A.  PENDAHULUAN

Sebagai sumber ajaran Islam kedua sesudah al-Qur'an, hadits mempunyai peranan penting dalam mengembangkan kandungan ajaran Islam, baik yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an maupun yang belum. Dari segi dilalah-nya Al Qur’an sama dengan hadits, masing-masing ada yang qith’i al dilalah dan ada yang zhanni al dilalah. Hanya saja Al Qur’an bersifat global, sedangka hadits bersifat terperinci. Salah satu fungsi hadits Nabi terhadap Al Qur’an adalah sebagai bayan at tafsir (keterangan penafsiran).atau bayan al tafsir (Keterangan penjelasan). Meskipun hadits nabi sebagai penafsir atau penjelas terhadap Al Qur’an, teapi tidak berarti bahwa hadits nabi seluruhnya adalah qath’i al dilalah. Kata atau kalimat yang digunkan dalam matan hadits, atara lain ada yang mujmal(gobal), musykil, khafi(implist), dan mutasyabih(samar-samar)[1]
Kehidupan adalah “universitas pengalaman” yang mersti dihadapi dengan berpegang pada prinsip-prinsip agama, guna mewujudkan kemaslahatan bagi semua makhluk. Untuk maksud itu Allah Swt telah menegaskan ajaran prinsip dalam Al Qur’an dan Rasul saw menjelaskan detail ajaran dalam hadits[2],  dan banyak ilmu-ilmu lain yang lahir dari petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan diperjelas dengan hadits, diantaranya adalah Ilmu Falak.
Secara umum Ilmu Falak, bisa disamakan dengan Astronomi, yaitu ilmu yang mempelajari perbintangan[3], tetapi sebenarnya ilmu falak adalah sebuah ilmu yang mempelajari peredaran benda-benda langit, khususnya bumi, bulan dan matahari. Peredaran benda-benda langit tersebut digunakan untuk menentukan waktu sholat, arah kiblat, gerhana bulan dan matahari serta penentuan awal bulan bulan hijriyah. Dan sebagai patokan-patokan penetuan waktu ibadah diambil dari Al-Qur’an yang diperjelas dengan hadits
Makalah ini berusaha untuk menjelaskan ilmu falak secara umum, dari penjelasan-penjelasan tersebut akan tergambar secara umum tujuan mempelajari ilmu falak , untuk apa keperluannya, dan bagaimana mempelajarinya.
B.  PEMBAHASAN
1.    Tujuan Mempelajari Ilmu Falak
a.      Pengertian Ilmu Falak
Menurut bahasa, falak artinya orbit atau peredaran/lintasan benda-benda langit, sehingga ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit khususnya bumi, bulan dan matahari pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit tersebut antara satu dengan lainnya agar dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi.[4]
Istilah ilmu falak dapat disejajarkan dengan istila Practical Astronomu (Astronomi Praktis) yang terdapat dalam dunia astronomi. Dinamakan demikian karena hasil perhitungan dari ilmu ini dapat dipraktekan atau dimanfaatkan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dinamakan juga Ilmu Hisab karena kegiatan yang menonjol dari ilmu ini ialah menghitung kedudukan ketiga benda langit di atas.
Adapun Asronomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda langit dengan tujuan untuk mengetahuipengaruh benda-benda langit itu terhadap nasib seseorang di muka bumi. Astrologi inilah yang dikenal dengan Ilmu Nujum[5].
b.   Ruang Lingkup Pembahasan
Secara garis besar Ilmu Falak atau Ilmu Hisab dapat dikelompokkan pada dua macam, yaitu ‘ilmiy dan amaly.
Ilmu Falak ‘Ilmiy adalah ilmu yang membahas teori dan konsep benda-benda langit, misalnya dari asal muasal kejadiannya (cosmogony), bentuk dan tata himpunannya (cosmologi), jumlah anggotanya (cosmografi), ukuran dan jaraknya (astrometrik), gerak dan daya tariknya (astromekanik), dan kandungan unsur-unsurnya (astrofisika). Ilmu falak yang demikian ini disebut Theoritical Astronomy.
