Oleh : Agustianto
Dosen Pascasarjana Ekonomi Keuangan Syariah PSTTI UI, Program S2 IEF Trisakti, S2 MBKI Univ.Paramadina
Dalam Islam, zakat adalah ibadah sosio-economy yang
memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan (Yusuf
Qardhawi, Al-Ibadah, 1993)0 baik dari sisi doktrin Islam maupun dari
sisi pembangunan ekonomi umat. Sebagai suatu ibadah, zakat termasuk
salah satu rukun Islam yang lima, seperti diungkapkan hadist Nabi
riwayat Mus’id As-Sa’dani Al-Arba’in An-Nawawiyah, 1994) sehingga
keberadaannya dianggap “Maklum min Ad-dien bi adildlarurah” (diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keIslaman) (Ali Yafie, Fiqh Sosial, 1994).
Dalam Al-Qur’an terdapat 82 ayat yang
mensejajarkan shalat dengan kewajiban zakat, dan satu kali disebutkan
dalam konteks yang sama akan tetapi dalam ayat berbeda, yaitu Surat
Al-Mukminun ayat 2 dengan ayat 4 (Yusuf Qardhawi, Fiqh Zakat, 1973).
Al-Qur’an menyatakan bahwa kesediaan
berzakat dipandang sebagai indikasi utama kedudukan seorang kepada
ajaran Islam (Q.S. 9:5 dan Q.S 9:11), sekaligus sebagai ciri orang yang
mendapatkan kebahagian (Q.S. 23:4), akan mendapatkan rahmat dan
pertolongannya (Q.S. 9:71 dan Q.S. 22:40 sampai 41).
Kesadaran berzakat merupakan sebuah
keharusan bagi orang Islam yang diwujudkan melalui upaya memperhatikan
hak fakir miskin dan para mustahik (orang yang berhak mendapatkan zakat)
lainnya (Q.S. 9:60). Kesadaran berzakat juga dipandang sebagai orang
yang membersihkan, menyuburkan dan mengembangkan hartanya serta
mensucikan jiwanya (Q.S. 9:103 dan Q.S.30:39).
Sebaiknya Al-Qur’an dan Hadist membeikan
peringatan keras terhadap orang yang enggan mengeluarkannya, berhak
untuk diperangi (H.R. Iman Bukhari dan Muslim dari sanadnya Ibn Umar),
harta bendanya akan hancur dirusak (H.R. Imam Bazzar dan Baihaqi), dan
apabila keengganan itu meluas ditengah masyarakat, maka Allah SWT akan
menurunkan ahzabnya dalam bentuk krisis ekonomi, seperti kemarau yang
panjang, krisis moneter, dsb (H.R. Imam Thabrani). Sedangkan di akhirat
nanti, harta yang tidak dikeluarkannya akan menjadi azab bagi
pemiliknya (Q.S 9:34-35)0 dan (Hadist Riwayat Imam Muslim dari sanadnya
Jabir bin Abdullah). Karena itu khalifah Abu Bakar Siddiq bertekad
untuk memerangi orang yang mau shalat secara sadar dan sengaja enggan
berzakat (Said Sabiq, Fiqh Sunnah, 1968) Abdullah bin Mas’ud mengatakan
bahwa, barang siapa yang melaksanakan shalat tapi enggan melaksanakan
zakat, maka tidak ada shalat baginya (Abd Kasim bin Salam, Al-Amwaal,
1986).
Selain zakat, dikenal pula infaq dan
shadaqah, yang keduanya merupakan bagian dari keimanan seorang muslim,
artinya infaq dan shadaqah itu merupakan ciri utama orang yang benar
keimanannya (Q.S. 8:3-4), ciri utama orang yang bertaqwa (Q.S.2:3 dan
Q.S. 9:134), ciri mukmin yang mengharapkan balasan yang abadi dari Allah
SWT (Q.S. 35:29). Atas dasar itu, infaq dan shadaqah sangat dianjurkan
dalam segala keadaan, sesuai dengan kemampuan (Q.S. 3:124). Jika enggan
berinfaq, maka sama halnya dengan menjatuhkan diri pada kebinasaan
(Q.S.2:;195). Infaq dan shadaqah tidak ditentukan jumlahnya (bisa besar,
kecil banyak atau sedikit) tidak ditentukan pula sasaran penggunaannya
yaitu semua kebaikan yang diperintahkan oleh ajaran Islam (2:213).
