Di
antara rukun Islam yang lima, zakat merupakan ibadah yang paling
berdimensi social-ekonomi. Karena sifatnya yang bercorak sosial ekonomi
itu, maka ketentuan-ketentuan tentang zakat, khususnya tentang jenis
harta yang dizakati, dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ekonomi
umat manusia.
Di masa Nabi Muhammad SAW, mata
pencaharian masyarakat sangat sederhana, antara lain, perdagangan,
peternakan dan pertanian. Maka saat itu, harta yang wajib di zakati
terbatas pada sumber pendapatan yang berkembang ketika itu.
Pada masa kini, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perkembangan kegiatan ekonomi dengan
segala macam jenisnya sangat pesat, maka perkembangan pola kegiatan
ekonomi saat ini sangat berbeda dengan corak kehidupan ekonomi di zaman
Rasulullah. Tetapi substansinya tetap sama, yakni adanya usaha manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sejalan dengan perkembangan kegiatan
ekonomi dan mata pencaharian masyarakat yang terus berkembang, maka
jenis-jenis harta yang dizakati juga mengalami perkembangan. Al-Qur’an
sebagai kitab suci yang universal dan eternal (abadi), tidak mengajarkan
doktrin yang kaku, tetapi memiliki ajaran yang elastis untuk
dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan itu terlihat
pada jenis-jenis harta yang dizakati.
Al-Qur’an bahkan menyebutkan dengan kata-kata “Amwalihim”, yakni segala macam harta (QS. 9:103) dan kata “kasabtum”, yakini segala macam usaha yang halal (QS 2: 267).
Oleh karena itu, ulama kontemporer
memperluas harta benda yang dizakati dengan menggunakan ijtihad kreatif
yang berada dalam batasan-batasan syari’ah.
Prof. Dr. Yusuf Qardhawi adalah salah seorang ulama kaliber dunia yang mewakili ulama kontemporer itu. Qardhawi membagi al-amwal az-zakawiyah
kepada sembilan kategori, 1. Zakat binatang ternak, 2. Zakat emas dan
perak, 3. Zakat kekayaan dagang, 4. Zakat hasil pertanian, meliputi
tanah pertanian, 5. Zakat madu dan produksi hewani, 6. Zakat barang
tambang dan hasil laut, 7. Zakat investasi pabrik, gedung, dan
lain-lain, 8. Zakat pencaharian, jasa dan profesi, 9. zakat saham dan
obligasi.
Kaedah yang digunakan ulama dalam
memperluas kategori harta wajib zakat adalah bersandar pada dalil-dalil
umum, seperti (QS. 9:103 dan 2:267), juga berpegang pada syarat harta
yang wajib zakat, yaitu berpotensi untuk tumbuh dan berkembang.
Karena itu, harta yang diperluas kepada seluruh profesi dan usaha
yang menghasilkan harta (uang), seperti penghasilan dari profesi dokter,
pengacara, konsultan, bankir, kontraktor, dosen, notaries, pegawai
negeri, wartawan, direktur, TNI, dan sebagainya.ZAKAT PROFESI
Zakat profesi adalah zakat penghasilan
yang diperoleh dari pengembangan potensi diri yang dimiliki seseorang
dengan cara yang sesuai dengan syari’ah, seperti upah kerja rutin,
arsitek, konsultan, pengacara, dokter, pegawai negeri, kontraktor, dan
sebagainya.
Dasar hukum yang dijadikan dalil
kewajiban zakat profesi ialah nash-nash Al-Quran yang terdapat dalam
surah Al Baqarah: 267, At-Taubah 103 dan Al-Ma’rij 24-25.
“Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik….”
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka….”
“Di dalam harta mereka ada kewajiban
zakat yang tertentu untuk orang miskin yang meminta-minta maupun orang
yang miskin yang malu meminta”.
Ayat pertama mewajibkan orang beriman
agar mengeluarkan zakat hasil usaha (profesi). Yusuf Qardhawi menyebut
zakat profesi ini dengan istilah zakatul kasbi yang diambil dari
penggalan ayat “Ma Kasabtum”. Sedangkan ayat kedua dan ketiga menyebutkan kata “amwalihim” yang meliputi seluruh harta hasil usaha.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka simposium ulama tentang zakat di Kuwait menetapkan bahwa zakat profesi adalah wajib.
HAUL
Yang menjadi persoalan penting dalam
zakat profesi ini ialah, Pertama, waktu mengeluarkannya, apakah secara
langsung ketika mendapat jasa, tanpa menunggu setahun (haul), karena
diqiyaskan kepada zakat emas dan perak. Kedua, mengenai nishabnya,
apakah konsisten qiyasnya kepada zakat pertanian, yakni 5-10%, atau di
qiyaskan kepada zakat yang lain, yakni zakat emas-perak/perdagangan,
yakni sebesar 2,5%.
