Segala aspek kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan rohani (psychic) maupun jasmani (physical)
tidak pernah lepas dari pergantian, pengulangan dan perhitungan waktu.
Gambaran tentang waktu memiliki peran yang sangat penting guna melihat
kerangka konseptual hubungan manusia dengan
sejarahnya baik yang berkenaan dengan aspek kemanusiaan (social) maupun yang bukan
kemanusaiaan (animate dan inanimate). Adanya realitas pergantian dan pengulangan waktu telah
mengilhami manusia untuk menciptakan suatu bentuk notasi yang ditandai dengan bentuk-bentuk bilangan dalam suatu satuan tertentu, yang dalam konteks ini disebut penanggalan atau kalender. Sistem penanggalan ini berguna untuk mengetahui pergantian waktu dan memudahkan manusia untuk mengingat dan mencatat suatu peristiwa atau kejadian-kejadian di alam sekitarnya.
sejarahnya baik yang berkenaan dengan aspek kemanusiaan (social) maupun yang bukan
kemanusaiaan (animate dan inanimate). Adanya realitas pergantian dan pengulangan waktu telah
mengilhami manusia untuk menciptakan suatu bentuk notasi yang ditandai dengan bentuk-bentuk bilangan dalam suatu satuan tertentu, yang dalam konteks ini disebut penanggalan atau kalender. Sistem penanggalan ini berguna untuk mengetahui pergantian waktu dan memudahkan manusia untuk mengingat dan mencatat suatu peristiwa atau kejadian-kejadian di alam sekitarnya.
Dewasa ini dikenal dengan dua sistem kalender atau penanggalan yang didasarkan pada waktu edar benda-benda langit. Pertama
kalender Masehi yaitu penanggalan yang didasarkan pada peredaran bumi
mengelilingi matahari atau dikenal dengan sistem asy-Syamsiah (Solar System), kedua
Kalender Hijriah yaitu penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan
mengelilingi bumi yang lazim disebut sistem al-Kamariah (Lunar System).
Dalam agama Islam kedua sistem tersebut sama-sama digunakan untuk
kepentingan mengenai ritualitasnya. Beberapa aspek rukun Islam terkait
erat dengan kedua sistem tersebut. Ibadah shalat misalnya, menggunakan
sistem peredaran matahari, sedangkan puasa dan ibadah haji menggunakan
sistem peredaran bulan.
Menurut
catatan sejarah, penanggalan hijriah secara formal diciptakan pada masa
Umar bin Khatab. setelah diangkat sebagai khalifah, tepatnya pada tahun
ke 17 Hijriah yang bertepatan dengan 622 Masehi, atau setelah hijrahnya
Rasulullah saw yaitu sejak munculnya persoalan menyangkut sebuah
dokumen yang tidak bertahun yang terjadi pada bulan Syakban muncul
pertanyaan dari Abu Musa Al-Asy’ari bulan Syakban yang dimaksud tahun yang lalu, tahun ini atau tahun yang akan datang.
Atas
peristiwa itu Umar bin Khatab menganggap perlu adanya hitungan tahun
dalam Islam. Maka dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari beberapa
sahabat terkemuka untuk memusyawarahkan penentuan awal tahun Islam agar
persoalan tersebut tidak terulang lagi maka diciptakanlah penanggalan
hijriah. Berdasarkan usulan dari Ali bin Abi Thalib maka penanggalan
Hijriah dihitung mulai tahun yang di dalamnya terjadi hijrah nabi
Muhammad saw dari Makkah ke Madinah.
Penentuan
dimulainya pertama kali tahun Hijriah dilakukan enam tahun setelah
wafatnya nabi Muhammad saw. Namun demikian, sistem yang mendasari
Kalender Hijriah telah ada sejak zaman pra-Islam, pada waktu itu belum
dikenal penomoran tahun. Sebuah tahun dikenal dengan nama peristiwa
yang cukup penting di tahun tersebut. Misalnya, tahun dimana nabi
Muhammad saw lahir, dikenal dengan sebutan Tahun Gajah (âm al-fîl). Karena pada waktu itu terjadi penyerbuan ka’bah di Mekkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah kemudian sistem ini direvisi pada tahun ke sembilan periode Madinah.