Signifikansi Zakat
Kewajiban jakat dan
dorongan untuk terus menerus berinfaq dan bershadaqah yang demikian
mutlak dan tegas itu, desebabkan karena di dalam ibadah ini terkandung
berbagai hikmah dan manfaat (signifikansi) yang demikian besar dan mulia
baik bagi muzakki (orang yang harus berzakat), mustahiq maupun
masyarakat keseluruhan, antara lain tersimpul sebagai berikut:
Pertama, sebagai realisasi iman
kepada Allah SWT, berzakat merupakan upaya mensyukuri nikmatnya. Zakat
adalah ibadah, karena itu aturannya harus sesuai dengan petunjuk
syari’ah.
Kedua, sebagai sumber dana bagi
pembangunan sarana maupum prasarana yang dibutuhkan umat Islam, seperti
sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi, sekaligus
sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim.
Ketiga, menolong, membantu dan
membina kaum Dhuafa’ (orang yang lemah secara ekonomi) maupum mustahiq
lainnya ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga
mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah
kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus memberantas
sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul ketika mereka
(orang-orang fakir miskin) melihat orang kaya yang berkecukupan hidupnya
tidak mempedulikan mereka.
Keempat, untuk mewujudkan
keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta, sehingga diharapkan
akan lahir masyarakat marhamah di atas prinsip ukhuwah Islamiyah dan
takaful ijtima’i.
Kelima, Zakat mengembangkan
harta benda, pengembangan tersebut dapat ditinjau dari segi spiritual
keagamaan berdasarkan firman Allah, “Allah memusnahkan riba (tidak
berkah), dan mengembangkan sedekah (zakat)”. (Q.S. 2:276).
Keenam, menumbuhkan akhlak
mulia dengan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat
kikir dan rakus, menumbuhkan ketegangan batin dan kehidupan, sekaligus
mengembangkan harta yang dimiliki.
Ketujuh, menyebarkan dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar.
Zakat dan Ekonomi Umat
Fakta sejarah membuktikan di zaman
sahabat, ummayah dan Abbasiah, ekonomi umat, bila potensi zakat umat
digali secara optimal. Di zaman Umar bin Abdul Aziz dalam tempo 30 bulan
tidak ditemukan lagi masyarakat miskin, karena semua muzakki
mengeluarkan zakat dan distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, tetapi
juga produktif. Kenyataan itu harus kita wujudkan saat ini agar
kemiskinan yang menjadi musuh kita dapat diatasi.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku akan membunuhnya”.
Makna ucapan khalifah keempat tersebut ialah bahwa ia mendeklarasikan
secara tegas “perang terhadap kemiskinan”. Pada masa krisis ekonomi yang
masih berlangsung masalah kemiskinan sedang menjadi isu penting, karena
jumlah rakyat miskin membengkak secara luar biasa, dari 22,5 juta
menjadi hampir 100 juta jiwa.
Islam menyediakan seperangkat ajaran
yang komprehensif utnuk memecahkan masalah kemiskinan, diantaranya
melalui lembaga zakat, infaq, sedekah (zis) tersebut.
Harta yang wajib dizakati
Dalam fiqh zakat ditentukan sumber-sumber kekayaan (Al-Amwal as-Zakawiyah) yang
wajib dikeluarkan zakatnya. Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit
menyebutkan tujuh jenis kekayaan yang wajib dizakati, yaitu emas, perak,
hasil tanaman, dan buah-buahan dan barang dagangan, ternak, hasil
tambang, dan barang temuan (Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, 1986). Sementara
itu menuntut Ibn Qoiyim al-Jauzi (Zaadul Ma’ad 1925) bahwa zakat harta
itu terbagi dalam empat kelompok yaitu: Pertama, kelompok tanaman dan
buah-buahan, Kedua, kelompok hewan ternak, Ketiga, kelompok emas dan
perak, dan Keempat, kelompok harta perdagangan. Sedangkan Rikaz (harta
temuan) sifatnya hanya insidental atau sewaktu-waktu.
