Penetapan 1 Ramadhan 1433 hijriyah kali ini akan menjadi perhatian umat Islam yang cukup serius. Lantaran posisi hilal yang menentukan 1 Ramadhan 1433 hijriyah sangat kritis. Dikatakan kritis karena ketinggian hilal masih dibawah 2 derajat. Sehingga akan terjadi perbedaan penetapan 1 Ramadhan 1433 hijriyah antara kubu hisab dan rukyat. Kubu hisab menetapkan 1 Ramadhan 1433 hijriyah lebih dahulu ketimbang kubu Rukyat. Sehingga, umat Islam Indonesia akan mengalami perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan.
Dalam penetapan Ramadhan, umat Islam menggunakan dua metode yang berbeda. Pertama, dengan metode wujud al-hilal, berapapun ketinggian hilal ketika bulan sudah dinyatakan wujud di atas ufuk maka sudah masuk bulan baru. Berdasarkan prediksi hisab kontemporer, konjungsi akhir Sya’ban 1433 hijriyah terjadi pada hari Kamis 19 Juli 2012 pukul 11:25 WIB. Hilal pada hari tersebut sudah dinyatakan positif di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga, ormas yang menggunakan kriteria hisab akan menetapkan 1 Ramadhan 1433 hijriyah pada hari Jum’at 20 Juli 2012.
Kedua, dengan metode rukyat al-hilal, umat Islam yang menetapkan Ramadhan dengan metode ini mensyaratkan hilal harus terlihat oleh mata minimal 2 derajat. Dalam prediksi rukyat, hilal pada hari Kamis 19 Juli 2012 berada pada ketinggian 1,5 derajat. Meski elongasi di atas 4 derajat, namun umur hilal baru 6,5 jam, sehingga secara Imkan al-Rukyah mustahil hilal dapat terlihat. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pada esok harinya Jum’at 20 Juli 2012 masih masuk bulan Sya’ban 1433 hijriyah atau Istikmal yakni menggenapkan 30 hari bulan Sya’ban 1433 hijriyah. Pemerintah yang menggunakan kriteria Imkan al-Rukyah dan ormas yang menggunakan kriteria rukyat al-hilal akan menetapkan 1 Ramadhan 1433 hijriyah pada hari Sabtu 21 Juli 2012.
Potensi perbedaan penetapan awal Ramadhan hingga beberapa tahun kedepan rentan terjadi, tetapi masih terbuka dialog agar bisa bersatu. Egosentrisme kelompok harus dihindari demi persatuan umat Islam, tidak ada yang kalah dan menang demi kebersamaan ibadah umat Islam. Ijtihad penentuan awal bulan hijriyah secara teologis adalah hal yang logis. Keyakinan penentuan awal bulan secara pribadi, baik dengan hisab maupun rukyat bisa dibenarkan secara syar'i. Tetapi saat ini yang menjadi masalah adalah mengajak umat secara umum menyelesihi pemerintah secara terang-terangan yang mana pemerintah juga sudah mempertimbangkan dua pemikiran baik hisab dan rukyat yang menjadi acuan dalam sidang itsbat. Keluarnya salah satu ormas dari sidang isbat tidak dibenarkan di negara yang mengedepankan asas demokratis. Karena sidang itsbat adalah upaya pemerintah untuk mengakomodir semua pendapat. Meniadakan sidang itsbat, berarti mengabaikan pendapat yang menyatakan penetapan awal dan akhir Ramadhan harus diistsbatkan oleh pemerintah, bukan ditetapkan secara individu atau kelompok.
Perbedaan penetapan awal Ramadhan dalam kalender Islam banyak menimbulkan persoalan yang berdampak pada pecahnya rasa kebersamaan hingga mengganggu kekhusyuan umat Islam beribadah. Hal ini tentu akan berdampak pada wilayah lain seperti aspek politis, ekonomis dan sosiologis. Jika dicermati, selama ini perhatian umat Islam saat menjelang Ramadan lebih terfokus pada persoalan hisab dan rukyat dan mengabaikan aspek toleransi-sains. Padahal Islam sangat mengedepankan aspek toleransi dan ilmu, bukan arogansi yang berkepanjangan. Perbedaan penetapan ini muncul sebetulnya bukan karena persoalan hisab dan rukyat semata. Tetapi ada persoalan fundamental yang tidak disadari oleh umat Islam, yaitu belum terbentuknya “Kalender Islam Universal” yang dapat digunakan secara seragam dalam skala nasional. Selama Kalender Islam Universal belum terwujud maka perbedaan Ramadhan dari tahun ke tahun akan senantiasa dialami oleh umat Islam.
Kalender Islam yang bersifat universal semkain menjadi kebutuhan umat Islam yang mendesak. Berbagai usaha telah dilakukan agar kalender Islam bisa berlaku secara seragam dalam skala nasional. Kebutuhan akan hal ini dapat dimengerti karena dapat menjadi pemersatu umat Islam dan dapat menjembatani perbedaan waktu pelaksanaan ibadah, sebagaimana yang relatif sudah berhasil diterapkan pada penentuan waktu-waktu shalat. Hingga kini usaha penyatuan kalender Islam belum menemukan titik temu. Kendalanya adalah, bahwa tiap ormas cenderung menggunakan metode dan kriterianya masing-masing dan belum sepakat dengan kriteria yang dirumuskan oleh pemerintah sebagai acuan bersama.
Membangun visi untuk menjadikan kalender Islam sebagai kalender universal yang dapat mempersatukan umat menjadi tugas bersama. Kalender Islam bukan kalender yang terbatas dan terkotak-kotak menjadi kalender privat kebanggaan masing-masing ormas. Kalender Islam yang mempersatukan umat adalah kalender yang bukan hanya untuk kepentingan ibadah, melainkan untuk kegiatan bisnis dan administrasi negara. Kalender Islam bukan lagi ranah agama, tetapi kalender sosial. Masyarakat Indonesia memerlukannya, setara dengan kalender Masehi. Perbankan Syariah kini setara dengan perbankan Konvensional, bukan di negara-negara Islam, di Eropa pun berkembang "Bulan Sabit Merah" yang setara dengan "Palang Merah" kini saatnya kalender Islam setara dengan kalender Masehi.
          Penetapan awal Ramadhan merupakan satu dari sekian banyak hal yang terkait dengan aspek ibadah. Merumuskan Kalender Islam sebagai kalender Universal dengan berbagai pendekatan disiplin ilmu terkait didukung dengan adanya batas wilayah keberlakuan hukum Indonesia sudah saatnya Kalender Islam dilegalisasi menjadi Kalender Islam Universal oleh otoritas tunggal yaitu pemerintah melalui dialog universal berkesinambungan dengan mengedepankan  semangat ukhuwwah, saling menghormati dan penuh toleransi