Sampai saat ini dan setelah abad ke-21,
peradaban Islam tidak memiliki kalender terpadu yang merupakan alat
manajemen dan pengorganisasian waktu yang amat penting bagi sebuah
peradaban. Akibatnya umat Islam belum mempunyai Kalender Islam yang
berlaku secara Internasional, umat Islam sekarang masih menggunakan
kalender lokal atau regional. Seperti Kalender Islam Saudi Arabia,
India, Inggris, Amerika, Libya, Indonesia dan Iran. Berdasarkan
penelitian atas semua kalender tersebut, sebagaimana yang dituturkan Susiknan Azhari dalam bukunya yang berjudul Ilmu Falak; Teori dan Praktak terlihat adanya perbedaan dalam penentuan awal bulan satu sama lainnya.
Perbedaan
yang terjadi selain karena perbedaan penafsiran terhadap mulainya awal
bulan dalam Kalender Hijriah juga ditemukannya metode-metode baru dalam
penentuan awal bulan hijriah yang dianggap lebih akurat dan memadai,
perkembangan tersebut dapat dilihat dari perkembangan bidang hisab yang
dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan. Perhitungan secara
hisab yang pada awalnya secara garis besar terdiri dari dua sistem,
yakni Hisab ‘Urfi dan Hisab Hakiki. Kini dalam perkembangannya sistem
Hisab Hakiki telah berkembang sehingga muncul istilah sistem tradisional
dan modern. Masalah sosial yang ada di sekitar hisab maupun rukyat juga menjadi pemicu adanya perbedaan yang dapat menimbulkan ketegangan.
Akibat ketidak sesuaian dalam penentuan awal bulan dapat menimbulkan perbedaan dalam penanggalan khususnya
awal bulan yang mencuat kepermukaan seperti Ramadan, Syawal dan
Zulhijah yang mana dalam bulan-bulan tersebut terdapat ritual yang
sangat penting bagi umat Islam. Untuk menjembatani problema yang sering
terjadi hampir setiap tahun, dan diprediksikan akan terjadi pada tahun
berikutnya, maka lahirlah pemikiran tentang Univikasi Kalender Islam.
Tujuan
utama dari Univikasi Kalender Islam adalah adanya kesatuan waktu dalam
melaksanakan ibadah sehingga tidak terjadi perbedaan. Meskipun benar
secara Normative-Tekstual tidak dapat dipungkiri bahwa Ikhtilafu Ummati Rahmatun
namun bila hal ini dibiarkan akan berimplikasi jauh pada aspek sosial,
politis, dan ekonomis. Maka proses Univikasi Kalender Islam perlu
dikonsep lebih matang dengan mengkombinasikan berbagai disiplin
keilmuan, sehingga dapat terbentuk Kalender Islam yang dapat
mempersatukan umat Islam dalam bingkai kebersamaan di tengah perbedaan.
Pembicaraan
komprehensip secara teknis tentang Kalender Islam Internasional telah
dipublikasikan pada tahun 1984. Sedangkan mengenai paradigma pemikiran
konsep Kalender Islam Internasional sebenarnya sudah dibicarakan sejak
tahun 1978. Pada tahun tersebut telah diselenggarakan
konferensi penentuan awal bulan kamariah di Istambul Turki, yang mana
salah satu keputusannya berbunyi:
“For
the visibility of the moon no special place is required. When such
visibility becomes possible in any part of the earth, it will be
legitimate to conculede that lunar month has started. In order to
acheive the unity and solidarity of Islamic word in this resfect, the
visibility of the moon should be declared by the observatory which is to
be established in Macca.....”
