Muhammad Wasitho Abu FawAz
Di dalam kitab-kitab fiqih klasik disebutkan bahwa zakat dikenakan
pada emas dan perak dalam fungsinya sebagai alat tukar. Dan saat ini
hampir tidak ada satu negara pun yang menggunakan emas dan perak sebagai
alat tukar. Kini fungsi emas dan perak sebagai alat tukar telah
digantikan dengan uang kertas yang secara intrinsik tidak bernilai.
A. ADAKAH KEWAJIBAN ZAKAT PADA UANG KERTAS?
Barangkali ada di antara kaum muslimin yang bertanya-tanya, apakah
uang kertas bisa diperlakukan sama dengan emas dan perak dengan
mempertimbangkan bahwa uang tersebut dapat digunakan dan diakui sebagai
alat tukar, sehingga ada padanya kewajiban zakat; atau justru
sebaliknya, uang tersebut tidak bisa diperlakukan sama dengan emas dan
perak dengan memandang nilai intrinsiknya, sehingga dengan demikian
tidak ada kewajiban zakat padanya?
Dalam masalah ini para ulama telah membicarakannya dan terjadi perbedaan pendapat di antara mereka menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama: Tidak ada kewajiban zakat pada
uang yang dimiliki oleh seseorang kecuali jika diniatkan untuk modal
usaha dagang. Jika diperuntukkan sebagai uang nafkah atau disiapkan
untuk pernikahan, atau yang semisalnya maka tidak ada zakatnya.
Pendapat kedua: Ada kewajiban zakat pada setiap mata
uang (uang kertas) yang dimiliki atau dikumpulkan oleh seseorang dari
hasil keuntungan usaha dagang atau hasil sewa rumah atau hasil gaji atau
yang semisalnya, dengan syarat uang itu telah mencapai nishob dan
berputar selama satu tahun hijriyah. Tidak ada bedanya dalam hal ini
apakah uang yang dikumpulkan itu diniatkan untuk modal usaha dagang atau
untuk nafkah atau untuk pernikahan, atau tujuan lainnya.
Diantara dalil-dalil pendapat kedua ini adalah keumuman firman Allah Ta’ala:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta
mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan
memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka.”
(QS.At-Taubah: 103)
Demikian pula berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu saat beliau
mengutusnya ke negeri Yaman:
أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِيْ
أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى
فُقَرَائِهِمْ
“Ajarkan kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan atas mereka
zakat pada harta-harta yang mereka miliki yang diambil dari orang-orang
kaya mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Bukhari
II/544 no. 1425, IV/1580 no.4090, dan Muslim I/50 no. 31, dari Ibnu
‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma)
Dan uang termasuk dalam keumuman harta benda yang terkena kewajiban
zakat, karena uang dengan berbagai jenis mata uang yang beredar pada
saat ini dan berlaku secara umum pada muamalah kaum muslimin, telah
menggantikan posisi emas (dinar) dan perak (dirham) yang dipungut
zakatnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Uang
sebagai pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) menjadi tolok ukur
dalam menilai harga suatu barang sebagaimana halnya dinar dan dirham
pada masa itu.
Setelah memaparkan dua pendapat ulama di atas, maka yang nampak rojih
(benar dan kuat) bagi kami adalah pendapat kedua berdasarkan
dalil-dalil yang telah disebutkan. Yaitu adanya kewajiban zakat pada
mata uang apapun yang masih berlaku di Negara mana pun. Pendapat ini
yang difatwakan oleh Komite Tetap untuk Urusan fatwa dan Pembahasan
Ilmiyyah, KSA yang diketuai oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Fatawa
Al-Lajnah Ad-Daimah (IX/254, 257), Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (VI/98-99, 101), dan selainnya.
