1. A.    Faktor-faktor terjadinya kewarisan

Ada empat faktor terjadinya kewarisan dalam hukum Islam, antara lain:

Perkawinan
Perkawinan yang dimaksud, tentu saja perkawinan yang sah menurut syariat. Perkawinan dikatakan sah,
apabila syarat dan rukunnya terpenuhi meskipun belum terjadi hubungan kelamin antara suami istri. Dengan demikian, apabila salah seorang diantaranya ada yang meninggal dimana perkawinannya masih dalam utuh atau dianggap utuh (talak raj’iy yang masih dalam keadaan adalah), maka ia berhak untuk saling mewarisi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Didalam Al-Qur’an :
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Kekerabatan
Hubungan darah adalah menyebabkan terjadinya waris-mewarisi. Kekerabatan atau pertalian darah garis lurus keatas, disebut ushul atau leluhur simati. Pertalian darah garis lurus kebawah disebut Furuh’ atau anak turun simati, dan pertalian darah garis menyamping yang disebut dengan Hawasyi. Dasar terjadinya waris-mewarisi karena hubungan kekerabatan ini disebut di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.
Memerdekakan budak (Wala’ul’itqi)
Yang di maksud dengan Wala’ul’itqi atau wala’unni’ mati ialah kekerabatan yang timbul berdasarkan hukum, karena memerdekakan atau membebaskan budak.
Perbudakan adalah suatu pelanggaran hak-hak asasi manusia yang telah dilegalisir oleh berbagai bangsa di dunia jauh sebelum kedatangan islam. Di dalam islam dianjurkan supaya perbudakan dihapus yang tentunya dengan maksud, merobah status seseorang dimata hukum yang tadinya tidak memiliki hak sedikitpun berbuat dan bertindak menjadi cakap bertindak sebagaimana manusia bebas lainnya, (memiliki hak dan kewajiban). Dengan dasar islam menetapkan bahwa apabila seseorang tuan membebaskan budaknya, kemudia si budak yang telah di bebaskan atau dimerdekakan itu meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris, baik karena sebab kekerabatan atau perkawinan, maka yang mewarisanya adalah orang yang telah memerdekakan itu (si mu’tiq). Hal ini merupakan imbalan atas jasanya dan limpahan nikmat memerdekakan yang diberikan kepada si budak, sehingga ia mempunyai kebebasan menurut hukum, termasuk pemilikan dan pengelolaan terhadap harta bendanya sendiri.

Hubungan keislaman
Hubungan keislaman atau keagamaan juga menyebabkan terjadinya waris- mewarisi, apabila orang yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris. Demikian menurut golongan Asy-syafi’iyah dan Malikiyah dengan mendasarkan pendapatnya kepada sabda Rasulullah SAW.


Artinya:  “Saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris,                      Aku membayar dendanya, dan akupun mewarisi dari padanya”.                             (H R. Abu Dawud).
Perlu di pahami bahwa bukanlah Rasulullah SAW, mewarisi atau mengambil harta tersebut untuk kepentingan dirinya, tetapi adalah untuk kepentingan islam dan ummat islam.

  1. A.    Halangan-halangan kewarisan.
Halangan-halangan kewarsan yang dimaksud, pada garis besarnya terbagi dalam dua bahagian yaitu halangan karena pengaruh sesuatu washaf (sifat), yang terkenal dengan sebutan mawani’ul irtsi, dan halangan karena pengaruh orang (kekerabatan).
Pengaruh sifat
Yang dimaksud halangan pengaruh sifat, ialah seseorang ahli waris yang sebenarnya berhak untuk menerima harta warisan dari pewaris, tetapi oleh karena padanya terdapat salah satu sifat atau keadaan tertentu, menyebabkan ia tidak bisa menerima warisan (adanya dianggap tidak ada).
Maksudnya sekalipun ia memenuhi sebab-sebab dan syarat-syarat sebagai ahli waris, tetapi karena adanya pengaruh sifat itu menyebabkan ia tidak memperoleh harta warisan.
Seseorang ahli waris yang terhalang karena adanya pengaruh sifat tersebut, disebut mamnu’ yang terbagi dalam tiga sifat yaitu:

  1. a.      Perbudakan
Para ahli hukum islam, telah sepakat bahwa budak tidak dapat mewarisi dan tidak dapat mewariskan. Hal ini disebabkan karena mereka dianggap melarat. Dikatakan melarat karena ia tidak cakap bertindak/mengurusi dan tidak berhak untuk memiliki sedikitpun, bahkan mereka sendiri dan segala yang ada padanya dimiliki oleh tuannya.
  1. b.      Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ahli waris terhadap pewarisnya, adalah salah satu sifat yang menyebabkan tersingkirnya untuk menerima harta warisan dan pewaris, yang dibunuhnya.
Mengingat karena bermacam-macamnya jenis pembunuhan, maka para ulama berbeda pula pendapatnya tentang jenis pembunuhan yang mana tergolong mawani’ul irtsi.
Menurut ulama Syafiiyah, berpendapat bahwa segala macam bentuk pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang ahli waris kepada pewarisnya adalah menjadi penghalang baginya untuk menerima harta warisan.
Menurut ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa pembunuhan yang yang menjadikan seseorang ahli waris termasuk mawani’ul irtsi ialah pembunuhan yang mengakibatkan adanya sanksi qishash dan kaffarah.
Pembunuhan yang bersanksi qishash ialah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja atau direncanakan sebelumnya.

