Oleh: Agustianto
Pendahuluan
Dalam Islam, zakat menduduki posisi yang
sangat penting. Zakat tidak saja menjadi rukun Islam, tetapi juga
menjadi indikator dan penentu apakah seseorang itu menjadi saudara
seagama atau tidak. Maksudnya, bila seorang muslim telah kena wajib
zakat, tetapi tidak mau berzakat, maka ia bukan lagi saudara seagama.
Hal ini secara tegas dikemukakan Alquran, “Jika mereka bertaubat, mengerjakan shalat dan mengeluarkan zakat, barulah mereka menjadi saudaramu seagama”. (QS.5:8).
Dengan demikian, orang yang mengabaikan
kewajiban zakat, sesungguhnya telah melakukan keengkaran dan kedurhakaan
besar kepada Allah. Karena itulah, ketika di masa Abu Bakar ada
sebagian kaum muslimin yang mengaku muslim dan rajin shalat, tetapi
enggan membayar zakat, Abu Bakar dengan nada marah mengeluarkan statemen
yang artinya: Demi Allah, aku akan perangi siapa yang memisahkan shalat dengan zakat.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa
barang siapa yang melaksanakan shalat, tapi enggan membayar zakat, maka
tidak ada shalat baginya.
Begitu eratnya keterkaitan shalat dan
zakat, sehingga Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya, (Amal seseorang
itu tidak bermanfaat, kecuali dia menegakkan shalat dan menunaikan
zakat sekaligus).
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh
as-Sunnah, di dalam Al-Qur’an perintah shalat dan zakat digandengkan
sampai 82 kali. Ini menunjukan bahwa shalat dan zakat tidak bisa
dipisahkan dalam kegiatan amal seorang muslim. Shalat merupakan ibadah badaniyah sedangkan zakat merupakan ibadah maliyah. Shalat merupakan hubungan vertikal kepada Allah, sedangkan zakat lebih bersifat horizontal dan sosial.
Dalam rangka memotivasi dan membangun masyarakat yang taat zakat, Islam tidak hanya mengumumkan punishment (azab) yang sangat keras bagi penolakannya (QS. 9:35, 41:7) dan memberikan reward (jaza’) yang sangat besar bagi yang melaksanakannya. (QS. 30:39, 9:19), lebih dari itu, berbagai credit point, termasuk garansi dicurahkannya keberkahan dan pelipatgandaan asset bagi orang-orang yang membayar zakat (QS. 267).
Pemberantasan Kemiskinan
Islam sangat concern kepada pembangunan sosio-ekonomi rakyat (umat). Islam mempunyai perhatian yang tinggi untuk melepaskan orang miskin dan kaum dhu’afa
dari dari kemiskinan dan keterbelakangan, tanpa harus didahului oleh
gerakan revolusi kaum miskin dalam menuntut perubahan nasibnya.
Perhatian Islam terhadap kaum dhu’afa tidak bersifat insidentil, tetapi reguler dan sistimatis.
Tak dapat dipungkiri bahwa zakat sangat
berpotensi sebagai sebuah sarana yang efektif untuk memberdayakan
ekonomi umat. Potensi itu bila digali secara optimal dari seluruh
masyarakat Islam dan dikelola dengan baik dengan manajemen amanah dan
profesionalisme tinggi, akan mewujudkan sejumlah dana yang besar yang
bisa dimanfaa’ inikan untuk mengatasi kemiskinan dan memberdayakan
ekonomi umat. Namun, gerakan zakat yang telah dilancarkan sejak lama dan
telah dikembangkan oleh banyak Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat,
belum memiliki dampak yang signifikan dalam mengentaskan kemiskinan
ummat di Indonesia.
Salah satu aspek penting yang harus
diperhatikan adalah mengenai distribusi zakat. Banyak masyarakat
(muzakki) yang tak faham tentang esensi zakat yang sebenarnya, sehingga
ia telah merasa melaksanakan kewajiban zakat secara sempurna, manakala
ia telah mengeluarkan zakat hartanya. Padahal persoalan zakat bukan
hanya sekedar mengeluarkan zakat harta, tetapi di sana ada keperluan
akan manajemen distribusi zakat yang dapat secara efektif memberantas
kemiskinan. Karena itulah kita perlu merubah paradigma distribusi zakat
agar dapat memberantas kemiskian dengan jauh lebih efektif daripada
cara-cara selama ini yang banyak dilakukan oleh masyarakat.