Sedangkan ilmu falak ‘amaly adalah ilmu yang melakukan perhitungan untuk mengetahui posisi dan kedudukan benda langit antara satu dengan yang lainnya. Ilmu falak ‘amaly ini disebut Practical Astronomy. Ilmu falak ‘amaly inilah yang oleh masyarakat umum dikenal dengan Ilmu Falak atau Ilmu Hisab.
Meskipun objek pembahasan ilmu falak ‘amaly ini mengenai kedudukan benda-benda langit terutama matahari beserta planet-planetnya (sistim tata surya), tetapi pembahasan dan kegiatan dalam ilmu falak hanyalah terbatas pada pembahasan mengenai peredaran bumi, matahari dan bulan saja, karena peredaran ketiga benda langit inilah yang mempunyai sangkut paut dengan pembahasan Ilmu Falak untuk pelaksanaan ibadah.
Bahasan Ilmu Falak yang dipelajari dalam Islam adalah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah, sehingga pada umumnya Ilmu Falak ini mempelajari 4 bidang, yakni [6]:
1.      Arah kiblat dan bayangan arah kiblat
2.      Waktu-waktu sholat
3.      Awal bulan hijriyyah
4.      Gerhana matahari dan bulan.
Ilmu Falak membahas arah kiblat pada dasarnya adalah menghitung besaran sudut yang diapit oleh garis meridian yang melewati suatu tempat yang dihitug arah kiblatnya dengan lingkaran besar yang melewati tempat yang bersangkutan dan ka’bah, serta menghitung jam berapa matahari itu memotong jalur menuju ka’bah.
Sedangkan ilmu falak membahas waktu-waktu sholat padaa dasarnya adalah menghitung tenggang waktu antara ketika matahari berada di titik kulminasi atas dengan waktu ketka matahari berkedudukan pada awal waktu-waktu sholat.
Pembahsan awal bulan dalam ilmu falak adala menghitung waktu terjadinya ijtima’(konjungsi) yakni posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi, serta menghitung posisi bulan ketika matahari terbenam pada hari terjadinya konjungsi itu.
Pembahasan gerhana adalah menghitung waktu terjadinya kontak antara matahari dan bulan, yakni kapan bulan mulai menutupi matahari matahari dan lepas darinya pada gerhana gerhana matahari, serta kapan pula bulan mulai masuk pada umbra bayangan bumi serta keluar darinya pada gerhana bulan.      
c.    Manfa’at Ilmu Falak
Dengan mempelari ilmu falak atau ilmu hisab, kita dapat memastikan ke arah mana kiblat suatu tempat di permukaan bumi. Kita juga dapat memastikan waktu shalat telah tiba atau matahari sudah terbenam untuk berbuka puasa. Dengan ilmu ini pula orang yang melakukan rukyatul hilal dapat mengarahkan pandangannya dengan tepat ke posisi hilal, bahkan kita juga dapat mengetahui akan terjadinya peristiwa gerhana matahari atau gerhana bulan berpuluh bahkan beratus tahun yang akan datang.
Dengan demikian, ilmu falak atau ilmu hisab dapat menumbuhkan keyakinan dalam melakukan ibadah, sehingga ibadahnya lebih khusyu’. Nabi SAW bersabda :  “Sesungguhnya sebaik-baik hamba Allah adalah mereka yang selalu memperhatikan matahari dan bulan untuk mengiungat Allah” (HR. Thabrani)
d.   Hukum Mempelajarai Ilmu Falak
Mengingat betapa besar manfaat ilmu falak sebagaimana diterangkan di atas, lebih-lebih kalau dikaitkan dengan pelaksanaan ibadah, maka mempelajari ilmu falak atau ilmu hisab itu hukumnya wajib, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Husain :
 “Mempelajari ilmu falak itu wajib, bahkan diperintahkan untuk mempelajarinya, karena ilmu falak itu mencakup pengetahuan tentang kiblat dan hal-hal yang berhubungan dengan penanggalan, misalnya puasa. Lebih-lebih pada masa sekarang ini, karena ketidaktahuannya para hakim (akan ilmu falak), sikap mempermudah serta kecerobohan mereka, sehingga mereka menerima kesaksian (hilal) seseorang yang mestinya tidak dapat diterima”.