Adapun pembunuhan yang bersanksi kaffarah yaitu:
  • Pembunuhan mirib sengaja (Syibhul ‘amdi), yaitu sengaja melakukan penganiyaan dengna pukulan tanpa niat membunuhnya, tetapi ternyata yang di pukul meninggal dunia.
  • Pembunuhan karena khilaf (qatlul-khata’i) misalnya seorang menembak binatang buruan, yang dikenai sasaran peluru adalah manusia.
  • Pembunuhan yang dianggap khilaf (al-jari majrokhathai)bmisalnya seorang yang membawa benda berat tanpa disengaja terlepas menjatuhi seseorang hingga ia mati.

Dari segala macam pembunuhan diatas oleh golongan Hanifiah dikualifikasikan sebagai pembunuhan yang langsung (mubasyarah) dan selain dari itu disebut pembunuhan yang tidak langsung (tasabbub).
Adapun yang temasuk sebagai pembunuhan tasabbub sepertinya seseorang manggali lobang untuk membuat sumur. Pada suatu ketika ada orang yang lewat disitu, dan sekalingus jatuh kedalam lobang itu dan mengakibatkan matinya orang tersebut. Pembunuhan seperti ini tidak menimbulkan adanya sanksi qishash, kaffarah dan sekalingus juga tidak menjadi penghalang untuk memperoleh harta warisan.
Selain pembunuhan tasabbub, juga pembunuhan karena hak dan sebab sepertinya seorang membunuh pewarisnya karena melaksanakan tugas qishash atukah karena membela diri.
Demikian juga jika pembunuh itu orang gila, anak yang belum sampai umur (baligh). Mereka ini tidaklah mukallaf, karena itu tidak dihadapkan kepada perintah-perintah atau beban-beban agama.
Juga lelaki yang menyergap istrinya menyebabkan kematiannya, pada hal tidak ada maksud membunuhnya. Hal ini dilakukan hanya semata-mata karena dorongan emosi yang berlebih-lebihan sehingga menyebabkan kematian istrinya.
Dari hal-hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi seseorang ahli waris untuk memperoleh harta warisan dan pewarisnya.
Menurut ulama Malikiyah, berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang untuk mewarisi ialah:

  • Pembunuhan dengan sengaja
  • Pembunuhan mrib sengaja
  • Pembunuhan tidak langsung (tasabbub) yang disengaja, sepertinya melepaskan binatang buas atau member persanksian palsu yang menyebabkan kematian seseorang.

Dari ketiga macam pembunuhan ini sebenarnya dapat disatukan saja, oleh karena semuanya mempunyai unsure kesengajaan.
Dengan demekian pada dasarnya ulama Malikiyah hanya mengenal dua macam pembunuhan yaitu pembunuhan yang di sengaja dan pembunuhan yang tidak di sengaja. Jadi apabila pembunuhan itu dilakukan dengan niat atau dengan maksud, itu adalah pembunuhan yang disengaja tanpa mempedulikan apakah pembunuhan itu langsung atau tidak langsung, berakal atau tidak sebagainya, kesemuanya ini menjadi penghalang bagi ahli waris untuk memperoleh harta warisan dari pewarisnya.
Meurut ulama Hambaliyah, berpendapat bahwa jenis pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi (mawani’il irtsi) ialah:

  • Pembunuhan sengaja
  • Pembunuhan mirib sengaja
  • Pembunuhan karena khilaf
  • Pembunuhan dianggap khilaf
  • Pembunuhan tidak langsung (tasabbub)
  • Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap bertindak seperti anak kecil atau orang gila.

Adapun pembunuhan yang tidak jadi penghalang untuk mewarisi, ialah pembunuhan yang tidak mengakibatkan sesuatu yaitu pembunuhan yang dapat dibenarkan oleh agama.
Juga jumhur ulama sepakat terhadap pembunuhan yang hak sepertinya yang bertugas sebagai algojo melaksanakan keputusan hakim.

