Oleh : Agustianto 
Di antara rukun Islam yang lima, zakat merupakan ibadah yang paling berdimensi social-ekonomi. Karena sifatnya yang bercorak sosial ekonomi itu, maka ketentuan-ketentuan tentang zakat, khususnya tentang jenis harta yang dizakati, dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ekonomi umat manusia.
Di masa Nabi Muhammad SAW, mata pencaharian masyarakat sangat sederhana, antara lain, perdagangan, peternakan dan pertanian. Maka saat itu, harta yang wajib di zakati terbatas pada sumber pendapatan yang berkembang ketika itu.
Pada masa kini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan kegiatan ekonomi dengan segala macam jenisnya sangat pesat, maka perkembangan pola kegiatan ekonomi saat ini sangat berbeda dengan corak kehidupan ekonomi di zaman Rasulullah. Tetapi substansinya tetap sama, yakni adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat yang terus berkembang, maka jenis-jenis harta yang dizakati juga mengalami perkembangan. Al-Qur’an sebagai kitab suci yang universal dan eternal (abadi), tidak mengajarkan doktrin yang kaku, tetapi memiliki ajaran yang elastis untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan itu terlihat pada jenis-jenis harta yang dizakati.
Al-Qur’an bahkan menyebutkan dengan kata-kata “Amwalihim”, yakni segala macam harta (QS. 9:103) dan kata “kasabtum”, yakini segala macam usaha yang halal (QS 2: 267).
Oleh karena itu, ulama kontemporer memperluas harta benda yang dizakati dengan menggunakan ijtihad kreatif yang berada dalam batasan-batasan syari’ah.
Prof. Dr. Yusuf Qardhawi adalah salah seorang ulama kaliber dunia yang mewakili ulama kontemporer itu. Qardhawi membagi al-amwal az-zakawiyah kepada sembilan kategori, 1. Zakat binatang ternak, 2. Zakat emas dan perak, 3. Zakat kekayaan dagang, 4. Zakat hasil pertanian, meliputi tanah pertanian, 5. Zakat madu dan produksi hewani, 6. Zakat barang tambang dan hasil laut, 7. Zakat investasi pabrik, gedung, dan lain-lain, 8. Zakat pencaharian, jasa dan profesi, 9. zakat saham dan obligasi.
Kaedah yang digunakan ulama dalam memperluas kategori harta wajib zakat adalah bersandar pada dalil-dalil umum, seperti (QS. 9:103 dan 2:267), juga berpegang pada syarat harta yang wajib zakat, yaitu berpotensi untuk tumbuh dan berkembang.
Karena itu, harta yang diperluas kepada seluruh profesi dan usaha yang menghasilkan harta (uang), seperti penghasilan dari profesi dokter, pengacara, konsultan, bankir, kontraktor, dosen, notaries, pegawai negeri, wartawan, direktur, TNI, dan sebagainya.
ZAKAT PROFESI
Zakat profesi adalah zakat penghasilan yang diperoleh dari pengembangan potensi diri yang dimiliki seseorang dengan cara yang sesuai dengan syari’ah, seperti upah kerja rutin, arsitek, konsultan, pengacara, dokter, pegawai negeri, kontraktor, dan sebagainya.
Dasar hukum yang dijadikan dalil kewajiban zakat profesi ialah nash-nash Al-Quran yang terdapat dalam surah Al Baqarah: 267, At-Taubah 103 dan Al-Ma’rij 24-25.
Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil  usahamu yang baik-baik….
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka….
Di dalam harta mereka ada kewajiban zakat yang tertentu untuk orang miskin yang meminta-minta maupun orang  yang miskin yang malu meminta”.
Ayat pertama mewajibkan orang beriman agar mengeluarkan zakat hasil usaha (profesi). Yusuf Qardhawi menyebut zakat profesi ini dengan istilah zakatul kasbi yang diambil dari penggalan ayat “Ma Kasabtum”. Sedangkan ayat kedua dan ketiga menyebutkan kata “amwalihim” yang meliputi seluruh harta hasil usaha.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka simposium ulama tentang zakat di Kuwait menetapkan bahwa zakat profesi adalah wajib.
HAUL
Yang menjadi persoalan penting dalam zakat profesi ini ialah, Pertama, waktu mengeluarkannya, apakah secara langsung ketika mendapat jasa, tanpa menunggu setahun (haul), karena diqiyaskan kepada zakat emas dan perak. Kedua, mengenai nishabnya, apakah konsisten qiyasnya kepada zakat pertanian, yakni 5-10%, atau di qiyaskan kepada zakat yang lain, yakni zakat emas-perak/perdagangan, yakni sebesar 2,5%.