Pernyataan
di atas menegaskan bahwa, hasil rukyat di suatu tempat tidaklah hanya
berlaku untuk daerah di mana rukyat itu berhasil dilakukan, tetapi lebih
dari itu keberhasilan rukyat tersebut berlaku pula untuk seluruh tempat
di muka bumi ini. Dari poin ini tampak lebih jelas apa yang telah
disebutkan bahwa penekanan utama penulisan sistem kalender pada
konferensi Istambul Turki ini terletak pada kepentingan untuk menyusun
Kalender Islam yang berlaku secara menyeluruh.
Namun
hingga saat ini belum ada satu kesepakatan, meskipun demikian melalui
organisasi MABIMS yang diikuti oleh negara-negara ASEAN seperti Brunai
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura dan diikuti juga oleh
negara-negara Islam lainnya selalu berusaha memperjuangkan demi
terealisainya Kalender Islam Nasional dan tidak menutup kemungkinan
terwujudnya Kalender Islam Internasional.
Salah
satu tokoh yang pemikirannya sangat mewarnai Konsep Kalender Islam
Internsional adalah Mohammad Ilyas. Ia seorang ilmuwan Muslim dari
Malaysia, menurutnya ada dua persoalan dalam mengkonsep Kalender Islam
yang berlaku secara Internasional. Pertama, Hisab Imkān ar rukyat
yang dilakukan tidak hanya pada tempat tertentu, melainkan secara
global. Hisab harus dilakukan di berbagai tempat untuk menemukan titik Imkān ar rukyat. Kedua, Garis Tanggal Kamariah Internasional (International Lunar Date Line), garis ini akan memisahkan dua kawasan Barat yang mungkin bisa merukyat hilal dan kawasan sebelah Timur yang tidak mungkin
terjadi rukyat. Garis Tanggal Kamariah Internasional berfungsi menjadi
batas tanggal kamariah, dalam arti kawasan sebelah barat garis memasuki
bulan baru, sementara kawasan sebelah timur yang belum dapat melakukan
rukyat belum mulai bulan baru.
Belum
terbentuknya Kalender Islam Internasional sampai saat ini karena dalam
penentuan awal bulan masih menjadi perselisihan yakni tentang metode
yang dipakai. Secara umum, ada dua metode yang digunakan untuk
menentukan awal bulan, yaitu hisab dan rukyat. Satu pihak ada yang
menghendaki menggunakan rukyat saja, sedangkan di pihak lain ada yang
membolehkan menggunakan sistem hisab. Ketidak sepakatan ini disebabkan
karena dasar hukum yang dijadikan alasan oleh ahli hisab tidak dapat
diterima oleh ahli rukyat dan dasar hukum yang dikemukakan oleh ahli
rukyat dipandang oleh ahli hisab bukan merupakan satu-satunya dasar
hukum yang membolehkan cara dalam menentukan awal bulan dalam Kalender
Islam.
Selain
dari cara menentukan awal bulan, dalam pembuatan kalender harus juga
diperhatikan masalah pendefinisian hari, dimana dan kapan hari itu
dimulai menurut Kalender Islam. Selama ini konsep hari yang berlaku
secara Internasional dimulai pada pukul 24:00 atau 00:00 tengah malam
dan berakhir pada waktu yang sama pada malam berikutnya. Sedangkan dalam
Islam, hari dimulai sejak terbenamnya matahari. Hal ini terlihat dalam
waktu wajibnya membayar zakat fitrah yaitu sejak mulainya hari Idul
fitri dalam hal ini sejak terbenamnya matahari akhir Ramadan.
Selain itu umat Islam masih menggunakan kriteria-kriteria yang dianggap paling benar (qaţ’ī)
dan merasa bersalah dan berdosa jika mengubahnya, sehingga tidak
menerima perubahan karena takut menyalahi aturan padahal dari
masing-masing kriteria adalah merupakan hasil ijtihad yang mungkin
berubah dengan adanya penemuan baru.