Pendapat ulama yang berkembang saat ini,
menganalogikan zakat profesi kepada zakat pertanian, yakni dibayar
ketika mendapatkan hasilnya (Wa aatu haqqahu yauma hashodih),
tanpa menunggu setahun. Demikian juga mengenai nishabnya, sebesar 1,350
kg gabah atau 750 kg beras. Zakat ini dibayarkan dari pendapatan bersih,
bukan pendapatan kotor.
Sedangkan tarifnya, menurut ulama
kontemporer tadi, dianalogikan kepada zakat emas dan perak yakni sebesar
2,5%, atas dasar “qiyas asy-syabah”. Maksud qiyas asy-syabah adalah
mengqiyaskan sesuatu dengan dua hal, pertama, dari segi waktu
mengeluarkan dan nishabnya dianalogikan kepada zakat pertanian. Kedua,
dari segi tarifnya dianalogikan kepada zakat emas-perak.
Pendapat di atas, tampaknya tidak
konsisten dalam menerapkan qiyas. Seharusnya, apabila waktu dan
nishabnya diqiyaskan kepada zakat pertanian, maka tarif zakatnya juga
diqiyaskan kepada yang serupa yakni 10%. Bila zakat profesi diqiyaskan
kepada zakat emas dan perak maka seluruhnya diqiyaskan kepada emas dan
perak.
Adapun mengenai haul dalam zakat
profesi, Dr. Yusuf Qardhawi telah meneliti secara mendalam bahwa empat
hadits yang menjelaskan keharusan haul ternyata sanad hadits
dha’if/lemah, karena itu dalam zakat profesi tidak harus menunggu satu
tahun. Selain alasan lemahnya hadits tentang haul, maka supaya tidak
memberatkan, zakat profesi dapat dikeluarkan perbulan, sebagaimana yang
pernah dilakukan Mu’awiyah terhadap gaji militer yang dipotong oleh
bendaharawan negara setiap bulannya dan hal itu diakui sejumlah sahabat
termasuk Ibnu Mas’ud. (Lihat kitab Majmu az-Zawaid).
Jadi, bagi yang berpenghasilan tetap
seperti honor atau gaji, zakatnya bisa dikeluarkan setiap bulan atau
bisa setiap tahun, tergantung kepada cara termudah untuk
mengeluarkannya. Adapun jika penghasilan tidak menentu waktu dan
besarnya, seperti jasa konsultan proyek, ataupun penghasilan lainnya,
maka pengeluaran zakatnya pada saat menerimanya.
NISHAB
Bila penghasilan anda telah mencapai
satu nishab, yakni senilai 1.350 gabah, yakni sekitar Rp 1.350.000 maka
wajiblah ia berzakat saat itu juga sebesar 2,5% dari penghasilannya.
Dengan demikian, seorang dokter yang mempunyai penghasilan lebih dari Rp
1.350.000 sehari, maka saat itu juga ia harus mengeluarkan zakatnya.
Inilah pendapat yang popular.
CONTOH
Seorang pegawai negeri berpenghasilan Rp 2.000.000 dalam sebulan. Lalu dipotong kebutuhan dharuriyat, yakni kebutuhan dasar/kebutuhan pokok, seperti makan dan kredit/kontrak rumah. Sedangkan kebutuhan lainnya (hajiyat)
lainnya, seperti kredit mobil, membeli alat-alat rumah tangga, biaya
pendidikan tingkat SMP ke atas, tidak termasuk di potong. Jika sisa dari
kebutuhan pokok tersebut 1.000.000 sebulan, maka dalam setahun
jumlahnya sebesar Rp 12.000.000. Jumlah ini telah mencapai nishab, maka
zakat yang harus dikeluarkan sebesar 2,5% x Rp 12 juta yaitu Rp 300.000.
Namun ada ulama yang mengqiyaskan nishab
zakat profesi kepada zakat perdagangan, yakni senilai 94 gram mas. Jika
ketentuan ini yang di pedomani, maka seorang itu baru wajib berzakat
bila penghasilannya setahun mencapai 94 x Rp 90.000 = Rp 8.460.000. Maka
jika penghasilannya mencapai Rp 10 juta misalnya, dalam setahun, maka
zakatnya 2,5 x Rp 10 juta = Rp 250.000,-. Jadi zakat yang harus
dikeluarkannya sebesar Rp 250.000,- dalam setahun.
PENUTUP
Zakat profesi, dapat disalurkan melalui
Badan Amil Zakat (BAZ) Sumatera Utara dan Lembaga Amil Zakat yang
dikelola oleh Swasta yang telah resmi sebagai Lembaga Amil Zakat. Bila
potensi zakat profesi digali secara optimal, Insya Allah kemiskinan yang
masih melanda bangsa ini, bisa dientaskan secara signifikan.
Oleh : Agustianto