B. SYARAT WAJIBNYA ZAKAT UANG
Setiap mata uang (uang kertas) yang berlaku di negara mana pun,
apakah berupa rupiah, riyal, dolar, yen, ringgit atau selainnya –baik
disimpan di tabungan maupun tidak– wajib dikeluarkan zakatnya jika telah
memenuhi dua syarat sebagaimana zakat emas dan perak. Dua syarat
tersebut ialah:
Pertama; telah mencapai nishob, yaitu senilai nishob emas (20
dinar/85 gram emas murni), atau senilai nishob perak (200 dirham/595
gram perak murni).
Kedua; harta senishob (atau lebih) itu telah berputar selama satu
tahun hijriyah sejak dimiliki. Sedangkan kadar zakatnya adalah sebesar
2,5 % (dua setengah persen).
Kewajiban zakat atas uang kertas itu diqiyaskan dengan kewajiban
zakat atas emas dan perak, karena ada kesamaan ‘illat (sebab hukum) pada
keduanya (uang kertas dengan emas-perak), yaitu sifat sebagai mata uang
(an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah). ‘Illat ini adalah
‘illat yang disimpulkan (‘illat istinbath) dari berbagai hadits yang
mengisyaratkan adanya sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai
harga (ats-tsamaniyyah), yang menjadi landasan kewajiban zakat pada emas
dan perak. Di antaranya hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
فَهَاتُوا صَدَقَةَ الرِّقَةِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا دِرْهَمٌ
“Maka datangkanlah (bayarlah) zakat riqqah (perak yang dicetak
sebagai mata uang), yaitu dari setiap 40 Dirham (zakatnya) 1 Dirham.”
(HR. Abu Daud I/494 no.1574, At-Tirmidzi III/16 no.620, dan Ahmad I/92
no.711, dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu).
Penyebutan kata “riqqah” (perak yang dicetak sebagai mata uang) di
dalam hadits di atas –dan bukan dengan kata fidhdhah (perak)—
menunjukkan adanya sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai
harga (ats-tsamaniyyah). Dan sifat ini tak hanya terwujud pada perak
atau emas yang dijadikan mata uang, tapi juga pada uang kertas yang
berlaku sekarang, meski ia tidak ditopang dengan emas atau perak. Maka
uang kertas sekarang wajib dizakati, sebagaimana wajibnya zakat atas
emas dan perak. Karena itu, siapa saja yang mempunyai uang yang telah
memenuhi dua syarat di atas, yaitu mencapai nishob dan telah berputar
selama satu tahun hijriyah, maka wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5
% (dua setengah persen) dari total uang yang dimiliki.
STANDAR NISHOB ZAKAT UANG KERTAS
Berkenaan dengan nishob zakat uang, mungkin ada yang bertanya pula, manakah standar yang dipakai, nishob emas (20 Dinar/85 gram emas murni), ataukah nishob perak (200 dirham/595 gram perak murni), jika fakta uang kertas yang ada tidak dijamin oleh emas dan perak seperti halnya di Indonesia maupun di kebanyakan negara lain?
Berkenaan dengan nishob zakat uang, mungkin ada yang bertanya pula, manakah standar yang dipakai, nishob emas (20 Dinar/85 gram emas murni), ataukah nishob perak (200 dirham/595 gram perak murni), jika fakta uang kertas yang ada tidak dijamin oleh emas dan perak seperti halnya di Indonesia maupun di kebanyakan negara lain?
Sebagian ulama di zaman sekarang berpendapat bahwa yang jadi patokan
dalam zakat mata uang (uang kertas) adalah nishob perak. Karena inilah
yang bisa menggabungkan antara nishob emas dan perak. demikian juga,
dengan menggunakan nishob perak akan lebih bermanfaat bagi orang-orang
fakir miskin.
Ada pula diantara para ulama yang berpendapat bahwa yang dijadikan
patokan dalam zakat mata uang (uang kertas) adalah nishob emas. Di
antara alasan mereka adalah sebagai berikut:
Nilai perak telah berubah setelah zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan zaman-zaman sesudahnya. Hal ini berbeda dengan emas yang
nilainya terhitung stabil.