Problem Distribusi
Bicara tentang zakat dan sedekah, ada
tiga kebiasaan yang hidup di kalangan muzaki, mustahik (penerima
sedekah) dan amil (pekerja). Di kalanganmustahik, tradisi berderma
ternyata belum mengubah kesejahteraan fakir miskin. Hal ini menurtut Eri
Sudewo setidaknya disebabkan beberapa faktor Pertama berderma
cenderung dipusatkan di Ramadhan. Berarti selama 11 bulan fakir miskin
dibiarkan menderita, sedangkan di Ramadhan dipersilakan berpesta.
Bersedekah pasti dapat ganjaran. Tetapi jika niatnya untuk pahala karena
segala amal dilipatkan di Ramadhan, artinya derma itu karena Ramadhan.
Padahal nishab (batas harta terkena 2.5 persen) dan haul (masa satu
tahun) zakat tak kenal Ramadhan. Karena ingin ke surga sendirian, tak
lagi terpikir bahwa tujuan zakat adalah untuk mengubah kondisi fakir
miskin. Maka apakah tak tergerak untuk ramai-ramai meraih kebahagiaan
dunia akhirat?
Kedua, sedekah ingin
disegerakan sebelum Id Fitri. Sesungguhnya itu hanya berlaku bagi zakat
fitrah. Tujuan zakat fitrah memang konsumtif, agar fakir miskin punya
makanan untuk bisa berhari raya. Sementara zakat harta, zakat profesi,
serta zakat perdagangan misalnya, harus dikelola untuk mengubah kondisi
fakir miskin.
Ketiga, banyak muzakki
ingin melihat zakatnya langsung diterima mustahik. Semakin besar zakat
harta yang dikeluarkan, makin donatur tergoda mengelola sendiri. Karena
donatur tak punya waktu lebih serius agar zakat produktif, paket
santunan jadi alternatif paling mudah. Saat berlangsung seserahan
santunan, terjadi pertemuan kontradiktif antara ”parade kemiskinan”
dengan ”pameran kebajikan”.
Zakat Produktif
Zakat harta yang harusnya menjadi modal
perubahan, tetapi nyatanya tidak, karena para mustahiknya tetap miskin
dan tidak berubah menjadi muzakki Untuk melepaskan umat dari
belenggu kemiskinan melalui zakat, maka penyaluran zakat tidak saja
digunakan untuk kebutuhan konsumtif, tetapi juga untuk kebutuhan
produktif, sehingga zakat menjadi salah satu institusi ekonomi umat
dengan pengembangan usaha-usaha produktif umat Islam.
Menyalurkan zakat untuk kepentingan
produktif, bukan berarti meniadakan penyaluran yang bersifat konsumtif,
karena distribusi konsumtif itu tetap selalu dibutuhkan, seperti untuk
orang jompo, cacat, biaya pengobatan fakir-miskin, dsb.
Penyaluran dan penggunaan dana untuk
keperluan produktif bisa diberikan dalam bentuk bantuan modal kepada
mereka yang masih punya kemampuan bekerja dan berusaha. Tentunya,
disertai pula dengan dukungan teknik dan manajemen bagi kaum ekonomi
lemah, sehingga mereka bisa mandiri dan terlepas dari kemiskinan. Dengan
demikian, kita tidak lagi memberikan ikan, tetapi memberikan pancing.
Diharapkan pada tahun-tahun berikutnya si mustahiq tadi tidak lagi sebagai penerima zakat, tetapi telah berubah nasibnya menjadi pembayar zakat (muzakki).
Inilah yang pernah diisyaratkan Nabi
Muhammad Saw dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, “Berzakatlah kalian,
niscaya akan datang suatu masa, di mana seorang muzakki
(pembayar zakat), membawa zakat hartanya, tetapi tidak menemukan lagi
orang yang berhak menerimanya. Orang yang ditawari mengatakan:
“Sekiranya anda datang tahun yang lalu, maka saya menerimanya”. Sekarang
saya tidak lagi dijumpai di Daulah Islamiyah yang sangat luas itu. Oleh
karena kemiskinan absolut telah berhasil dihapuskan, maka distribusi
zakat mengalami kesulitan, sehingga terpaksa diserahkan kepada kelompok
non-muslim (muallaf) di Afrika Utara.
