Prof. Dr. Susiknan Azhari, MA
Pada tanggal 28-30 Mei 2016/ 21-23 Syakban 1437 yang lalu telah diselenggarakan Konferensi Internasional Penyatuan kalender Islam di Istanbul Turki. Salah satu hasilnya adalah memilih kalender Islam global (at-Taqwim al-‘Ahady) untuk dijadikan acuan umat Islam sedunia dalam rangka mengakhiri perbedaan dalam memulai dan mengakhiri Ramadan. Berbagai respons bermunculan dikalangan para pemerhati kalender Islam baik nasional maupun internasional. Bahkan ada keinginan untuk segera menggunakannya dalam penentuan Idul Fitri 1437.

Sebetulnya dalam dunia akademik penyelenggaraan konferensi baik nasional maupun internasional adalah hal yang biasa dalam rangka mengkomunikasikan hasil-hasil riset terbaru. Keputusan-keputusan yang dihasilkan tidak serta merta dapat ditindaklanjuti dan diimplementasikan namun masih perlu strategi dan tahapan sehingga konsensus
tersebut bernilai guna. Hal ini juga berlaku dalam merespons hasil konferensi Turki jilid kedua. Di Indonesia ada sebagian kecil menganggap hasil konferensi Turki tersebut adalah final dan harus dilaksanakan secepatnya tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatan. Baginya jika Indonesia menerima hasil konferensi tersebut akan memiliki beberapa keuntungan yaitu memiliki tawaran dan kepeloporan terhadap dunia Islam untuk mendorong penyatuan kalender Islam dan mempunyai peluang untuk bernegosiasi guna menyatukan jatuhnya hari Arafah pada tahun-tahun tertentu karena kriteria yang digunakan adalah kalender Islam global.

Pandangan ini sepintas ideal namun implementasinya sulit dilaksanakan karena tidak mempertimbangkan aspek sosial-budaya yang sedang berkembang dan sejarah penyatuan kalender Islam. Jika pandangan ini diaplikasikan dalam penentuan Idul Fitri 1437 akan berdampak bagi kebersamaan dalam mengakhiri Ramadan. Berdasarkan data yang terkumpul dalam Temu Kerja Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama RI tahun 2016 menunjukkan bahwa pada tanggal 4 Juli 2016 ketinggian hilal di Indonesia di bawah ufuk (moonset before sunset) antara minus satu derajat sampai minus dua derajat. Secara teoritis Ramadan akan digenapkan menjadi tiga puluh hari dan Idul Fitri akan dilaksanakan secara bersama pada hari Rabu 6 Juli 2016. Sebaliknya jika menggunakan hasil konferensi Turki 2016 secara sepihak, Idul Fitri 1437 akan terjadi perbedaan jatuh pada hari Selasa 5 Juli 2016 karena di belahan negara lain sudah memenuhi kriteria dalam kalender Islam global.

Pandangan kedua menganggap hasil konferensi tersebut dapat diterima sebagai visi bersama untuk mewujudkan kalender Islam yang mapan, sedangkan implementasinya bertahap dengan mempertimbangkan problem yang berkembang di Negara masing-masing. Mardi Ghadban dari Libanon dengan semangat menyampaikan kepada Qamar Uddin dari London perlu melakukan konferensi lanjutan untuk mengkaji hasil konferensi-konferensi sebelumnya. Dalam diskusi anggota Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP) muncul pertanyaan terkait asal-usul kriteria yang dipilih dalam kalender Islam global. Menurut Mohib N Durrani kriteria tersebut berasal dari kriteria yang dikembangkan oleh Mohammad Syawkat Audah (Odeh). Pendapat ini disanggah oleh Qamar Uddin dengan menyatakan “…….I think you are totally wrong in suggesting that Eng. Mohammad Odeh was instrumental in creating it”. Pada tanggal 11 Ramadan 1437/16 Juni 2016 Mohammad Odeh merespons bahwa kriteria yang diadopsi dalam konferensi tersebut bukan kriteria yang dikembangkannya melainkan merujuk pada kriteria hasil konferensi Istanbul Turki 1978.