Para ulama, misalnya Ibnu Hajar dan ar-Ramli berkata bahwa bagi orang yang hidup dalam kesendirian, maka mempelajari ilmu falak itu fardlu ‘ain baginya. Sedangkan bagi masyarakat banyak hukumnya fardlu kifayah.
e.    Analisis
Pengetahuan pada hakikatnya adalah merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah  ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping sebagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung memperkaya kehidupa kita. Sukar untuk dibayangka bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan itu merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyan yang muncul dalam kehidupan.
Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertayaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui pada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan.
Secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yag berada pada lingkup pengalama manusia, sedangkan agama memasuki pula pada daerah penjajahan yang bersifat transendental yang berada diluar pengalaman kita.  
Bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar, masalah inilah yang dalam filsafati disebut sebagai epistemologi, dan landasan epistemologi ilmu disebut metoda ilmiah. Dengan kata lain metoda ilmia adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun penetahuan yang benar. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagimana (epistemologi) dan untuk apa(aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan itu saling berkaitan. 
Metode Ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut dengan ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan bisa disebut ilmu, sebab ilmu merupakan cara medapatkanya harus memenuhi syarat-syara tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut degan ilmu, tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metoda ilmiah. Metoda menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.[7]  Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam memepelajari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metose ilmiah. Metode ini secara falsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan suatu pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang ingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk medapatkan pengetahuan? Samapai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia.[8]
Fiqih pada dasarnya berbicara tentang niat (motive), cara (metoda) dan tujuan suatu perbuatan manusia, baik individu maupun kolektif, yang berhubungan dengan hukum. Identitas fiqih tercermin di dalam : keadilannya, kerahmatannya, kemaslahatannya, dan hikamha yang terkandung di dalamnya untuk kegahagiaan dunia dan akhirat dengan tujuan untuk akhir untuk mencapai keridhoan Alloh SWT. Allah lah yang menciptakan hukum untuk kesejahteran hidup manusia, baik hukum-hukum dalam semesta(sunnatullah) maupun hukum diantara manusia dengan manusia  dan manusia dengan alam[9].
Fiqih pada awal perkembangannya didefinisikan dengan : mengetahui, memahami dan mendalami ajaran agama secara keseluruhan, termasuk perintah Allah untuk merenungkan, memikirkan dan meneliti kejadian alam semesta, serta larangan Allah untuk merusak alam ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah ilmu dibagi ke dalam bidang-bidang tetentu , fiqh diartikan dalam pengertian yag snagat sempit, yaitu mengetahui hukum syara yang amaliah, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Termasuk di dalamnya tentang rukun suatu perbuatan dan syarat syahnya. Hukum taklifi seperti, wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram, hukum wadli yang meliputi sebab, syarat dan mani, (halangan-halangan hukum). Karena sangat banyaknya aturan fiqh, keudian dibagi dan disistimatisir dalam bidang-bidang tertentu : seperti bidang ibadah mahdloh, ghoer mahdloh, selanjutnya ibadah ghoer  mahdloh lebih rinci lagi, seperti : hukum pernikahan, hukum perdata, pidana, tatanegara, hubungan internsional, hukum-hukum dagang. Materi fiqh ini bersifat ijtihadiyah yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Seseorang yang ingin mengkaji ajaran Islam secara baik, benar, dan mendalam tidak dapat meghindarkan diri dari keharusan mempelaari Al-Qur’an dan hadits Nabi. Dinytakan demikian karena Al-Qur’an dan hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam[10]    