  1. a.        Berlainan agama
Berlainan agama adalah salah satu sifat yang menjadikan seseorang ahli waris terhalang untuk memperoleh harta warisan dari pewarisnya. Salah satu contoh: seorang muslim meninggal dunia sedang istrinya orang yahudi, beberapa saat kemudian istrinya masuk islam. Si istri ini tidak berhak mewarisi suaminya, meskipun harta warisan belum dibagi.
Adapun perbedaan agama diantara orang yang bukan muslim, misalnya seorang yahudi dan seorang Kristen tidak menjadi halangan kewarisan. Demikian pendapat jumhur ulama termasuk golongan hanfiyah dan Asy-Safi’iyah.
Para ulama berpendapat demikian, oleh karena meskipun mereka berbeda-beda, tetapi dipandang dari segi islam, mereka itu sama saja semuanya bukan islam dan semuanya itu dianggap satu aliran yakni sama-sama menentang syariat Muhammad SAW.
Adapun orang murtad mempunyai kedudukan tersendiri, seorang murtad dianggap telah melakukan tindak kejahatan terbesar, karena ia telah merusak shilah (hubungan) syar’iyah. Berbeda halnya dengan ketentuan orang kafir sebagaimana yang dimaksud di atas, mereka sejak semulanya memang sudah kafir, bukan pada mulanya islam kemudian menjadi kafir. Oleh karena itulah para fuqaha sepakat bahwa orang murtad tidak berhak menerima harta warisan dari siapapun, baik pewarisnya itu seorang muslim atau kafir ataukah sama-sama murtad.
Dikatakan bahwa seorang murtad itu tidak berhak menerima harta warisan dari pewarisnya yang muslim, karena orang murtad itu tidak beragama sedangkan orang kafir itu beragama. Dan seterusnya orang murtad tidak berhak memperoleh harta warisan dari pewarisnya yang murtad, sekalipun pewaris itu tadinya beraga islam,  berdasrkan pandangan bahwa orang murtad itu tidak beragama, berbeda dengan seorang muslim yang bukan muslim sejak semulanya.
Timbul pertanyaan bahwa orang murtad, hartanya dapat diwarisi oleh ahli warisnya yang muslim?. Menurut jumhur fuqaha, harta yang didapat sebelum murtad, sesudah murtad sampai meninggalnya, ditetapkan sebagai harta fa’I, dan dimasukkan kedalam bautilmal untuk kemaslahatan umum. Dimasukkannya kebaitulmal bukanlah karena harta itu dipandang sebagai harta warisan kepada orang islam atau kepada ahli warisnya, yang muslim, sebab mereka meninggal dalam keadaan kafir. Pada hal sudah dijelaskan oleh  hadist bahwa orang muslim dan orang kafir tidak saling mewarisi.
Adapun menurut mashab Abu Hanifah berpendapat bahwa harta yang diperoleh si murtad ketika masih beraga islam, menjadi harta warisan bagi ahli warisnya yang muslim.
Alasannya saat riddah adalah saat kematian bagi murtad laki-laki, oleh karena pada saat itu ia dikenakan/berlaku sanksi hukuman mati dari penguasa.
Berbeda halnya bagi murtad perempuan, ia hanya dikenakan hukuman penjara oleh karena saat kematiannya, adalah mati hakiki. Dengan demekian, hartanya baik yang ia peroleh ketika masih muslimah ataukah sesudah ia murtad, menjadi harta warisan bagi ahli warisnya yang muslim.

Pengaruh orang
Yang dimaksud halangan karena pengaruh orang ialah; seseorang ahli waris, yang sebenarnya berhak untuk memperoleh harta warisan dari pewarisnya, tetapi karena adanya orang (ahli waris) yang lain mengakibatkan ahli waris tersebut terhalang untuk memperoleh bagiannya yang banyak menjadi sedikit atau bahkan terhalang sama sekali untuk memperoleh bagiannya.
Didalam ilmu mawaris, halangan yang seperti ini disebut hijab atau hajab yang menurut bahasa diartikan “tabir, dinding, pencegah, penghalang”. Sedanh menurut istilah ialah: “sesuatu yang menjadi tabir atau dinding yang mengurangi penerimaan ahli waris dari suatu bagian tertentu menjadi bagian yang lebih kecil, atau menghalangi ahli waris dari menerima bagiannya sehingga yang bersangkutan sama sekali tidak berhak menerima bagian dari harta pusaka”.



Orang menjadi penghalang dinamai hajib, sedangkan orang yang menjadi terhalang dinamai mahjub. Mahjub terbagi dalam dua yaitu:
  1. Mahjub Nuqshan, yaitu berkurangnya hak atau terhalangnya seseorang ahli waris untuk menerima bagiannya yang banyak, berpindah kepada bagiannya yang sedikit, karena adanya ahli waris lain yang tertentu.
Contohnya:
Berkurangnya hak atau bagian seseorang suami dari 1/2 menjadi 1/4, karena adanya anak almarhumah (pewaris).
  1. Mahjub Hirman, yaitu hilangnya hak/terhalangnya seseorang ahli waris untuk memperoleh seluruh bagiannya, karena adanya ahli waris yang lebih dekat dari padanya.
Contoh:
Hilangnya hak seorang cucu karena adanya anak pewaris.