Pendapat ulama yang berkembang saat ini, menganalogikan zakat profesi kepada zakat pertanian, yakni dibayar ketika mendapatkan hasilnya (Wa aatu haqqahu yauma hashodih), tanpa menunggu setahun. Demikian juga mengenai nishabnya, sebesar 1,350 kg gabah atau 750 kg beras. Zakat ini dibayarkan dari pendapatan bersih, bukan pendapatan kotor.
Sedangkan tarifnya, menurut ulama kontemporer tadi, dianalogikan kepada zakat emas dan perak yakni sebesar 2,5%, atas dasar “qiyas asy-syabah”. Maksud qiyas asy-syabah adalah mengqiyaskan sesuatu dengan dua hal, pertama, dari segi waktu mengeluarkan dan nishabnya dianalogikan kepada zakat pertanian. Kedua, dari segi tarifnya dianalogikan kepada zakat emas-perak.
Pendapat di atas, tampaknya tidak konsisten dalam menerapkan qiyas. Seharusnya, apabila waktu dan nishabnya diqiyaskan kepada zakat pertanian, maka tarif zakatnya juga diqiyaskan kepada yang serupa yakni 10%. Bila zakat profesi diqiyaskan kepada zakat emas dan perak maka seluruhnya diqiyaskan kepada emas dan perak.
Adapun mengenai haul dalam zakat profesi, Dr. Yusuf Qardhawi telah meneliti secara mendalam bahwa empat hadits yang menjelaskan keharusan haul ternyata sanad hadits dha’if/lemah, karena itu dalam zakat profesi tidak harus menunggu satu tahun. Selain alasan lemahnya hadits tentang haul, maka supaya tidak memberatkan, zakat profesi dapat dikeluarkan perbulan, sebagaimana yang pernah dilakukan Mu’awiyah terhadap gaji militer yang dipotong oleh bendaharawan negara setiap bulannya dan hal itu diakui sejumlah sahabat termasuk Ibnu Mas’ud. (Lihat kitab Majmu az-Zawaid).
Jadi, bagi yang berpenghasilan tetap seperti honor atau gaji, zakatnya bisa dikeluarkan setiap bulan atau bisa setiap tahun, tergantung kepada cara termudah untuk mengeluarkannya. Adapun jika penghasilan tidak menentu waktu dan besarnya, seperti jasa konsultan proyek, ataupun penghasilan lainnya, maka pengeluaran zakatnya pada saat menerimanya.
NISHAB
Bila penghasilan anda telah mencapai satu nishab, yakni senilai 1.350 gabah, yakni sekitar Rp 1.350.000 maka wajiblah ia berzakat saat itu juga sebesar 2,5% dari penghasilannya. Dengan demikian, seorang dokter yang mempunyai penghasilan lebih dari Rp 1.350.000 sehari, maka saat itu juga ia harus mengeluarkan zakatnya. Inilah pendapat yang popular.
CONTOH
Seorang pegawai negeri berpenghasilan Rp 2.000.000 dalam sebulan. Lalu dipotong kebutuhan dharuriyat, yakni kebutuhan dasar/kebutuhan pokok, seperti makan dan kredit/kontrak rumah. Sedangkan kebutuhan lainnya (hajiyat) lainnya, seperti kredit mobil, membeli alat-alat rumah tangga, biaya pendidikan tingkat SMP ke atas, tidak termasuk di potong. Jika sisa dari kebutuhan pokok tersebut 1.000.000 sebulan, maka dalam setahun jumlahnya sebesar Rp 12.000.000. Jumlah ini telah mencapai nishab, maka zakat yang harus dikeluarkan sebesar 2,5% x Rp 12 juta yaitu Rp 300.000.
Namun ada ulama yang mengqiyaskan nishab zakat profesi kepada zakat perdagangan, yakni senilai 94 gram mas. Jika ketentuan ini yang di pedomani, maka seorang itu baru wajib berzakat bila penghasilannya setahun mencapai 94 x Rp 90.000 = Rp 8.460.000. Maka jika penghasilannya mencapai Rp 10 juta misalnya, dalam setahun, maka zakatnya 2,5 x Rp 10 juta = Rp 250.000,-. Jadi zakat yang harus dikeluarkannya sebesar Rp 250.000,- dalam setahun.
PENUTUP
Zakat profesi, dapat disalurkan melalui Badan Amil Zakat (BAZ) Sumatera Utara dan Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh Swasta yang telah resmi sebagai Lembaga Amil Zakat. Bila potensi zakat profesi digali secara optimal, Insya Allah kemiskinan yang masih melanda bangsa ini, bisa dientaskan secara signifikan.
Oleh : Agustianto