadah. Merumuskan Kalender
Islam sebagai kalender Universal dengan berbagai pendekatan disiplin ilmu terkait
didukung dengan adanya batas wilayah keberlakuan hukum Indonesia sudah saatnya
Kalender Islam dilegalisasi menjadi Kalender Islam Universal oleh otoritas
tunggal yaitu pemerintah melalui dialog universal berkesinambungan dengan
mengedepankan semangat ukhuwwah, saling menghormati dan
penuh toleransi