Ilmu Falak sebagai sebuah disiplin ilmu, bisa dilihat dari dua sisi,  sisi pertama ilmu falak sebagai sebuah ilmu pengetahuan, yang secara epistemologi menggunakan metoda ilmiah dalam penyusunan, dengan kata lain metoda ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun penetahuan yang benar. Di sisi lain ilmu falak sebagai sebuah ilmu rumpun syari’ah, dimana dalam pembahasannya, menyangkut masalah-masalah hukum yang ada kaitannya dengan peribadatan umat muslim, seperti waktu-waktu sholat, waktu pelaksanaan puasa wajib, waktu pelaksanaan haji dan lain-lain, yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah
Para ulama berbeda pendapat tentang definisi As-Sunah menurut syara karena perbedaan disipilin ilmu mereka dan perbedaan objek pembahasannya[11] diantaranya adalah :
1.      Menurut ulama hadits As-Sunah adalah sesuatu yang yang disandarkan kepada Nabi saw, sahabat, tabi’in, baik berupa ucapan, perbuatan, pengakuan, maupun sifatnya.  
2.      Menurut uama ushul, As-Sunah adalah semua yang dikaitkan dengan Nabi saw, selain Al-Qur’an bak berupa ucapan, peruatan ataupun pengakuannya yang berkaitan dengan dalil syar’i, sebab yang menjadi objek pembahasan mereka adalah dalil-dalil syara.
3.      Menurut ulama fiqih As-Sunah adalah suatu  yang telah terbukti dari Nabi saw, bukan termasuk pengertian fardu atau wajib dalam agama, dan bukan pula bersifat taklif atau pembenaran, melainkan berupa anjuran. Sebab yang menjadi objek pembahsan mereka adalah :
a.       Menyelidiki hukum-hukum syara, seperti fardu, wajib, mandub, haram, makruh.
b.      Memberi pengertian kepada setiap individu tentang setiap hukum.
4.      Menurut ulama dakwah, As-Sunah adalah lwan dari al Bid’ah, sebab pembahasan mereka adalah memperhatikan perintah dn larangan syara.    
2.    Cara Mendalami Ilmu Falak menurut As-Sunah
Sejauh yang penulis sudah baca, tidak ada teks hadits (sunah) yang menjelaskan secara detail tentang tujuan dan cara mendalami ilmu falak, tetapi jika seseorang yang ingin mengkaji dan mempelajari ilmu falak secara baik, benar, dan mendalam tidak dapat meghindarkan diri dari keharusan mempelaari Al-Qur’an dan hadits Nabi. Dinyatakan demikian karena Al-Qur’an dan hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, dan merupakan landasan teologi dari ilmu falak ini
Untuk mempelajari ilmu falak pada pada dasarnya hampir sama dengan ilmu-ilmu pengethuan lain, harus ada standar kompetensi dan  kompetensi dasar yang dikuasai. Kompetensi adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai sebagai kinerja yang berpengaruh terhadap peran, perbuatan, prestasi, serta pekerjaan seseorang. Dengan demikian, kompetensi dapat diukur dengan stadar umum serta dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan[12]
C.  KESIMPULAN
Mempelajari suatu disiplin ilmu tentu ada suatu tujuan, begitu juga ketika kita mempelajari ilmu falak mempunyai suat tujuan ang sangat jelas, selain hukumnya Wajib Kifayah,berdasarkan kaidah Ushul “ Tidak sempurna suatu kewajiban jika tidak ada sesuatu, maka sesuatu tersebut, menjadi wajib hukumnya”,  juga ada maksud lain, yaitu dengan mempelari ilmu falak atau ilmu hisab, kita dapat memastikan ke arah mana kiblat suatu tempat di permukaan bumi. Kita juga dapat memastikan waktu shalat telah tiba atau matahari sudah terbenam untuk berbuka puasa. Dengan ilmu ini pula orang yang melakukan rukyatul hilal dapat mengarahkan pandangannya dengan tepat ke posisi hilal, bahkan kita juga dapat mengetahui akan terjadinya peristiwa gerhana matahari atau gerhana bulan berpuluh bahkan beratus tahun yang akan datang.