Pandangan ketiga menanggapi secara negatif hasil konferensi tersebut dan masih mempertanyakan proses yang dilakukan. Bahkan Salman Zafar Shaikh koordinator Hilal Sighting Committee of North America (HSCNA) menganggap metode voting yang dilakukan dalam memilih sistem kalender tidak memiliki landasan syar’i yang kuat dan tidak dicontohkan oleh rasulullah saw. Penolakan hasil konferensi Turki juga disampaikan oleh Sultan Alam dari Pakistan. Memperhatikan fenomena di atas pandangan kedua tampaknya lebih realistis jika dikaitkan sejarah upaya penyatuan kalender Islam. Pengalaman Malaysia dapat dijadikan renungan bersama. Pada tahun 1986-1991 Malaysia mengadopsi hasil konferensi Istanbul Turki 1978 yang disesuaikan dengan kondisi Malaysia untuk menentukan awal Ramadan dan Syawal. Sementara itu penentuan awal bulan kamariah selain Ramadan dan Syawal menggunakan ijtimak hakiki. Selain itu tampak pula usaha Malaysia mewujudkan kalender Islam internasional yang sudah lama digagas oleh Mohammad Ilyas. Usaha ini melalui “World Conference on International Islamic Calendar” pada tanggal 29 Rabiul awal – 1 Rabiul akhir 1412/8-10 Oktober 1991 di Universiti Sains Malaysia Pulau Pinang dan peresmian Pusat Falak Syekh Tahir. Konferensi ini menghasilkan delapan belas butir rekomendasi yang dikenal “Deklarasi Penang tentang Kalender Islam Internasional”. Sayangnya Deklarasi Penang ini dilupakan dan tidak diperhatikan.

Selama ini kegagalan proses penyatuan kalender Islam disebabkan tidak memiliki visi bersama, strategi, dan tahapan untuk mewujudkannya. Berbagai keputusan telah dihasilkan dari konferensi ke konferensi berikutnya. Tak jarang hasilnya saling bertentangan, seperti hasil konferensi di Libanon pada tanggal 10-12 Rabiul awal 1431/25-26 Februari 2010 dengan hasil konferensi internasional di Mekah pada tanggal 11-13 Februari 2012. Terlepas pro-kontra terhadap hasil konferensi Turki, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim perlu berperan aktif. Kehadiran wakil Muhammadiyah, NU, dan MUI dalam konferensi tersebut belum mempresentasikan negara. Hal ini tergambar dalam media tidak banyak yang menyebut Indonesia salah satunya adalah “Turkish-Square”. Dalam konteks Indonesia seyogyanya respons terhadap hasil konferensi Turki 2016 lebih bersifat akademis dan diposisikan sebagaimana mestinya. Menteri Agama RI Lukman Hakim Saefuddin ketika menyampaikan keynote speech dalam Seminar Nasional Kalender Islam Global di UHAMKA Jakarta pada tanggal 12 Ramadan 1437/17 Juni 2016 menyatakan “…Proses penyatuan yang sudah panjang jangan dibiarkan terus berjalan. Hasil konferensi Turki perlu ditelaah bersama. Jadikan Indonesia sebagai teladan penyatuan kalender Islam di Dunia”.

Pernyataan Menteri Agama di atas perlu diapresiasi karena pihak negara ingin berperan aktif dalam penyatuan kalender Islam. Kehadiran negara sangat diperlukan dalam upaya penyatuan kalender Islam internasional. Apapun kriteria yang dipilih maupun sistem yang akan digunakan jika tidak melibatkan negara yang memiliki kekuatan untuk melakukan komunikasi antar negara maka hasil-hasil pertemuan yang dilakukan tidak akan bermakna dan akan mengalami nasib yang sama. Oleh karena itu bagi Mohammad Ilyas sebagai bapak “kalender Islam internasional” persoalan kalender Islam tidak semata-mata persoalan sains, tapi perlu melibatkan kekuatan politik. Ilyas mengatakan “…….dunia Islam memerlukan seorang Julian untuk menyatukan takwimnya….”.