Jika disetarakan dengan nishob emas, maka itu akan setara atau mendekati nishob zakat lainnya seperti nishob pada binatang ternak (onta, sapid an kambing, pent). Nishob zakat onta adalah 5 ekor, nishob pada zakat kambing adalah 40 ekor, dan yang semisalnya. (Lihat Shahih Fiqhis Sunnah II/22).
Dari dua pendapat di atas, kami (penulis) lebih cenderung dan memilih pendapat kedua yang menggunakan standar nishob emas untuk zakat mata uang (uang kertas) karena alasannya yang begitu kuat. Demikian pula karena mengingat meningkatnya standar biaya hidup dan melonjaknya berbagai kebutuhan. (Lihat Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili, II/773).
Jika disetarakan dengan nishob emas, maka itu akan setara atau mendekati nishob zakat lainnya seperti nishob pada binatang ternak (onta, sapid an kambing, pent). Nishob zakat onta adalah 5 ekor, nishob pada zakat kambing adalah 40 ekor, dan yang semisalnya. (Lihat Shahih Fiqhis Sunnah II/22).
Dari dua pendapat di atas, kami (penulis) lebih cenderung dan memilih pendapat kedua yang menggunakan standar nishob emas untuk zakat mata uang (uang kertas) karena alasannya yang begitu kuat. Demikian pula karena mengingat meningkatnya standar biaya hidup dan melonjaknya berbagai kebutuhan. (Lihat Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili, II/773).
CARA MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT UANG
Setelah kita ketahui dan tetapkan bahwa standar nishob zakat uang adalah nishob emas, yaitu 20 dinar/85 gram emas. Maka cara untuk menghitung dan mengeluarkan zakat uang adalah sebagaimana berikut ini:
Setelah kita ketahui dan tetapkan bahwa standar nishob zakat uang adalah nishob emas, yaitu 20 dinar/85 gram emas. Maka cara untuk menghitung dan mengeluarkan zakat uang adalah sebagaimana berikut ini:
Sebagai contoh; bila sekarang (oktober 2011) harga emas murni
Rp.550.000,-/gram. Maka cara mengetahui nishob dan kadar zakat mata uang
(uang kertas) adalah sebagai berikut:
Nishob Mata Uang = 85 gram x Rp.550.000,-/gram = Rp.46.750.000,-
Kalau misalkan seseorang punya uang tabungan sebesar Rp. 50.000.000,
(Lima Puluh Juta Rupiah), berarti uang yang dimilikinya sudah melebihi
nishob (Rp.46.750.000,-). Kalau uang yang telah mencapai nishob ini
sudah dimilikinya selama satu tahun hijriyah, maka zakatnya yang wajib
dikeluarkan adalah = 2,5 % x Rp. 50 juta = Rp. 1.250.000 (Satu Juta Dua
Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).
BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT SEBELUM TIBA WAKTUNYA?
Menurut mayoritas ulama diperbolehkan mengeluarkan kewajiban zakat sebelum tiba waktunya karena termasuk menyegerakan kebaikan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:
Menurut mayoritas ulama diperbolehkan mengeluarkan kewajiban zakat sebelum tiba waktunya karena termasuk menyegerakan kebaikan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:
أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْـمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ
لَهُ فِيْ ذَلِكَ
“Bahwasanya Al-’Abbas bin Abdul Muththalib bertanya kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang maksudnya untuk menyegerakan
pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba. Maka Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam memberi kelonggaran kepadanya untuk melakukan hal
itu.” (HR. Ahmad I/104 no.822, Abu Dawud I/510 no.1624, At-Tirmidzi
III/63 no.678, Ibnu Majah I/572 no.1795, dan yang lainnya. Syaikh
Al-Albani menghasankannya dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 857) dengan
syawahid (riwayat-riwayat penguat) yang ada).