Sejarah mencatat keberhasilan zakat
dalam mengentaskan kemiskinan. Zakat dikelola secara transparan dan rapi
sejak masa Rasulullah Saw sampai pada masa Ummayyah, khususnya pada
masa Umar bin Abdul Aziz, bahkan pada masa Kalifah Al-Manshur, negara
memiliki surplus dana Baitul Mal sebanyak 810 juta dirham, yang disimpan
sebagai devisa
Problem Kemiskinan
Tradisi mengemis kini sudah meruyak di
mana-mana. Di kota-kota besar lahir kemiskinan gaya baru.Fuqara wal
masakin (fakir miskin) sekarang sudah jadi fuqara masa kini. Kemiskinan
tak lagi jadi cermin tingkat sosial, namun telah jadi profesi. Di
trotoar antara Carrefour – Terminal Lebak Bulus, misalnya, ada tiga
pengemis yang semuanya gemuk. Dalam mengemis, mereka ditemani botol Aqua
berwarna kuning karena telah di-Extra Joss. Aneh, pengemis bertubuh
gemuk. Bahkan seperti pemirsa TV yang lain, mereka pun membeli air
bersih dan ekstra energi. Sungguh mereka bukan target market yang
dibidik Aqua dan Extra Joss. Contoh lain, di depan kantor Standard
Chartered Bank di bilangan segitiga emas, ada dua pengemis menggunakan
handphone. Hebat bukan, apa karena di lingkungan bank internasional
pengemis pun jadi sanggup membeli handphone.
Di tingkat amil, kemampuan mengelola
zakat pun ternyata terbatas. Tradisinya bersifat kepanitiaan dengan
pengelolaan paruh waktu. Karena tak ada waktu dan terbatasnya
pengetahuan zakat, kegiatan amil tak beda dengan donatur: bagi-bagi
santunan. Sebuah masjid besar di bilangan Menteng, contohnya, di
Ramadhan ini bisa menghimpun zakat hampir Rp 1 milyar. Dari laporan
diketahui, setengahnya habis terpakai selama Ramadhan untuk buka puasa
dan santunan. Dana sebesar itu, ternyata tak bisa mengubah kondisi satu
keluarga mustahik pun. Sayangnya Lembaga Pengelola Zakat (LPZ) yang
profesional, dalam kampanyenya malah bangga dengan kegiatan konsumtif:
buka bersama dhuafa dan napi, sembari bagi-bagi sembako.
Kita harus merubah paradigma distribusi
zakat dari konsutif oriented kepada produktif oriented, agar kemskinan
lebih efektif bisa diberantas. Bila kebiasaan konstumtif di atas
berlanjut, niscaya zakat dan sedekah tak banyak pengaruhnya mengentaskan
kemiskinan. Sedekah untuk konsumtif memang mulia. Hanya, jauh lebih
mulia jika sedekah pun dijadikan modal untuk mengubah dhuafa. Kini
saatnya kita mengubah paradigma berzakat. Memaksa bekerja lebih mulia
ketimbang santunan. Untuk melakukan ini, maka berzakat sebaiknya
diserahkan kepada lembaga amil zakat yang amanah dan terpercaya.
Esensi sedekah memang hibah yang harus
diberikan kepada mustahik dimana harta yang diberikan itu menjadi
miliknya, bukan disalurkan dalam bentuk pinjaman. Tetapi dalam konteks
ini ada wilayah ijtihadi. Yaitu sistem distribusi dengan qardhul hasan
dan bagi hasil, sehingga lebih menjamin terciptanya lapangan kerja baru
yang efektif memberantas kemiskinan. Dengan terwujudnya lapangan
kerja, sedekah pun merangsang profesionalitas yang pada gilirannya juga
akan membangun etos kerja. Dengan memaksa fakir miskin bekerja,
kegiatan rutin bagi-bagi santunan, akan terkikis. Bila metode distribusi
ini yang dilakukan, maka sabda Nabi yang menjelaskan bahwa zakat akan
menghapuskan kemiskinan dapat terwujud. Semoga. (Tulisan ini 1/3
nya merujuk kepada artikel dan ceramah Bpk Eri Sudewo, Materi ini
disampaikan dalam diskusi Zakat, Oktober 2005 di Ciputat.