Selain bersifat rinci, Al-Qur’an
menjelaskan pula harta yang wajib dikeluarkan zakat atau infaqnya,
dengan kata-kata amwal (segala macam harta benda; Q.S. 9:103) dan kasabu
(segala macam usaha halal, Q.S. 2:267). Berdasarkan ayat tersebut maka
segala macam harta usaha penghasilan dan pendapatan dari propesi yang
halal apabila telah memenuhi persyartan berzakat, maka harus dikeluarkan
zakatnya.
Diantara persyaratan penting dalam
berzakat adalah nishab (harta yang telah mencapai jumlah tertentu sesuai
dengan ketetapan syara’ sedangkan harta yang tidak sampai pada
nishabnya terbebas dari zakat). Nishab zakat penghasilan dan pendapatan
pada umumnya dianalogkan pada nishab harta perdagangan yaitu sebesar 94
gr emas per tahun, dengan zakatnya 2,5%. Bagi yang berpenghasilan tetap,
zakatnya bisa dikeluarkan setiap bulan atau bisa pula setiap tahun,
tergantung kepada cara termudah untuk melakukannya. Adapun jika
penghasilan tidak menentu waktunya, misalnya jasa konsultan proyek,
ataupun penghasilan lainnya, maka pengeluaran zakatnya pada saat
menerimanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang
kebutuhan pokok yang boleh dipotong terlebih dahulu (bukan keharusan)
sebelum dikeluarkan zakatnya. Sebagian menyatakan terbatas hanya
kebutuhan sandang, pangan, dan papan, sebagian lagi menyatakan ditambah
segala macam kebutuhan yang berkaitan dengan tugas (pekerjaan) seperti
transfortasi dsb. Sebenarnya jika melihat sejarah, yang lebih obyektif
untuk menentukan muzakki adalah amil (pengelola) zakat.
Amil Zakat
Satu hal yang perlu disadari bersama
bahwa pelaksanaan ZIS bukanlah semata-mata diserahkan kepada muzakki
saja, akan tetapi tanggung jawab memungut dan mendistribusikannya
dilakukan olah amilin (Q.S. 60 dan 103). Zakat bukan pula sekedar
memberikan bantuan yang bersifat konsumtif kepada para mustahik,
terutama fakir miskin atau kualitas sumber daya muslim, misalnya untuk
pendidikan. Karena itu amil zakat harus meningkatkan propesionalisme
kerjanya hingga menjadi amil yang amanah, jujur, sungguh-sungguh
mengerti tugas masalah amil zakat dan kapabel dalam melaksanakan tugas
keamilan (Q.S.23:8).
Pada sisi pengumpulan banyak aspek yang
harus dilakukan seperti penyuluhan yang berkaitan dengan proses
penyadaran kewajiban, penjelasan tentang Al-Amwal Az-Zakawiyah cara
membayarnya dan sebagainya. Segala sarana dan media harus dimanfaatkan
secara optimal mulai dari media khutbah jum’at, majlis ta’lim,
seminar, dan sebagainya. Aspek lainnya yang juga penting dilakukan
adalah pengumpulan dan pengelolaan data muzakki di lingkungannya untuk
kemudian dilakukan. Dalam pelaksanaannya dapat bekerjasama dengan Bank
Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) dan Baitul Mal Wa Tamwil (BMT)
terdekat
Pada sisi pendayagunaan, banyak aspek
yang perlu dilakukan, seperti pengumpulan dan pengolahan data mustahik
untuk menentukan apakah zakat konsumtif. Jika jumlah musthiknya banyak
sementara zakat yang terkumpulkan sedikit, maka perlu dilakukan skala
prioritas, demikian pula aspek pelaporan yang transparan dan jelas
harus dilakukan untuk menimbulkan kepercayaan dan ketenangan hari para
muzakki.