Dengan demikian, ilmu falak atau ilmu hisab dapat menumbuhkan keyakinan dalam melakukan ibadah, sehingga ibadahnya lebih khusyu.
Adapun cara memperdalamnya, hampir sama dengan ilmu pengetauan lain yaitu harus mengusai standar kompetensi dan kompetensi dari ilmu falak, sedangkan peran As-Sunah dalam ilmu falak ini sebagai landasan teologi yang melandasi semua bagian-bagian dari bahasan ilmu falak.

D.  PENUTUP
Setelah dikemukakan secara panjang lebar tujan dari mempelajari ilmu falak ini dan bagaimana memperdalamnya menurut petunjuk As-Sunah, setidaknya dari penjabaran tersebut semakin menambah pengetahuan kita terhadap disiplin ilmu falak yang erat sekali kaitannya denga masalah hadits, sebagai landasan teologinya.
Semoga tulisan ini dapat memeberikan warna tersendiri terhadap tujuan mempelajari ilmu falak dan cara memperdalamnya. Penulis sadari tulisan ini jauh dari kesempurnaan, dan Akhirnya hanya kepada Allah penulis memohon hidayah dan petunjuk


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Dr. Arifuddin, M. Ag, Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, Renaisan, Jakarta; 2005
‘Alawi al Maliky Muhammad al Hasai, Mutiara Pokok Ilmu Hadits, Trigenda Karya, Bandung : 1995,
Djamaludin Dr. Thomas, Menggagas Fiqih Astronomi, Kaki Langit, Bandung : 2005,
Ibrahim KH Salamun, Ilmu Falak, Pustaka Progresif, Bandung : 1995
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Teori dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta : 2004 
Setyanto Hendro, Membaca Langit, Al-Ghuraba, Jakarta: 2008 
Soebahar Prof. Dr. H.M Erfan, M.A, Aktualisasi Hadits Nabi di Era  Teknologi  Informasi, RaSAIL Media Group, Semarang; 2010
S. Suriasumantri Prof. Dr. Jujun, Filsafat lmu, Jakarta : 1982


[1] Dr. Arifuddin Ahmad, M. Ag, Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, Renaisan, Jakarta; 2005 hal 1
[2] Prof. Dr. H.M Erfan Soebahar, M.A, Aktualisasi Hadits Nabi di Era  Teknologi  Informasi, RaSAIL Media Group, Semarang; 2010
[3] Hendro Setyanto, Membaca Langit, Al-Ghuraba, Jakarta: 2008  h 15
[4] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Teori dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta : 2004  h 3
[5] KH Salamun Ibrahim, Ilmu Falak, Pustaka Progresif, Bandung : 1995 hlm  39
[6] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Teori dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta : 2004  h 4
[7] Prof. Dr. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat lmu, Jakarta : 1982 hlm  119
[8] Ibid
[9] Dr. T Djamaludin, Menggagas Fiqih Astronomi, Kaki Langit, Bandung : 2005, hlm  xvii
[10] Prof. DR. M. Syuhudi  Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis, Bulan Bintang, Jakarta : 2008 hlm 3
[11] Muhammad ‘Alawi al Maliky al Hasai, Mutiara Pokok Ilmu Hadits, Trigenda Karya, Bandung : 1995, hlm 14
[12] Ella Yulaelawati, M.A., Ph. D., Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi Teori dan Aplikasi, Pakar Raya, Bandung : 2004 hlm 13