Jelang pesta demokrasi 2014, di
berbagai tingkatan dalam banyak ranah politis dari berbagai daerah hingga
pusat, posisi-posisi jabatan birokrasi diisi oleh perempuan. Tampaknya,
masyarakat memandang, amanah perempuan dapat diperjuangkan lebih baik ketika
diembankan kepada sosok perempuan. Lantas, yang menjadi pertanyaan selanjutnya
adalah mampukah perempuan menjadi sosok pemimpin dan panutan bagi
masyarakat atau perempuan hanya dianggap sebagai aksesoris untuk melengkapi kuota 30 persen keterwakilan perempuan?
masyarakat atau perempuan hanya dianggap sebagai aksesoris untuk melengkapi kuota 30 persen keterwakilan perempuan?
Dalam buku Pendidikan Perempuan,
karya Anton E. Lucas (Yogyakarta: Gema Media, 2003, hlm. 21) istilah perempuan
berbeda dengan wanita. perempuan lebih menyimbolkan adanya kesetaraan
dibandingkan dengan wanita. Istilah “wanita” berasal dari bahasa jawa, wanito
yang artinya wani ditoto (berani diatur). Hal ini berarti wanita harus
berani diatur oleh laki-laki. Sementara ”perempuan” memiliki kata dasar empu
yang bermakna kemandirian dan juga menjadi sebutan bagi orang yang memiliki
kelebihan; empu tantular, empu gandring, empu prapanca dan lain sebagainya.
Maka dari itu, perempuan sebagai sosok yang mempunyai ”kelebihan” tapi tidak
”kemandirian”. Karenanya, keberadaan mereka yang masih tertindas perlu
diberdayakan.
Sejarah perempuan tiada lain
merupakan sejarah penindasan atas nama jenis kelamin oleh laki-laki. Perempuan
selalu menjadi korban, dan sasaran keegoisan laki-laki. Mereka tidak dihormati,
dilecehkan, dipinggirkan, dimarjinalkan, serta beribu batasan lain yang
mengerangkeng perjalanan kehidupannya. Dalam hal ini, agama seringkali
dijadikan justifikasi; meski tidak secara langsung, tindak kekerasan terhadap
perempuan. Hampir dalam setiap agama, kekerasan pada perempuan pasti ada. Abad
ke-7 masehi, agama Hindu menjadikan perempuan sesajen bagi para dewa. Yahudi
meyakini perempuan sebagai sumber malapetaka yang menyebabkan Adam terusir dari
surga. Sedangkan Nasrani mengemukakan bahwa perempuan tidak memiliki ruh suci,
hanya diciptakan sekedar melayani laki-laki. Dalam agama Islam pun, dapat
ditemui ajaran, yang bila dipahami secara verbal, dapat mendiskreditkan kaum
perempuan.
Agama memang tidak secara langsung
mendiskriminasi perempuan. Penindasan, diskriminasi, marginalisasi, dan
sejenisnya terhadap perempuan, sejatinya dibentuk oleh ketidakadilan struktural
yang disebabkan oleh keyakinan gender dalam masyarakat. Namun harus diakui,
perilaku bias gender yang mengakar dalam masyarakat, sehingga membentuk
masyarakat patriarkhi, tiada lain disebabkan oleh penafsiran atas ajaran agama.
Sebab, agama dalam masyarakat relegius, merupakan kekuatan besar dalam proses
pembentukan sejarah kebudayaan manusia.
Budaya patriarkhi dalam masyarakat,
yang sudah menjadi adat dan tradisi, berasal dari doktrindoktrin agama yang
diinternalisasi secara masif dalam masyarakat. Hal itulah yang menyebabkan
perempuan selalu berada di garis belakang. Adanya penafsiran ajaran agama yang
tidak ramah perempuan, menyebabkan mereka tidak leluasa mengukir hidupnya,
hingga harus puas menjadi ”pelayan” laki-laki. Mereka tertinggal dalam banyak
hal, mulai dari aspek pendidikan, ekonomi, dan sosial hingga politik.