Dari
uraian di atas, penulis ingin mencoba mengkaji lebih jauh bagaimana
sebenarnya konsep yang dijadikan sebagai acuan untuk mengkaji Kalender
Islam Internasional, dalam hal ini bagaimana pandangan Mohammad Ilyas
tentang Konsep Kalender Islam Internasional. Dapatkah Kalender Islam
Internasional dijadikan sebagai solusi alternatif untuk meminimalisir
terjadinya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan yang sarat
akan pelaksanaan ibadah tersebut.
Hingga saat ini, Kalender
Islam yang bersifat mendunia semakin menjadi kebutuhan umat yang
mendesak. Berbagai usaha telah dilakukan agar Kalender Islam bisa
berlaku secara seragam dalam skala Internasional. Kebutuhan akan hal ini
dapat dimengerti karena dapat menjadi lambang persatuan umat dan
menjembatani perbedaan waktu pelaksanaan ibadah, sebagaimana yang
relatif sudah berhasil diterapkan pada penentuan waktu-waktu shalat.
Hingga kini usaha penyatuan Kalender Islam Internasional belum menemukan
titik temu. Kendalanya adalah, bahwa ormas-ormas Islam cenderung tetap
menggunakan metode dan kriteria masing-masing dan belum sepakat dengan
kriteria yang dijadikan sebagai acuan bersama.
Masalah
penentuan awal bulan dalam Kalender Islam banyak menimbulkan perbedaan
dalam penetapannya. Perbedaan penetapan awal bulan tersebut berdampak
pada pecahnya rasa kebersamaan dan mengganggu kekhusyuan umat Islam
dalam beribadah, seperti berbeda dalam menentukan kapan Ramadhan, Syawal
dan Zulhijah yang berdampak pada bulan-bulan lain. Lebih parahnya,
perbedaan tersebut juga berimbas pada wilayah lain seperti aspek
politis, ekonomis dan sosiologis.
Berangkat
dari permasalahan di atas, Mohammad Ilyas seorang astronom Muslim dari
Malaysia telah mewakafkan karir ilmiahnya untuk mengkaji masalah
Kalender Islam Internasional. Dalam ijtihad ilmiahnya, Mohammad Ilyas
memperkenalkan konsep Garis Tanggal Kamariah Antar Bangsa (International Lunar Date Line).
Garis tersebut dihubungkan antar wilayah guna mendapatkan keseragaman
hilal. Mohammad Ilyas membagi bumi menjadi tiga zona kalender yaitu benua Amerika, Eropa dan Asia-Paific.
Tujuan dari penulisan
ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis pendapat Mohammad
Ilyas mengenai Konsep Kalender Islam Internasional. Penelitian ini
bersifat kepustakaan murni (Library Research) yang dilakukan
dengan cara menggunakan sumber primer yaitu karya Mohammad Ilyas berupa
buku, dan sumber sekunder yakni buku-buku penunjang yang berkaitan
dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Dari pemaparan tersebut dapat ditemukan
jawaban bahwa konsep Kalender Islam Internasional Mohammad Ilyas masih
terkendala pada Garis Tanggal Kamariah Antar Bangsa (International Lunar Date Line)
yang bersifat tidak tetap setiap bulannya. Kondisi ini berbeda dengan
garis tanggal dalam Kalender Masehi yang menggunakan penanggalan
Matahari. Garis tanggal dalam kalender ini disepakati pada bujur 180°.
Pendefinisian masalah hari untuk memulai tanggal satu dalam Kalender
Islam juga masih terkesan rancu, selama ini pergantian hari pada
Kalender Masehi dimulai pukul 00.00, sedangkan dalam Kalender Hijriah
dimulai setelah Magrib.
Dengan
demikian konsep kalender yang ditawarkan Mohammad Ilyas dapat dikatakan
belum bisa menyelesaikan masalah, hal ini perlu kajian ulang terkait
dengan sistem kalender yang berlaku secara internasional tentu dengan
berbagai pendekatan dan disiplin ilmu yang terkait dengan Kalender Islam
secara umum dengan tidak mengabaikan ‘dialog universal
berkesinambungan’.