Tradisi masyarakat berkeyakinan
bahwa laki-laki harus diutamakan dalam segala hal; cita-cita, keinginan, mimpi,
bahkan obsesinya harus diperjuangkan dan didahulukan daripada keinginan anak
perempuan. Karenanya, anak laki-laki bisa mengenyam pendidikan
setingi-tingginya, leluasa mengukir impian, dan ”mendesain” perjalanan
hidupnya. Sementara bagi perempuan, mereka sama sekali tidak leluasa mengatur
jalan hidupnya sendiri, senantiasa dibayang-bayangi larangan orang tua, cibiran
tetangga, juga fatwa kiai melalui dalil-dalil agama yang membatasi ruang
aktualisasi dirinya. Seorang perempuan dilarang memiliki impian tentang apa
pun. Mereka terbatasi dalam banyak hal, ribuan fatwa telah siap mengerangking
perjalanan hidup perempuan.
Tidak hanya itu, seringkali mereka
tidak menyadari (mengetahui) hak hidupnya dalam kehidupan berumah tangga; walau
sebenarnya pada sisi lain, harus diakui bahwa perempuan memang diciptakan atau
direkayasa (dibodohi) melalui berbagai macam doktrin agar tunduk dan patuh pada
keinginan laki-laki. Kehidupan mereka selalu ”dituntut” pasrah dan menerima
segala aturan yang dibebankan bagi dirinya. Akibat dari adanya ”kerangking”
menyebabkan perempuan belum bisa mengaktualisasikan dirinya dengan baik. Setiap
kali mereka berkeinginan tampil di ranah publik; semisal memimpin sebuah
organisasi, aktif di lembaga pendidikan, apalagi ”nekat” terjun di wilyah
politik praktis, pasti akan memunculkan reaksi negatif dari berbagai kalangan.
Karena itu, selama ini peran perempuan di ranah politik masih sebatas wacana
ketika diskusi dan pelatihan.
Dalam pergumulan politik yang
sebenarnya, perempuan belum bisa leluasa memainkan pernanan politiknya dengan
segenap potensi yang dimilikinya. Setiap kali perempuan menunjukkan
keinginannya untuk terlibat dalam percaturan politik, banyak kalangan yang
menolak, bahkan termasuk kaum perempuan itu sendiri. Ketiadaan dukungan
tersebut, tentu disebabkan oleh stigma di masyarakat yang menilai bahwa
perempuan ”tidak” berkualitas, dan tidak pantas tearjun di dunia politik. Hal
itu pulalah yang menyebabkan, hingga hari ini jarang ditemukan sosok perempuan
yang bisa menjadi politisi ulung. Keberadaan mereka; bila memang mampu terjun
di ranah politik, tidak lebih sebagai pelengkap saja, atau sekedar melengkapi
tuntutan kouta ”30%” keterwakilan kaum perempuan.
Terhitung sejak demokrasi
dikumandangkan di negeri ini, hanya tercatat satu orang perempuan yang mampu
menduduki posisi sebagai pemimpin negara. Namun begitu, reaksi negatif dari kalangan
masyarakat; meski tidak semua, sudah tidak terbendung. Tidak mudah bagi
perempuan untuk memperjuangkan kaum perempuan untuk memperoleh kesempatan dalam
mengaktualisaikan potensi dirinya diberbagai bidang: pendidikan, ekonomi, dan
juga politik, tanpa harus dibayang-bayangi oleh fatwa diskriminatif. Perempuan
juga memiliki potensi yang tidak kalah dengan laki-laki untuk dijadikan
sumbangsih terkait dengan pengembangan negeri ini. Oleh karena itu, tidak ada
jalan lain bagi masyarakat selain menjadikan perempuan sebagai elite sosial
yang ‘mutlak’ dipatuhi dan dihormati. Karena, perempuan memiliki tingkat
pengaruh lebih kuat dan jaringan pengikut yang lebih banyak.